Wednesday, March 14, 2012

Analisis Wacana Pada Lagu Campursari


PERBANDINGAN “BENGAWAN SORE” DAN “LINGSIR WENGI”
(ANALISIS KONTEKSTUAL, INFERENSI, NILAI PENDIDIKAN)

Abstract: People like campursari. Campursari is new genre of music. This is only in Indonesia. Campursari is combination of traditional and modern music. Solo is the central of campursari. “Bengawan Sore” and “Lingsir Wengi” are the popular song. We will analysis this song with contextual analysis, inferential, and education value. The kinds of contextual analysis are principle of personal meaning, principle of location meaning, principle of temporal meaning, and principle of analogy. “Bengawan Sore” use first pronominal, at Bengawan Solo river, in the twilight. The educational value is human must believe in God. “Lingsir Wengi” use first possessive pronoun, in the room of home, in the night. The educational value is human must be careful with everything in their live.

Keywords: comparison, contextual analysis, inferential, education value
Lagu merupakan salah satu bentuk seni. Seni itu sendiri merupakan hasil kreasi manusia yang indah. Lagu memiliki bermacam-macam fungsi, salah satu fungsinya adalah sebagai sarana hiburan. Berdasarkan isinya, lagu bisa dikategorikan dalam lagu himne, lagu perjuangan, lagu religi, dan lagu parody. Berdasarkan bentuknya, lagu dapat digolongkan dalam lagu klasik, campursari, keroncong, dangdut, jaz, dan popular.
Campursari sendiri merupakan lagu yang bersyair bahasa Jawa dengan menggunakan musik popular pada umumnya. Jadi, bisa dikatakan bahwa campursari merupakan aliran music perpaduan tradisional Jawa dengan musik modern. Perpaduan dua hal inilah yang kemudian membuat campursari menjadi menarik untuk dinikmati.
Pada kesempatan kali ini akan dianalisis dua lagu campursari, terkait dengan analisis kontekstual, inferensi, dan nilai pendidikannya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna kontekstual dan makna tekstual yang dimiliki atau terdapat dalam tiap lagu campursari tersebut.
Melalui penelitian ini diharapkan diketahui hal-hal yang melingkupi lagu-lagu campursari tersebut, baik secara tak langsung atau kontekstual maupun secara langsung atau tekstual.
Lagu merupakan salah satu bentuk kreasi cipta, rasa, dan karya manusia. Lagu memiliki nilai estetika yang tinggi. Lagu terbangun atas dua komponen, yakni syair atau lirik dan music. Syair atau lirik dalam lagu merupakan hasil perenungan penciptanya, demikian juga dengan music yang mengiringinya. Musik yang mengiringi syair tidak semerta-merta digabungkan, tetapi harus ada kesesuaian sehingga tersampaikan maksud penulis kepada penikmat.
Tulisan ini mencoba mengupas syair yang terdapat pada lagu campursari, sedangkan music tidak masuk dalam objek penelitian ini. Syair dalam lagu memiliki persamaan dengan puisi, baik pada bentuk maupun pada isi. Hal ini bisa dilihat pada musikalisasi lagu. Ada beberapa puisi yang membawakannya dengan diiringi music, meskipun antara syair dan music itu sendiri bukan merupakan satu kesatuan.
Tetapi tak jarang juga dijumpai lagu yang ternyata syairnya berasal dari sebuah puisi. Misalnya lagu yang dibawakan oleh Bimbo yang berjudul ‘Sajadah Panjang Terbentang’. Syair lagu ini merupakan puisi karya Taufik Ismail yang kemudian oleh Bimbo diberi iringan musik. Bahkan syair ini kurang popular ketika berbentuk puisi, tetapi begitu dinyanyikan oleh Bimbo, lagu ini menjadi sangat terkenal. Orang justru mengetahui puisi ini sebagai lagu.
Sama halnya dengan sebuah puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul ‘Mencintaimu dengan Sederhana’. Oleh Memes, puisi ini dinyanyikan dengan diiringi aransemen musik yang sangat indah. Adapun yang memberikan iringan musik itu adalah Adi MS yang tidak lain dan tidak bukan suami Memes. Dan ternyata puisi ini ketika disampaikan dalam bentuk lagu lebih mudah dipahami. Melalui lagu, penikmat lebih mudah memahami isi atau maksud puisi tersebut.
Dari kedua hal di atas dapatlah membuktikan bahwa pada prinsipnya terdapat persamaan antara syair lagu dengan puisi. Oleh karena itu, teori yang akan digunakan untuk mengupas syair, sama dengan yang digunakan dalam puisi.
Jan van Luxemburg (1989, 175) menyatakan teks puisi adalah teks monolog yang isinya tidak semata-mata sebuah alur. Cirri puisi yang paling menonjol ialah penampilan tipografik. Seketika kita melihat sebuah teks yang larik-lariknya tidak terus sampai ke tepi halaman.
Definisi puisi menurut Altenbernd (Rachmat Djoko Pradopo, 1995; 5-6) adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama (bermetrum) (as the interpretive dramatization of experience in metrical language).
Shahnon Ahmad dalam Rachmat Djoko Pradopo (1995;7) menyebutkan garis besar sebuah puisi terdiri dari emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.
Menurut Rachmat Djoko Pradopo (1995;7) puisi mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan. Juga merangsang imajinasi pancaindera dalam susunan yang berirama.
Herman J. Waluyo ( 2008;77) menyatakan untuk memahami puisi, ada dua hal yang harus dimengerti dan dipahami pembaca, yakni struktur fisik dan struktur batin. Struktur fisik berkenaan dengan faktor kebahasaan. Struktur fisik puisi berkaitan dengan diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif atau majas, versifikasi, dan tata wajah puisi atau tipografi. Struktur batin puisi terdiri dari: tema, perasaan atau feeling, nada dan suasana, serta amanat atau pesan.
Berikut ini akan dibahas tiap struktur pembentuk puisi,baik struktur fisik maupun struktur batin.
1.      Struktur fisik
a.       Diksi (pemilihan kata)
Hendaknya disadari bahwa kata-kata dalam puisi bersifat konotatif, artinya memiliki kemungkinan makna lebih dari satu. Kata-katanya juga dipilih yang puitis, yaitu memiliki efek keindahan dan berbeda dari kata-kata yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
Begitu pentingnya kata-kata dalam puisi, sehingga penyair berhati-hati dalam menggunakan. Berikut ini beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memahami puisi yang berkaitan dengan diksi.

·      Perbendaharaan kata
Perbendaharaan kata penyair sangat penting sebagai kekuatan ekspresi sekaligus cirri khas penyair. Dalam memilih kata-kata, penyair mempertimbangkan makna yang akan disampaikan dan tingkat perasaan serta suasana batinnya. Selain itu, juga dilatarbelakangi oleh faktor social budaya penyair. Perbedaan asal, suku, agama, pendidikan, jenis kelamin akan menghasilkan diksi yang berbeda pula.
·      Urutan kata
Dalam puisi, urutan kata bersifat tetap. Artinya, urutan kata itu tidak bisa dipindahtempatkan. Tiap penyair atau penulis memiliki ciri khusus dalam meletakkan urutan kata-kata yang digunakan dalam puisinya.
·      Daya sugesti kata-kata
Dalam memilih kata-kata, penyair mempertimbangkan daya sugesti yang dimiliki kata-kata tersebut. Sugesti itu ditimbulkan oleh makna kata yang dipandang sangat tepat untuk mewakili perasaan penyair. Karena ketepatan pilihan dan penempatan kata-kata yang digunakan penyair, mampu memberikan sugesti kepada pembaca untuk ikut sedih, terharu, bersemangat, marah dan perasaan lainnya.

b.      Pengimajian
Pengimajian dapat dibatasi dengan pengertian kata atau susunan kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan (Herman J Waluyo, 2008;91).
Pengimajian ditandai dengan penggunaan kata-kata konkret dan khas. Adapun imaji yang biasanya dimunculkan yakni imaji visual, imaji auditif, imaji taktil. Ketiganya digambarkan atas bayangan konkret apa yang dapat kita hayati secara nyata.
Pengimajian juga berarti mengingatkan kembali pengalaman yang pernah terjadi. Pengimajian disebut juga pencitraan. S Effendi dalam Herman J Waluyo (2008;93) menyatakan pengimajian dalam sajak dapat dijelaskan sebagai usaha penyair untuk menciptakan atau menggugah timbulnya imaji dalam diri pembacanya. Diharapkan pembaca tergugah untuk menggunakan mata untuk melihat benda-benda, warna. Dengan telinga dapat mendengar bunyi-bunyian dan dengan perasaan dapat menyentuh kesejukan dan keindahan benda dan warna.

c.       kata konkret
Untuk membangkitkan imaji atau daya baying pembaca, maka kata-kata yang digunakan harus konkret. Maksudnya, kata-kata itu dapat merujuk pada makna kata secara menyeluruh. Kata yang konkret berkaitan erat dengan penggunaan kiasan dan lambang. Semakin pandai penyair mengkonkretkan kata, maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasakan apa yang dilukiskan oleh penyair. 

d.      Bahasa figuratif atau majas
Bahasa figuratif merupakan bahasa yang memiliki makna kias atau bukan makna sebenarnya. Bahasa figuratif digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni tidak langsung mengungkapkan maknanya.
Bahasa figuratif dipandang lebih efektif untuk menyatakan maksud penyair karena: (1) bahasa figurative mampu menghasilkan kesenangan imajinatif, (2) bahasa figurative adalah cara untuk menghasilkan imajinasi tambahan dalam puisi, sehingga yang abstrak jadi konkret dan menjadikan puisi lebih nikmat untuk dibaca, (3) bahasa figurative merupakan cara menambah intensitas perasaan penyair untuk puisinya dan menyampaikan sikap penyair, (4) bahasa figurative merupakan cara untuk mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan (Perrine dalam Herman J Waluyo, 2008;96-97).

e.       Versifikasi (rima dan ritma)
Rima merupakan pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas. Dengan pengulangan bunyi ini, puisi menjadi merdu jika dibaca. Untuk mengulang bunyi ini, pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dalam suasana puisi.
Ritma berhubungan erat dengan bunyi dan juga pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Ritma juga dapat dibayangkan seperti tembang mocopat dalam tembang Jawa. Ritma berasal dari bahasa Yunani yang berarti gerakan-gerakan air yang teratur, terus-menerus, dan tidak putus-putus.

f.       Tata wajah puisi atau tipografi
Tipografi lebih kepada bentuk puisi itu sendiri. Bentuk puisi yang nampak secara fisik. Bagaimana penulis menyusun dan menata kata demi kata yang digunakan, sehingga membantu pembaca dalam memahami makna puisi. Tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan prosa dan drama. Puisi konvensional tidak memiliki tipografi yang rumit. Umum saja terdiri dari beberapa bait, tiap bait terdiri dari beberapa baris atau larik. Sementara dalam puisi inkonvensional memang sering dijumpai bentuk puisi yang sedikit berbeda, terutama pada puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri.

2.      Struktur batin
Struktur ini mengungkapkan apa yang hendak dikemukakan oleh penyair dengan perasaan dan suasana jiwanya.
a.       Tema (sence)
Tema merupakan gagasan pokok atau subject-master yang dikemukakan oleh penyair yang menjadi landasan utama penulisannya. Tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya dengan konsep-konsep yang terimajinasikan. Oleh karena itu, tema bersifat khusus (penyair), tetapi objektif (bagi semua penafsir), dan lugas (tidak dibuat-buat).
Tema-tema dalam puisi biasanya ketuhanan, kemanusiaan, patriotism atau kebangsaan, kedaulatan rakyat, dan keadilan sosial.
b.      perasaan (feeling)
Dalam menciptakan puisi, suasana perasaan penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. Untuk mengungkapkan tema yang sama, tiap penyair memiliki perbedaan dalam mengungkapkannya. Oleh karena itu, meskipun temanya sama, tetapi puisi yang dihasilkan akan berbeda.

c.       nada dan suasana (intention)
Dalam menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca. Sikap itu bisa berupa menggurui, menasihati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas. Jika nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu atau akibat psikologis yang ditimbulkan terhadap pembaca.
d.      amanat atau pesan
Amanat berhubungan dengan makna karya sastra (meaning and significance). Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair secara sadar berada dalam pikiran penyair, tetapi lebih banyak penyair tidak sadar akan amanat yang diberikan.
Tafsiran tentang amanat puisi mungkin dan dapat berbeda-beda. Untuk memahami amanat puisi perlu dipahami dasar pandangan, filosofi, dan aliran yang dimuat oleh pengarang.
Ketajaman apresiasi pembaca dalam menentukan amanat penyair ditentukan oleh pengalamannya bergulat membaca dan terlibat secara penuh dengan puisi.

Lagu Campursari
Lagu merupakan salah satu hasil cipta manusia yang paling indah. Dikatakan demikian karena terdapat dua hal dalam lagu, yakni lirik atau syair dan musik. Syair atau lirik dan music yang terdapat dalam lagu memiliki keterikatan yang sangat erat. Keduanya saling mempengaruhi, sehingga terciptalah harmonisasi yang sangat indah. Keindahan lagu bukan hanya dari musiknya, tetapi juga dari syairnya.
Pada dasarnya lagu campursari sama dengan lagu-lagu pada umumnya. Campursari itu sendiri berasal dari bahasa Jawa, campur dan sari. Campur berarti berkumpul dan sari berarti inti atau yang baik. Jadi, campursari berarti berkumpulnya seni atau lagu yang baik.
Campursari pertama kali diperkenalkan oleh Manthos dari Gunungkidul. Syair-syair atau lirik dalam lagu campursari menggunakan bahasa Jawa, sementara music yang mengiringi sama dengan music pada umumnya. Oleh karena itu, dapat pula dikatakan bahwa sebenarnya yang membedakan jenis campursari dan lagu yang lain adalah pada bahasa yang digunakan. Atau kalau boleh dikatakan bahwa campursari merupakan lagu berbahasa Jawa yang diiringi music modern. Sementara yang selama ini ada, musik modern atau popular digunakan untuk mengiringi lagu-lagu modern atau popular juga yang menggunakan bahasa Indonesia.
Sedangkan selama ini lagu yang berbahasa Jawa akan diiringi oleh music tradisional atau gamelan. Ada juga yang menyebutnya dengan karawitan. Namun tidak pada campursari. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa campursari merupakan perpaduan antara tradisional dan modern.

Analisis Konteks dan Inferensi
Yang dimaksud dengan konteks wacana adalah aspek-aspek internal wacana dan segala sesuatu yang secara eksternal melingkupi sebuah wacana. Konteks wacana dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu konteks bahasa dan konteks luar bahasa. Konteks bahasa disebut ko-teks, sedangkan konteks luar bahasa disebut dengan konteks situasi dan konteks budaya (Sumarlam, 2008;47). Konteks bahasa disebut juga konteks internal, sedangkan segala sesuatu yang melingkupi wacana, baik konteks situasi maupun budaya disebut dengan konteks eksternal.
Selain pemahaman tentang konteks, inferensi juga merupakan proses yang sangat penting dalam memahami wacana. Inferensi adalah proses yang harus dilakukan penikmat untuk memahami maksud pembicara atau penulis. Pemahaman ini tidak bisa dilakukan secara harfiah, melainkan harus didasari pula pemahaman makna berdasarkan konteks social dan budaya. Pemahaman konteks, baik internal maupun eksternal merupakan dasar inferensi atau pengambilan simpulan.
Pemahaman konteks situasi dan budaya dalam wacana dapat dilakukan dengan berbagai prinsip penafsiran dan prinsip analogi. Prinsip yang dimaksud ialah prinsip penafsiran personal, prinsip penafsiran lokasional, prinsip penafsiran temporal, dan prinsip analogi. Pemahaman wacana melalui berbagai prinsip penafsiran dan analogi itu tentu saja akan dipengaruhi faktor social, situasional, cultural, dan pengetahuan tentang dunia.
1.      Prinsip Penafsiran Personal
Prinsip ini berkaitan dengan siapa sesungguhnya yang menjadi partisipan dala suatu wacana. Dalam hal ini, siapa penutur dan siapa mitra tutur sangat menentukan makna sebuah tuturan. Segala hal yang berkaitan orang yang berbicara, baik dari usia maupun jenis kelamin.
2.      Prinsip Penafsiran Lokasional
Prinsip ini berkenaan dengan penafsiran tempat atau lokasi terjadinya suatu situasi, baik berupa keadaan, peristiwa, dan proses dalam rangka memahami wacana.
3.      Prinsip Penafsiran Temporal
Prinsip penafsiran temporal berkaitan dengan pemahaman mengenai waktu. Berdasarkan konteks wacana dapat diketahui atau ditafsirkan kapan atau berapa lama waktu terjadinya suatu situasi. Situasi dalam wacana bisa berupa peristiwa, keadaaan, maupun proses.
4.      Prinsip Analogi
Prinsip analogi digunakan sebagai dasar, baik penutur maupun mitra tutur, untuk memahami makna dan mengidentifikasi maksud sebuah wacana, baik makna sebagian maupun keseluruhan.
Penerapan berbagai prinsip penafsiran dan prinsip analogi dalam analisis wacana tidaklah mudah. Penafsiran personal, lokasional, temporal, dan prinsip analogi dalam pelaksanaannya dapat menyangkut persoalan-persoalan yang lebih rumit. Hal ini terjadi karena berkaitan juga dengan konteks situasi, social, dan budaya. Unsur-unsur siapa yang berbicara, kepada siapa, bagaimana tuturan yang digunakan, di mana dan kapan situasi terjadi, serta unsur-unsur  realitas lain yang terkait dengan sutau peristiwa menjadi sangat penting untuk menganalisis sebuah wacana.
5.      Inferensi
Inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh komunikan, baik pembaca, pendengar, maupun mitra tutur. Proses ini dilakukan untuk memahami makna wacana secara tersirat. Proses ini dilakukan untuk mengambil simpulan atas keseluruhan isi wacana.
Untuk dapat mengambil inferensi dengan baik atau tepat maka komunikan dalam hal ini mitra tutur harus memahami konteks dengan baik. Hal ini dikarenakan konteks merupakan dasar bagi inferensi.
Bermacam-macam inferensi dapat diambil dari sebuah tuturan, bergantung pada konteks yang menyertainya. Imam Syafi’i dalam Sumarlam (2008;51) membedakan empat macam konteks pemakaian bahasa, yaitu konteks fisik, epistemis, konteks linguistik, dan konteks sosial. Konteks fisik meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi, dan tindakan para partisipan dalam peristiwa komunikasi itu. Konteks epistemis yaitu latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh penutur dan mitra tutur. Konteks linguistik terdiri atas tuturan-tuturan yang mendahului atau yang mengikuti sebuah tuturan tertentu dalam komunikasi. Konteks sosial yaitu relasi sosial yang melengkapi hubungan antara penutur dengan mitra tutur.

“Bengawan Sore”
Ning pinggiring Bengawan (di tepi Bengawan)
Tansah setyo (selalu setia)
Ngenteni sliramu (menunggumu)
Eling-eling jamane semono (teringat masa lalu)
Wis ndungkap pitung ketigo (sudah lewat 7 kemarau)
Ning pinggiring Bengawan (di tepi Bengawan)
Saben-saben (selalu saja)
Mung tangsah kelingan (hanya teringat)
Wus prasetyo ing janji (sudah setia pada janji)
Kang suci (yang suci)
Ing lahir terusing ati (yang berasal dari lubuk hati)
Senadyan koyo nopo (meski bagaimana pun)
Manungso mung biso (manusia hanya bisa)
Ngreko lan njongkang (merencanakan dan menggagalkan)
Gusti kang paring idi (Tuhan yang menetapkan)
Lan pesti (dan memutuskan)
Kita sak dermo nglampahi (kita hanya bisa menjalani)
Ning pinggiring bengawan (di tepi Bengawan)
Wayah sore (ketika sore hari)
Tan soyo kelingan (semakin teringat)
Gawang-gawang esemu (bayangan senyummu)
Cah ayu (gadis cantik)
Gawe sedihing atiku (membuat sedih hatiku)
Berikut ini akan coba dianalisis
1.      Prinsip Penafsiran Personal
Prinsip personal merupakan makna yang merujuk pada orang atau pelaku. Pada syair lagu ini “ngenteni sliramu” menunjukkan bahwa ada seseorang, yaitu kamu yang sedang ditunggu-tunggu. Kamu di sini adalah seorang perempuan yang ditulis dengan “gawang-gawang esemu” dan “Cah ayu”. Dua frasa tersebut menyatakan bahwa yang ditunggu adalah seorang perempuan cantik dengan senyum yang selalu terbayang di pelupuk mata.
Aku seorang laki-laki ditunjukkan pada “gawe sedihing atiku”. Laki-laki ini merasa sedih karena teringat pada kekasih yang tak bisa dimilikinya.
2.      Prinsip Penafsiran Lokasional
Prinsip penafsiran lokasi merupakan makna yang merujuk pada tempat. Syair tersebut mengisyaratkan bahwa tempat kejadian ada di tepi sungai Bengawan. “Ning pinggiring Bengawan” ini menunjukkan bahwa di tempat ini mereka pernah bertemu dan menyatakan komitmen. Komitmen untuk memadu kasih dan hidup bersama, meski pada akhirnya tidak terwujud.
Begitu panjang tempat yang mungkin laki-laki ini gunakan untuk bertemu dengan kekasihnya. Ada kemungkinan tempat ini di Jurug atau tepatnya di kebun binatang ‘Jurug’ Solo yang kebetulan juga berada di tepi sungai Bengawan Solo. Meski tidak ada pernyataan yang menyatakan dengan tegas bahwa tempat kejadian ini adalah Taman Jurug, pembaca atau penikmat dapat dengan mudah mengerti. Hal ini karena biasanya di sinilah para remaja bertemu sekadar untuk ngobrol.
3.      Prinsip Penafsiran Temporal
Prinsip penafsiran temporal merupakan makna yang merujuk pada waktu. “Wayah sore” menunjukkan bahwa kejadian ini terjadi di sore hari. Tergambar dengan jelas bahwa laki-laki ini mengalami rindu yang sangat kepada kekasihnya. Dulu, tepatnya  “wis ndungkap pitung ketigo”  tujuh tahun yang lalu, mereka masih bersama. Mereka berjanji untuk hidup bersama. Namun semua itu tinggal kenangan “eling-eling jamane semono”. Apa yang pernah mereka ikrarkan harus direlakan tidak terwujud. Meski kejadian ini sudah relatif lama, tetapi si laki-laki masih tetap mengingat kejadian itu. Bahkan masih tetap merindukan kekasihnya itu.
Selain itu, tempat kejadian juga dapat diketahui dari judul lagu “Bengawan Sore”. Keadaan sore hari membuat laki-laki menjadi semakin teringat pada kekasihnya “tan soyo kelingan”.
4.      Prinsip Analogi
Prinsip analogi merupakan memberi makna berdasarkan kemungkinan yang terjadi. “Tansah setyo” dan “ngenteni sliramu” dari dua larik ini dapat diketahui bahwa si laki-laki masih begitu mencintai kekasihnya. Bahkan masih dengan setia menunggu kehadiran kekasihnya. Si laki-laki masih mengharapkan kekasihnya kembali kepadanya. Meski perpisahan mereka sudah berjalan tujuh tahun, tetapi si laki-laki masih setia menanti.
Si laki-laki bisa memahami dan menerima keadaan ini. “Senadyan koyo nopo” begitu besar rasa cinta yang laki-laki miliki pada seorang perempuan, tetapi semua itu tidak bisa mengalahkan kehendak Tuhan. Manusia hanya mampu merencanakan “manungso mung biso”. “Ngreko lan njongkang” si laki-laki tidak kuasa untuk melakukan apa-apa, meski segala sesuatunya telah direncanakan sedemikian rupa. Namun Tuhan lah yang memutuskan, apa yang harus terjadi dengan mereka berdua. Tuhan lah yang menentukan kebersamaan mereka “Gusti kang paring idi” dan “lan pesti”.
“Kita sak dermo nglampahi” laki-laki dengan besar hati berusaha menerima kenyataan. Ia menyadari bahwa manusia memang hanya bisa menjalani. Menjalani kehidupan ini dengan sepenuh hati. Menerima dengan ikhlas apa yang telah digariskan oleh Yang Mahakuasa.
5.      Inferensi
Lagu ini bercerita tentang sepasang kekasih. Mereka pernah berjanji untuk bersama-sama menjalani hidup. Janji ini mereka ucapkan ketika berada di pinggir sungai Bengawan Solo. Kejadian ini terjadi pada sore hari.
Namun janji tinggal janji. Tanpa alasan yang jelas, mereka berpisah. Si laki-laki berusaha menerima semua ini dengan menggangapnya sebagai jalan hidup yang memang harus dilalui. Meskipun begitu, si laki-laki tetap mengharapkan bahwa suatu hari nanti bisa bertemu dan bersama-sama lagi.
Begitu cintanya laki-laki itu pada kekasihnya, meski telah tujuh tahun berpisah masih tetap setia menanti. Si laki-laki masih merasakan rindu yang begitu besar pada kekasihnya dan itu akan semakin terasa bila sore hari. Rindu yang begitu menyakitkan hati. Sampai-sampai selalu terbayang senyum manisnya.
6.      Nilai Pendidikan
Sebuah pelajaran yang bisa diambil dari syair lagu ini adalah bahwa sebesar apa pun keinginan dan rencana yang dibuat oleh manusia, Tuhan lah yang akan menentukan hasil akhirnya. Sekuat apa pun rasa cinta yang dimiliki oleh seseorang untuk orang yang disayangi, bila tidak berjodoh, maka tidak akan bisa bersama. Oleh karena itu, jalani saja hidup ini dengan senyum. Hal itu sebagai wujud keistiqomahan kepada Sang Pencipta Alam.

“Lingsir Wengi”
Lingsir wengi (datang malam)
Sepi durung biso nendro (sepi belum bisa tidur)
Kagodo mring wewayang (tergoda pada masa lalu)
Angerindu ati (merindukan sesuatu)
Kawitane mung sembrono (awalnya hanya becanda)
Njur kulino (lalu terbiasa)
Ra ngiro yen tresno (akhirnya menjadi cinta)
Nanging duh tibane (tetapi ternyata)
Aku dewe kang nemahi (aku sendiri yang menderita)
Nandang bronto (merasakan rindu)
Kadung loro (telanjur sakit)
Sambat-sambat sopo (mau cerita pada siapa)
Rino wengi (siang dan malam)
Sing tak puji ojo lali (harapanku supaya tidak lupa)
Janjine mugo bisa (semoga janjimu)
Tak ugemi (bisa kupegang)

Tiap lagu mengandung pesan dan cerita yang berbeda-beda. Bila sebelumnya telah dibahas lagu berjudul “Bengawan Sore” maka kali ini akan dianalisis syair lagu berjudul “Lingsir Wengi”.
1.      Prinsip Penafsiran Personal
“Aku dewe kang nemahi” kata ganti orang pertama ‘aku’ bisa mengacu pada laki-laki atau perempuan, bergantung pada pendengarnya. Makna ‘aku’ bergantung pada siapa yang menyanyikan, bila yang menyanyikan laki-laki maka aku adalah laki-laki. Tetapi bila yang menyanyikan perempuan, maka aku diartikan sebagai perempuan. Hal ini berbeda dengan lagu sebelumnya, bila di syair “Bengawan Sore” terdapat “cah ayu” yang berarti perempuan, maka di lagu ini tidak.
“Sing tak puji ojo lali” dari baris ini tampak kata ganti orang pertama dengan menggunakan kata ‘tak’. Dalam bahasa Indonesia sama dengan ‘ku’ kata ganti milik orang pertama. Hal ini senada pada baris “tak ugemi”.
Janjine mugo bisa” pada baris ini ‘ne’ mengacu pada kata ganti milik orang kedua. Yang dimaksud dalam baris ini adalah orang dirindui oleh orang yang menyanyikan lagu tersebut.
2.      Prinsip Penafsiran Lokasional
Latar tempat pada syair lagu ini adalah di sebuah kamar. Seseorang yang merasakan rindu pada pujaan hatinya. Ketika yang lain sudah tertidur, ‘aku’ penyanyi tidak bisa tidur. Dia masih memendam rindu pada kekasihnya.
3.      Prinsip Penafsiran Temporal
Latar tempat pada syair lagu ini terjadi sepanjang hari, utamanya pada malam hari. Hal ini tanpak pada “lingsir wengi” itu berarti menjelang malam tiba. Peristiwa dalam syair ini terjadi sepanjang hari “rino wengi”. Aku dalam hal ini penyanyi merasa tersiksa. Pada malam hari yang sepi “sepi durung biso nendro” belum bisa tidur. Bahkan sampai tengah malam, juga belum bisa tidur. Hal ini terjadi karena memendam rasarindu pada seserang.
4.      Prinsip Analogi
Pada lagu ini digambarkan bagaimana perasaan cinta yang dimiliki ‘aku’ penyanyi berawal dari bercanda “kawitane mung sembrono” lalu lama-lama menjadi terbiasa “njur kulino”. Sungguh di luar dugaan, sesuatu yang awalnya tidak disengaja, menjadi kebiasaan lalu menjadi cinta “ra ngiro yen tresno”.
“Nandang bronto” penyanyi merasakan rindu yang teramat sangat, meskipun perasaan ini tidak diniati sebelumnya. “Kadung loro” sekarang sudah telanjur benar-benar mencintai. Penyanyi tak tahu harus mengeluh atau bercerita pada siapa tentang perasaannya itu “sambat-sambat sopo”.
5.      Inferensi
Lagu ini bercerita tentang seseorang yang begitu merindui kekasihnya.  Awal pertemuan mereka sebenarnya tidak disengaja. Artinya, semula mereka hanya bertemu dan bercanda. Namun lama-lama candaan ini menjadi kebiasaan. Kebiasaan ini telah menumbuhkan rasa lain pada diri keduanya, yakni rasa cinta.
Cinta yang begitu besar menyebabkan sulit tidur. Bahkan tengah malam ketika orang-orang tidur terlelap, aku penyanyi justru tidak bisa tidur. Dia terus teringat pada kekasihnya. Namun dia tidak tahu akan bercerita pada siapa, tentu saja hal ini karena semua sudah tertidur pulas.
Namun demikian, keduanya telah berkomitmen. Dan aku penyanyi berusaha memegang komitmen itu. Dia berharap orang yang disayanginya masih pula mengingat dan memegang erat komitmen tersebut.
6.      Nilai Pendidikan
Terdapat nilai pendidikan yang dapat diambil dari lagu “Lingsir Wengi”. Berhati-hatilah dalam melakukan sesuatu. Jangan sepelekan sesuatu yang kecil karena bisa jadi dari sesuatu yang kecil itu atau sepele akan muncul sesuatu yang besar.
Simpulan
Pada dasarnya kedua syair lagu campursari ini memiliki persamaan, yakni pada tema. Tema yang diangkat adalah tentang cinta. Rasa rindu yang begitu besar pada belahan hatinya.
Berdasarkan analisis kontekstual dan inferensi yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pada lagu “Bengawan Sore” prinsip penafsiran personalnya jelas, yaitu aku sebegai orang pertama yang berjenis kelamin laki-laki. Semantara pada lagu kedua “Lingsir Wengi” prinsip penafsiran personalnya kurang jelas. Pada lagu ini tidak menggunakan kata ganti orang, melainkan menggunakan kata ganti milik. Selain itu, karena bukan kata ganti orang sehingga tidak jelas siapa dan apa jenis kelamin penyanyinya.
Berdasarkan prinsip penafsiran lokasional, lagu pertama menunjuk dengan jelas tempat kejadian. Adapun tempat kejadiannya adalah di tepi sungai Bengawan. Sedangkan pada lagu kedua, tidak disebutkan secara jelas tempat peristiwa. Sehingga pendengar harus memperkirakan sendiri.
Berdasarkan prinsip penafsiran temporal, pada dasarnya kedua lagu tersebut telah menyebutkan waktu kejadian dengan jelas. Berbeda dengan dua prinsip sebelumnya, lagu pertama menyebutkan dan lagu kedua tidak menyebutkan. Lagu pertama menyebutkan kejadian itu pada sore hari. Sementara lagu kedua menyebutkan kejadian itu pada malam hari. Dan ternyata waktu kejadian ini juga disebutkan jelas pada judul lagu, yakni “Bengawan Sore” dan “Lingsir Wengi”.

Variasi Bahasa


KEANEKARAGAMAN BAHASA
(VARIASI BAHASA)


Pengertian
            Bangsa Indonesia merupakan negara kepulauan. Tiap-tiap pulau memiliki bahasa sendiri-sendiri. Bahasa tiap pulau atau wilayah biasa disebut dengan bahasa daerah. Bahasa Indonesia sendiri merupakan perpaduan dari berbagai bahasa daerah yang ada di seluruh wilayah Indonesia.
            Bahasa Indonesia telah dipilih menjadi bahasa persatuan dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Bahasa Indonesia dipakai sebagai sarana komunikasi bagi masyarakat dari berbagai wilayah. Hal ini sebagai antisipasi mis komunikasi.
            Karena wilayah yang berbeda, maka bahasa Indonesia memiliki variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor-faktor tertentu. Faktor itu antara lain faktor waktu atau kronologis, faktor letak atau geografis, faktor sosial, faktor fungsi, faktor gaya, faktor budaya atau kultural, dan faktor individu.

Macam Variasi Bahasa
            Berdasarkan beberapa faktor yang sudah disebutkan di awal, maka variasi bahasa terdiri dari:
1.        Variasi kronologis
Variasi bahasa ini disebabkan oleh faktor keurutan waktu atau masa. Perbedaan pemakaian bahasa telah mengakibatkan perbedaan wujud pemakaian bahasa. Hal ini terlihat jelas pada bahasa Jawa. Bahasa Jawa sekarang merupakan perkembangan dari bahasa Jawa Tengahan. Bahasa Jawa Tengahan sendiri merupakan perkembangan dari bahasa Kawi atau Jawa Kuno. Bahasa Jawa Kuno berasal dari bahasa Sanksekerta.
Bahasa Indonesia juga demikian, mengalami berbagai perkembangan. Perkembangan bahasa Indonesia terjadi karena adanya pembinaan yang dilakukan berbagai pihak seperti bahasawan, pers, pemerintah, dan masyarakat luas. Berikut ini peristiwa yang berkaitan dengan pengembangan dan perkembangan bahasa Indonesia.
a.       Sumpah Pemuda
Semenjak kelahirannya pada tanggal 28 Oktober 1928; bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat sehingga bahasa Indonesia yang kita gunakan saat ini tampak jelas bedanya jika dibandingkan dengan “ibunya” yaitu bahasa Melayu.
b.      Tahun 1933
Terbitnya majalah Poedjangga Baroe yang diasuh oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Amir, Hamzah, dan Armijn Pane.
c.       Tahun 1938
Kongres Bahasa Indonesia I di kota Solo, Jawa Tengah. Yang menghasilkan keputusan: mengganti Ejaan Van Ophyusen, mendirikan Institut Bahasa Indonesia, dan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam Badan Perwakilan.
d.      Tahun 1942-1945
Pada masa pendudukan Jepang ini, Jepang melarang penggunaan bahasa Belanda. Hal ini justru menyebabkan bahasa Indonesia mempunyai peran yang semakin penting.
e.       Tanggal 18 Agustus 1945
Bahasa Indonesia diresmikan sebagai bahasa negara, dalam UUD 1945, BAB XV, pasal 36 yang berbunyi ‘bahasa negara ialah bahasa Indonesia’.
f.       Tanggal 19 Maret 1947
Menteri P dan K Mr. Soewandi meresmikan Ejaan Republik sebagai penyempurnaan atas ejaan sebelumnya. Atau biasa dikenal dengan ejaan Soewandi.
 g.      Tahun 1948
Terbentuk sebuah lembaga yang menangani pembinaan bahasa dengan nama Balai Bahasa. Tahun 1968 diubah menjadi Lembaga Bahasa Nasional. Tahun 1972 diubah menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang selanjutnya dikenal dengan Pusat Bahasa.
h.      Tanggal 17 Agustus 1972 diresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD).
i.        Berbagai Kongres bahasa yang selalu dilaksanakan sampai sekarang.
2.        Variasi geografis
Variasi bahasa ini disebabkan oleh letak atau gografisnya. Adapun wujud dari variasi ini disebut dialek. Misalnya bahasa Jawa dialek Banyumas, dialek Tegal, dialek Osing. Ilmu yang mempelajari bidang ini disebut dialektologi.
3.        Variasi sosial
Variasi ini disebabkan oleh perbedaan sosiologis. Realisasi variasi sosial ini berupa sosiolek. Adapun macam sosiolek:
a.       Akrolek, variasi bahasa yang dipandang lebih bergengsi atau lebih tinggi dari variasi yang lain. Contoh bahasa Indonesia dialek Jakarta dianggap lebih bergengsi daripada daerah lain.
b.      Basilek, variasi bahasa yang dianggap kurang bergengsi atau bahkan dipandang rendah. Contoh bahasa Indonesia yang dipakai pekerja bangunan dianggap lebih rendah daripada pekerja kantoran.
c.       Vulgar, variasi bahasa ini memiliki ciri menunjukkan pemakaian bahasa oleh penutur yang kurang terpelajar. Contoh bahasa yang digunakan tukang becak, ojeg, atau preman.
d.      Slang, variasi bahasa yang bersifat khusus dan rahasia. Bersifat khusus berarti dipakai kalangan tertentu yang sangat terbatas. Bersifat rahasia berarti tidak boleh diketahui oleh orang di luar kelompok. Contoh bahasa yang digunakan ‘genk’ atau kelompok-kelompok tertentu.
e.       Kolokial, variasi bahasa yang biasanya digunakan kelompok sosial kelas bawah dalam percakapan sehari-hari. Contoh bahasa yang digunakan penduduk di wilayah pedesaan atau pedalaman.
f.       Jargon, variasi bahasa yang pemakaiannya terbatas pada kelompok-kelompok sosial tertentu, tetapi tidak bersifat rahasia. Contoh bahasa montir, bahasa sopir.
g.      Argot, variasi bahasa yang pemakaiannya terbatas pada profesi-profesi tertentu dan bersifat rahasia. Contoh bahasa para pencuri.
h.      Ken (cant), variasi bahasa yang dipakai oleh kelompok sosial tertentu dengan lagu yang dibuat-buat supaya lebih menimbulkan kesan “memelas”. Contoh bahasa yang digunakan peminta-minta.
4.        Variasi fungsional
Variasi ini melihat pada fungsi pemakaian bahasa. Ada yang menyebut dengan istilah register. Beberapa register yang ada di Indonesia, antara lain: bahasa untuk khotbah, bahasa tukang jual obat, bahasa telegram, bahasa reportase, bahasa MC, bahasa SMS dan lainnya.
Tiap register memiliki ciri sendiri-sendiri yang berbeda satu dengan yang lain.
5.        Variasi gaya
Variasi ini disebabkan oleh perbedaan gaya. Gaya adalah cara berbahasa seseorang dalam menggunakan bahasa. Menurut Mario Pei (dalam Soeparno, 1993:58) mengemukakan adanya lima macam gaya, yakni: gaya puisi, gaya prosa, gaya ujaran baku, gaya kolokial atau percakapan kelas rendah, gaya vulgar dan slang.
Sedangkan Martin Joss (Soeparno, 1993:58) membedakan lima gaya berdasarkan tingkat kebakuan, yaitu
a.       gaya frozen
Gaya ini disebut juga gaya beku, sebab bentuk pemakaiannya tidak pernah berubah dari masa ke masa dan oleh siapa pun penuturnya. Contoh peribahasa, idiom.
b.      gaya formal
Gaya ini disebut juga gaya baku. Pola kaidahnya sudah ditetapkan sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan. Contoh diperkantoran, lembaga pendidikan.
c.       gaya konsultatif
Gaya ini disebut juga setengah resmi karena bentuknya terletak diantara gaya formal dan gaya informal. Contoh pengusaha.
d.      gaya kasual (casual)
Gaya ini disebut juga gaya informal atau santai. Ciri gaya bahasa ini antara lain banyak menggunakan bentuk pemendekan, baik pada kata, frasa, maupun kalimatnya. Contoh pembicaraan di ‘angkringan’.
e.       gaya intim
Gaya ini disebut juga gaya akrab. Cirinya hampir tidak beraturan, manasuka. Contoh pembicaraan suami istri atau ibu dengan anak.
6.        Variasi kultural
Variasi ini disebabkan oleh perbedaan budaya masyarakat pemakainya. Suatu bahasa yang dipergunakan oleh penutur asli atau penutur pribumi, kadang-kadang mengalami perubahandengan maksud budaya lain.
Berbagai variasi kultural meliputi
a.       Vernakular
Vernakular merupakan bahasa asli atau bahasa penduduk pribumi di suatu wilayah. Contoh bahasa Jawa yang sudah mulai tergeser dengan bahasa Indonesia.
b.      Pidgin
Pidgin merupakan bahasa yang struktur maupun kosakatanya merupakan struktur campuran sebagai akibat percampuran dua budaya yang bertemu. Contoh bahasa Inggris yang ada di Malaysia.
 c.       Kreol (creol)
Kreol merupakan bahasa campuran yang sudah berlangsung turun-temurun sehingga struktur maupun kosakatanya menjadi mantap. Bahkan kreol dapat diangkat menjadi bahasa resmi suatu negeri. Contoh bahasa Indonesia yang merupakan perpaduan bahasa Melayu dan beberapa bahasa daerah di wilayah Indonesia.
d.      Lingua franca
Lingua franca merupakan bahasa yang diangkat oleh para penutur yang berbeda budayanya untuk dipakai bersama-sama sebagai alat komunikasi. Contoh bahasa Inggris.
7.        Variasi individual
Variasi ini disebabkan oleh perbedaan perorangan. Macam variasi ini disebut idiolek. Setiap individu pengguna bahasa memiliki ciri tuturan yang berbeda dengan penutur lain. Itulah sebabnya kita dapat mengenal seseorang lewat tuturannya, meskipun kita tidak melihat si penutur itu.
Contoh idiolek dalam pewayangan. Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong memiliki ciri tuturan yang khas.