Sunday, November 23, 2014

Analisis Karya Ilmiah1

Paradigma Masyarakat Danawinangun terhadap Filsafat Ilmu

Ikfal Al Fazri (1414331025)

Filsafat Ilmu merupakan salah satu cabang pengetahuan yang berkembang sangat pesat, sehingga Ilmu menjadi sebuah pengetahuan yang di gumuli dalam kegiatan pendidikan.

Kata Kunci: filsafat, ilmu, masyarakat, Danawinangun

A.      Pendahuluan
1.         Latar Belakang
Filsafat adalah induk semua ilmu, demikianlah kata para filosof. Pada awalnya, memang cakupan objek filsafat lebih luas dibandingkan ilmu. Ilmu hanya terbatas pada persoalan empiris saja, sedangkan filsafat mencakup objek empiris maupun empiris. Namun pada perkembangannya, filsafat berkembang menjadi bagian terspesialisasi, seperti filsafat agama. filsafat ilmu, dan filsafat hukum. Alasannya, filsafat tidak terus menerus berada di awang-awang, tapi juga harus membimbing ilmu.[1]
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat di dorong untuk mengetahui  apa yang telah  diketahui dan apa yang belum kita tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah diketahui dalam kesemestaan yang tak terbatas ini. Demikian juga berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang telah di jangkau.[2]
Dalam filsafat, cabang yang membahas tentang pengetahuan di antaranya adalah Ilmu dan Epistemologi. Epistemolgi merupakan cabang filsafat yang membahas tentang hakikat, keaslian, metode, dan struktur pengetahuan. Seperti induknya (filsafat) epistemologi secara global memiliki pengaruh terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.[3]
Sedangkan Ilmu merupakan pengetahuan yang kita gumuli sejak di bangku sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti berterus terang terhadap diri kita sendiri. Apakah sebenarnya yang kita ketahui tentang ilmu? Apakah ciri-cirinya yang hakiki yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya yang bukan ilmu? Bagaimana kita ketahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang benar?[4]
 Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu  alam dan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan terknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat yang bersifat otonom. Ilmu memang berbeda dari pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan diantara keduanya.[5]

2.      Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam karya tulis ini, yaitu bagaimana paradigma masyarakat terhadap Filsafat Ilmu di Desa Danawinangun?

3.      Tujuan
Dari rumusan masalah yang ada di atas maka tujuan penulisan karya ilmiah ini, yaitu Untuk menganalisis, menkaji, dan mengetahui paradigma mayarakat terhadap Filsafat Ilmu.

B.   Filsafat Ilmu
1. Filsafat
Filsafat Ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu.  Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan anatara ilmu-ilmu  alam dan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan terknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat yang bersifat otonom. Ilmu memang berbeda dari pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan diantara keduanya.[6]
Kata filsafat berasal dari kata “philosophia” (bahasa Yunani), diartikan dengan “mencintai kebijaksanaan”. Sedangkan dalam bahasa Inggris kata filsafat disebut dengan istilah “philosiphy” dan dalam bahasa Arab disebut dengan istilah “falsafah” yang biasa diterjemahkan dengan “cinta kearifan”. Istilah philosophia memiliki akar kata philien yang berarti mencintai dan shopos berarti bijaksana. Jadi, istilah philosophia berarti mencintai akan hal-hal bersifat bijaksana. [7]

Latihan KPI 2014

KEEFEKTIFAN DAKWAH MELALUI MEDAI MASA DI ERA GLOBALISASI
LUTFI MUBAROK
1413324028

A.  Pendahuluan
1.    Latar belakang
Dewasa ini, perkembangan tekhnologi media massa semakin menghebohkan masyarakat baik yang sifatnya visual,audio,maupun audio visual. Media massa muncul dengan berbagai macam produk yang ditawarkan terhadap masyarakat. Baik itu informasi  ( politik,ekonomi,budaya), hiburan,pendidikan,iklan dan yang lainnya sesuai kebutuhan masyarakat.
Kata ‘media” adalah merupakan suatu sarana atau jalan dan “massa” berarti orang banya ( khalayak). Pengaruh media masa bukan saja terhadap satu individu melainkan meliputi banyak orang. Media masa mempunyai dua pengaruh besar terhadap khalayak yaitu pertama positif dan yang kedua negatif.
Adanya nilai negatif yang ada dalam media massa, telah banyak mempengaruhi sisi negatif terhadap masyarakat disadari atau tidak. Belom lama ini, media massa televisi menayangkan subuah acara “Smack Down” dimana ditayangkan antara satu orang dengan orang lain saling pukul memukul dan menjatuhkan lawan tanpa adanya belah kasihan. Tayangan tersebut telah mengakibatkan pengaruh terhadap psikologi khalayak terutama anak-anak yang menbuat anak-anak berani berbuat hal yang sama terhadap teman atau orang lain. Belom lagi tayangan-tayangan yang berbau “sek atau pornografi” yang ditampilkan artis-artis sebagai publik figur, sehinggga membuat anak-anak muda khususnya rentang untuk mengikutinya baik dari segi pakean yang dikenakannya maupun dari sikapnya.

Tuesday, November 4, 2014

Latihan PAI C 2014

PENTINGNYA TAHLILAN RUTIN MALAM JUM’AT DI DS.GEMBONGAN INDUK
                                                 Ahmad Safiq Latifi

A.  Pendahuluan
1.    Latar Belakang Masalah
                 Tahlilan rutin malam jum’at sangat penting untuk desa gembongan induk karena bisa menjalin tali sillaturahmi antar warga karena di pertemukan di   di setiap malam jum’at di rumah secara bergiliran,bahwa sanya kita semua tahu dengan bersillaturahmi kita bisa lebih akrab dengan tetangga. 
              Tentu saja tahlilan akan menumbuhkan rasa cinta pada Allah SWT karena kita akan senantiasa selalu ingat Allah SWT,kita selalu berdzikir, bersholawat dan berdo’a kepada-NYA  apalagi dilakukan malam jum’at malam yg amat istimewa untuk umat muslim.
              Dengan di adakannya tahlilan rutin setiap malam jum’at InsyaAllah akan mendapatkan suatu keberkahan dari Allah SWT karena selalu berdzikir padanya tentu saja hal ini akan menjadi sangat positi khususnya untuk desa gembongan induk dan akan memakmurkan desa gembongan induk itu sendiri.
             Di pertemukannya warga setiap malam jum’at di rumah-rumah secara bergiliran di setiap malam jum’at  akan menumbuhkan  solidaritas yang tinggi antar warga karena dengan seringnya warga berkumpul di pertemuan yg mulia ini mereka akan saling membantu jika salah satu warganya ada yang sedang kesusahan.
           Tahlilan Mengajak warga gembongan induk kedalam kebaikan ,mengajak warga  terbiasa mengerjakan hal-hal yang baik dan menjauhkan warganya dari hal-hal yg buruk seperti melakukan hal-hal yang berbau maksiat, tapi dengan adanya tahlilan InsyaAllah warga gembongan induk akan terhindar dari hal tersebut.

2.    Rumusan Masalah
     (pengantarnya mana?) Bagaimana cara agar semua warga gembongan induk mau tahlilan rutin setiap malam jum’at?                  
     
3.      Tujuan
      Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah ingin menjelaskan cara supaya semua warga gembongan induk mau tahlilan rutin setiap malam jum’at khususnya kaum pria.

B. Pembahasan          
   1. Pengertian Tahlilan
        Syamsul Bahri (2008:7 ) Tahlilan menurut bahasa berasal dari bahasa arab  yaitu dari kata “hallala” yang berarti mengucapkan “laa ilaaha illalah” seperti basmalah mengucapkan bismillah, hamdalah mengucapkan Alhamdulillah dan seterusnya,adapun bentuk kata kerjanya ialah (hallala-yuhallilu) yang berarti membaca atau mengucapkan :laa ilaaha illallah bentuk masdarnya ialah:”Tahlilan Attahliilu” yang berarti pembacaan ucapan laa ilaaha illalah.
      Zakaria (2012:18) Tradisi tahlilan merupakan kebiasaan masyarkat,umat islam khususnya. Tradisi ini di lakukan pada saat mengunjungi makam dengan maksud ziarah setiap sore jum’at dan terdapat orang meninggal dunia.Tahlilan merupakan dzikir yang di anjurkan oleh rasul dengan maksud mengingatkan orang yang hidup untuk selalu mengingat kepada Allah dimanpun ia berada.
       Drs.H.Danusiri.M.Ag (TT:1) Tahlil belum  tentu  tahlilan,  tetapi  dalam  tahlilan  pasti ada  bacaan tahlil. Tahlil  adalah  nama  lafal essensi tauhid  laa  ilaha  illo-llaah  (tidak  ada Tuhan  selain  Allah).  Tahlilan adalah seperangkat formula  yang  terdiri  atas  sejumlah  kalimat thayyibah,  surat-surat pendek,  ayat-ayat,  atau bahkan potongan-potongan  ayat Alqur'an  yang  dibaca  baik  secara  individual  maupun  komunal  (sendiri-sendiri atau  berjamaah/koor),  didasari  keyakinan  bahwa  membacanya memperoleh  pahala  dari  Allah swt.
        M.Nashiruddin Al-Albani dan Abdul Galib Isa (2014:7)Tahlil adalah  Memperbanyak menyebut nama Allah dengan berkata “laa ilaaha illallah” (tidak ada tuhan selain Allah).
       Ali Abdullah (2014:99) Pada dasarnya lafal tahlil tersebut merupakan pengakuan diri manusia terhadap kerasulan Nabi Muhammad saw perlu di ketahui bahwa lafal tersebut merupakan kependekan dari dua kalimat syahadat yang mengakui keesaan Allah.dan kerasulan Nabi Muhammad saw.
Sintesis:Tahlilan adalah tradisi masyarakat khususnya umat islam yang biasanya di lakukan pasca ada orang yang meninggal,pada perkumpulan di kampung yang dilakukan setiap malam jum’at maupun malam-malam yang lain dan juga berziarah kubur.Tahlilan adalah salah satu cara masyarakat mendoakan tetangga atau kerabat yang meninggal dengan dzikir dan doa-doa yangg tentunya mendoakan orang sudah meninggal tersebut maupun mengharap pahala dari Allah SWT untuk dirinya sendiri.

2.        Pendapat-pendapat tentang tahlil dan tahlilan
                A.Shihabuddin (2010:156 ) Begitu  juga  halnya  dalam  majlis     tahlilan/yasinan  membaca ayat-ayat Al-Qur’an, tasbih, tahmid,  sholawat pada Nabi saw. dan sebagainya adalah membaca do’a pada Allah swt. khusus untuk si mayyit. Semua bacaan dzikir yang dibaca dalam majlis ini sudah pasti akan mendapat pahala, banyak hadits yang meriwayatkan- nya begitu  juga  halnya  dalam  majlis  tahlilan/yasinan  tujuan  utama.              
               Ali Abdullah (2014:100)Lafal tahlil  mengandung dua sasaran kandungan penting yang harus kita ketahui.Pertama, Allah swt,merupakan satu-satunya tuhan,tiada tuhan yang patut di sembah kecuali hanya Allah swt.Hal itu mengisyaratkan ketauhidan dan larangan menyekutukan Allah.         
     Muammad Faqih (TT:172)Rasulullah SAW Bersabda.” Barang siapa yang membaca; LAAILAAHA ILLALLAAH WAHDAHU LAA SYARIIKA LAH LAHULMULKU WALAHUL HAMDU WAHUA’ALAA KULLI SYAIIN QADIR,10x, maka  dia seperti orang yang memerdekakan 4 orang budak dari keturunan Nabi Ismail.”
             Syarif  Hidayatullah (2014:35)  Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi dalam kitabnya Al-Hawi lil Fatawi jus 11 halaman 178 menuliskan sebagai berikut,” sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selam 7 hari.Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut”.
Sintesis: Dari banyaknya pendapat tentang tahlilan di atas kita bisa menilai sendiri tentang tahlilan ,tergantung kitanya mau menanggapi seperti apa karena ada yg mengatakan boleh ada juga yang tidak,tapi bukannya kita harus menilai tahlil itu sesuatu yang bid’ah dan yg tidak tahlil itu musyrik kita harus berfikir jernih mengambil hal-hal yang positifnya tentang tahlilan dari banyaknya pendapat tersebut.
 4.    Keutamaan malam dan hari jum’at
                Ali Abdullah (2014:57) Pada dasarnya semua hari adalah baik dan tidak ada hari yang tidak baik.Meskipun demikian,jum’at adalah hari yang paling baik di antara semua.Jum’at juga merupakan hari besar atau hari raya.Hal itu sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.
                Tarmidzi Abdurrahman (2014:8) Diriwayatkan dari Abu Burdah dari Abu Musa Al-Asy’ari ia berkata,Abdullah bin Umar berkata kepadaku “apakah engkau pernah mendengar ayahmu menyampaikan hadits Rasulullah mengenai waktu (terkabulnya doa) pada hari jum’at?” ya,aku pernah mendengarnya mengatakan,aku pernah mendengar Rasulullah bersabda ”waktu tersebut adalah antara duduknya imam hingga selesainya shalat”.
          Syaiful Mujahidin (2011:253)  Kita di anjurka pula menghidupkan lima malam dalam setahun,yaitu: malam jum’at,malam idul fitri,malam idul adha,dan malam pertama di bulan rajab.
                Syaiful Mujahidin (2011:252) Usahakan memperbanyak kebaikan dan menjauhi keburukan sebab, pada hari itu kebaikan dan kejahatan di lipat gandakan di anjurkan pula untuk memperbanyak doa dengan harapan doa itu bertepatan dengan waktu-waktu yang mustajab.
               Ibnu Abi Nashir (2013:37) Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.,bahwa Rasulullah saw bersabda,”di dalamnya terdapat waktu,dimana tidaklah seorang muslim bertepatan dengannya sedang ia dalam keadaan berdiri shalat dan meminta sesuatu kepada Allah  Ta’ala kecuali Dia akan memberikannya.”Beliau berisyarat dengan tangannya bahwa waktunya sedikit.Berdasarkan hadits ini,bahwa waktunya adalah pada akhir waktu hari jum’at setelah ashar,bisa jug ketika khutbah dan ketika shalat.

Sintesis:Malam jum’at memang identik dengan keyakinan-keyakinan masyarakat yang memang menganggap hari yang istimewa yang biasanya di lakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan ibadah seperti tahlilan rutin malam jum’at,membaca surat yasin serta ayat –ayat Al-Qur’an yang lain,dan tidak asing juga di telinga kita ada yang namanya jum’at kliwon biasanya di jum’at ini kita berziarah ke makam dan melakukan tahlil bersama di suatu mushola atau masjid yang di sebut kliwonan.

Latihan 2

TEMA :
PERANAN MASYARAKAT TERHADAP ANAK JALANAN UNTUK MENCAPAI KESEJAHTERAAN
NUR’AENI
Abstrak
Kata Kunci :
A. Pendahuluan
1. Latar belakang
Persoalan sosial yang saat ini sedang merebak yaitu semakin banyaknya anak jalanan di Indonesia. Anak jalanan tidak hanya ada di kota-kota besar saja, di kota-kota kecilpun sudah mulai bermunculan anak jalanan. Hidup sebagai anak jalanan bukanlah pilihan hidup yang menyenangkan, karena anak jalanan hidup dalam ketidak jelasan akan masa depannnya.
Persoalan sosial yang seperti ini menjadi masalah bagi semua pihak, baik keluarga, masyarakat, dan negara. Anak jalanan merupakan saudara kita, amanah Allah Swt yang harus dilindungi,dan dijamin hak-haknya. Sehingga mereka semua bisa tumbuh kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab, dan memiliki masa depan yang cerah.
Secara psikologis mereka semua adalah anak-anak yang pada taraf tertentu belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan bahkan berpengaruh negatif terhadap tumbuh kembang mereka, yang bisa berdampak kuat pada aspek sosial mereka. Dimana dengan penampilan mereka yang kumuh, menjadikan pencitraan yang negatif oleh sebagian masyarakat terhadap mereka.
Permasalahan yang sedang dihadapi saat ini, banyak ditemukan anak-anak yang kurang diperhatikan oleh orang tuanya, sehingga hak-hak mereka tidak terpenuhi. Dan hal itu disebabkan karena keadaan keluarga mereka yang tidak berkecukupan, keluarga yang berpendidikan rendah, dan salah persepsi terhadap anak.
Supaya permasalahan sosial ini dapat teratasi, pihak orang tua, masyarakat dan manusia dewasa lainnya segera mengupayakan perlindungan terhadap hak-hak mereka agar kebutuhan mereka dapat terpenuhi secara optimal.
2. Rumusan masalah
Pengantarnya mana?
Bagaimana peranan masyarakat terhadap anak jalanan?

3. Tujuan masalah
Mengetahui peranan masyarakat terhadap anak jalanan agar mencapai suatu kesejahteraan (apakah hanya mengetahui?)
B. Pembahasan
a. Teori
1. Pengertian masyarakat
Masyarakat berasal dari bahasa Arab “syaraka” yang berarti ikut serta berpartisipasi atau “musyaraka” yang berarti saling bergaul. Di dalam bahasa  Inggris dipakai istilah “society” yang sebelumnya berasal dari kata latin “socius” berarti “kawan”. Pendapat sejenis juga terdapat dalam buku; sosiologi kelompok dan masalah sosial, karangan Abdul Syani ( 1987) dijelaskan bahwa perkataan masyarakat berasal dari kata musyarak (Arab) yang artinya bersama-sama, kemudian berubah menjadi masyarakat, yang artinya berkumpul bersama, hidup bersama dengan saling berhubungan dan saling mempengaruhi, selanjutnya mendapatkan kesepakatan menjadi masyarakat. Dengan lain perkataan, masyarakat sebagai community cukup memperhitungkan dua variasi dari suatu yang berhubungan dengan kehidupan bersama (antar manusia) dan lingkungan alam. Masyarakat  sebagai suatu kesatuan berfungsi sebagai alat kontrol terhadap anggota-anggotanya sedemikian rupa agar seluruh anggotanya menghormati dan menjalankan kegiatan sesuai dengan norma-norma budaya yang diciptakannya sendiri.[1]
Menurut ahli sosiologi M, J. Heskovits, masyarakat adalah kelompok individu yang mengorganisasikan dan mengikuti suatu cara hidup tertentu.
Sedangkan menurut ahli sosiologi Marck Ever, masyarakat adalah suatu sistem dari cara kerja dan prosedur, otoritas dan saling bantu-membantu yang meliputi kelompok-kelompok dan pembagian-pembagian sosial, sistem pengawasan tingkah laku manusia dan kebebasan. Sistem yang kompleks dan selalu berubah dari relasi sosial.
Jadi, berdasarkan pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang hidup bersama dalam suatu tempat, hidupnya saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, dan masyarakat itu mempunyai suatu tujuan yang sama untuk bisa mencapai suatu kesejahteraan dalam masyarakat tersebut.


2. Pengertian anak jalanan
Anak jalanan atau sering disingkat anjal adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, misalnya : pengamen, pengemis, anak punk, dan lain sebagainya.
Anak jalanan dapat di bagi menjadi 4, yaitu :
1. Pengertian untuk kategori pertama adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih pulang ke rumahnya.
2. Kategori kedua adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya dijalanan dan tidak memiliki hubungan atau ia memutuskan hubungan dengan orang tua atau keluarganya.
3. Kategori ketiga adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya di jalanan.
4. kategori keempat adalah anak berusia 5-17 tahun yang rentan bekerja di jalanan, anak yang bekerja di jalanan. dan atau yang bekerja dan hidup di jalanan yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup bersama.
Sedangkan menurut tata Sudrajat, anak jalanan dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok berdasarkan hubungan dengan orang tuanya, yaitu : Pertama, Anak yang putus hubungan dengan orang tuanya, tidak sekolah dan tinggal di jalanan ( anak yang hidup dijalanan / children the street ). Kedua, anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya, tidak sekolah, kembali ke orang tuanya seminggu sekali, dua minggu sekali, dua bulan atau tiga bulan sekali biasa disebut anak yang bekerja di jalanan ( Children on the street ) Ketiga, Anak yang masih sekolah atau sudah putus sekolah, kelompok ini masuk kategori anak yang rentan menjadi anak jalanan ( vulnerable to be street children ).[2]
Anak jalanan dilihat dari sebab dan intensitas mereka berada di jalanan memang tidak dapat disamaratakan. Dilihat dari sebab, sangat dimungkinkan tidak semua anak jalanan berada dijalan karena tekanan ekonomi, boleh jadi karena pergaulan, pelarian, tekanan orang tua, atau atas dasar pilihannya sendiri.
Pekerjaan anak jalanan beraneka ragam, dari menjadi tukang semir sepatu, penjual asongan, pengamen sampai menjadi pengemis. Banyak faktor yang kemudian diidentifikasikan sebagai penyebab tumbuhnya anak jalanan. Parsudi Suparlan berpendapat bahwa adanya orang gelandangan di kota bukanlah semata-mata karena berkembangnya sebuah kota, tetapi justru karena tekanan-tekanan ekonomi dan rasa tidak aman sebagian warga desa yang kemudian terpaksa harus mencari tempat yang diduga dapat memberikan kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih baik di kota.(karena kutipan langsung, maka cara menulis seperti ini salah).[3]

Tuesday, October 28, 2014

Latihan

KEPERCAYAAN MITOS DIMASYARAKAT
BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar belakang  
         Masyarakat mertapada memilki ikatan yang erat dengan lingkungan. Itu juga sebabnya merreka sangat memperhatikan kejadian-kejadin dilingkungan sekitar sebagai pertanda bagi kejadian-kejadian lain. Sebenernya hal itu bermula dari istilah “Titen” yang mendeteksi suatu kejadia yang terjadi terus menerus dan berkaitan dengan kejadian lain yang juga berlangsung delam kondisi yang sama atau serupa. Itu juga sebabnya mereka sangat memperhatikan kejadian-kejadian lingkungan sekitar sebagai pertanda bagi kejadian-kejadian lain. Selain itu masyarakat pintar meyimbolkan segala sesuatu, mengkait-kaitkan kejadian satu dengan kejadian yang lain, pintar membuat cerita-cerita yang akhirnya hingga saat ini banyak mitos yang berkembang di desa mertapada. Penulis mencoba mengumpulkan mitos-mitos yang masih hidup dan berkembang di masyarakat desa Mertapada .
B. Rumusan Masalah
   1- apa saja mitos yang berkembang oleh masyrakat mertapada?
 C. Tujuan
 1- untuk  mengembangakan pola pikir manusia terperangakap dalam kepercayaan mistis tanpa ada penjelasan yang logis dan kritis

Friday, September 5, 2014

Tiada dan Sama

Adamu karena tiadamu
Adanya karena tiadanya
Ada atau tiada adalah sama.

Berjalan sendiri
Berjalan bersama
Keduanya adalah sama.

Sedihmu ada tangis
Sukamu ada tangis
Sedih atau suka adalah sama.

Diam...
Berjalan....
....adalah sama.

Tuhan....
Engkau Maha Pemilik Kesamaan
Namun Engkau Tiada Tersamakan.

Tuhan....
Antara ada dan tiada
Kepada Mu semua berpulang.

Satuan Acara Perkuliahan Bahasa Indonesia 2014

Bahasa Indonesia adalah mata kuliah wajib di Perguruan Tinggi mana pun. Salah satu indikator keberhasilan pembelajaran mata kuliah Bahasa Indonesia adalah mahasiswa mampu menulis makalah. Demi tercapainya tujuan tersebut, maka perlu ada perencanaan pembelajaran. Berikut ini Satuan Acara Pembelajaran (SAP) yang akan digunakan selama satu semester.
Silakan unduh di sini. https://iaincirebon.academia.edu/IndryaMulyaningsih/Papers?s=nav#add/research_interests

Monday, May 5, 2014

"Ronggeng Dukuh Paruk": Perspektif Gender



Indrya Mulyaningsih*


PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
       Di daerah Banyumas terdapat suatu kebudayaan yang terkenal, yaitu ronggeng. Wilayah lain, seperti Grobogan, Pati, atau Sragen menyebutnya dengan ledek. Sedangkan di Jepang disebut gesha. Bisa jadi di daerah lain di dunia ini juga ada, namun namanya berbeda.
Ketiga istilah tersebut menyoroti pada wanita. Atau wanita sebagai objek utama. Wanita yang berprofesi sebagai penghibur, tetapi bukan wanita tunasusila. Penghibur di sini hanya menemani selama beberapa waktu, tetapi tidak sampai pada melakukan hubungan suami istri.
Tidak semua wanita dapat menjadi gesha, ledek, maupun ronggeng. Wanita yang memiliki keahlian tertentu sajalah yang dapat menjadi ronggeng. Keahlian utama yang harus dimiliki adalah dalam berkesenian, yakni menyanyi dan menari. Dalam hal ini ronggeng tidak sama dengan penyanyi, meskipun penyanyi juga harus memiliki keahlian dalam hal menyanyi dan menari.
Untuk menjadi ronggeng, diperlukan syarat-syarat khusus. Ada prosesi ritual yang harus dilakukan para ronggeng. Demikian juga dengan ledek dan gesha. Di Jepang, untuk menjadi gesha harus dilatih dan berlatih dahulu. Tidak semua orang bisa menjadi gesha. Hanya yang profesional yang laku dan diminati para penikmat, dalam hal ini laki-laki.
Berdasarkan film dokumenter, istri-istri Jepang bangga bila suaminya ditemani oleh gesha yang terkenal. Suami-suami itu dianggap hebat.
Dengan perkembangan peradaban, ketiga penghibur itu, lama-lama mulai surut. Mulai tidak banyak diminati. Hal ini seiring dengan mulai dilegalkannya lokalisasi, Gang Dolly, misalnya. Seandainya masih ada, sudah tidak ada syarat khusus atau tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk menjadi ronggeng, ledek, atau gesha.
Berdasarkan tinjauan sosial ekonomi, kemunculan ronggeng merupakan tuntutan kebutuhan ekonomi, selain memang sudah merupakan kebudayaan. Artinya, di Banyumas, ronggeng merupakan suatu kebudayaan yang dilakukan turun-temurun. Selain itu, ronggeng juga dapat menambah pendapatan seseorang. Dengan kata lain, ronggeng dapat menjadi sumber penghasilan seseorang.

B.  Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, nampak jelas bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia, khususnya Banyumas telah menganut feminis. Benarkah demikian? Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini akan dianalisis dengan menggunakan telaah feminisme terhadap ‘Ronggeng Dukuh Paruk’ karya Ahmad Tohari.


KAJIAN TEORETIS
A.  Kritik Sastra
       Menurut Zainuddin Fananie (2000: 20) kritik sastra adalah pertimbangan untuk menunjukkan kekuatan atau kebagusan dan juga kekurangan yang terdapat dalam karya sastra. Karenanya hasil kritik sastra biasanya mencakup dua hal, yaitu baik dan buruk. Menurut H.B. Jassin dalam Suroso (2009: 13) kritik sastra adalah salah satu jenis esai, yaitu pertimbangan baik atau buruk sesuatu hasil kesusastraan.
       Menurut William Flint dalam Puji Santoso (2009: 13) kritik sastra adalah keterangan, kebenaran analisis atau judgment suatu karya sastra. Menurut William Henry Hudson dalam Pardi Suratno (2009: 14) kritik sastra adalah penghakiman yang dilakukan oleh seorang yang ahli atau memiliki sesuatu kepandaian khusus untuk membedah karya sastra, memeriksa karya sastra mengenai kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya, dan menyatakan pandangannya tentang hal itu.
       Menurut Frye Northrop dalam Suroso (2009: 14) kritik sastra adalah seluruh pembicaraan karya sastra, meliputi teori sastra, teori simbol-simbol, teori mitos, dan teori genre sastra. Menurut Graham Hough dalam Rachmat Djoko Pradopo (1995: 92) kritik sastra bukan hanya terbatas pada penyuntingan dan penetapan teks, interpretasi, dan pertimbangan nilai, melainkan kritik sastra meliputi masalah yang lebih luas tentang apakah kesusastraan, untuk apa, dan bagaimana hubungannya dengan masalah-masalah kemanusiaan yang lain.
       Begitu banyak pengertian kritik yang disampaikan para ahli sastra. Namun demikian, dengan bahasa sederhana dapatlah dikatakan bahwa kritik sastra berarti menyampaikan suatu penilaian terhadap karya sastra, apa pun bentuknya.
      

Tuesday, April 22, 2014

Nilai Keagamaan dan Nilai Pendidikan

NILAI KEAGAMAAN DAN NILAI PENDIDIKAN
DALAM ANTOLOGI PUISI “TADARUS”
KARYA A. MUSTOFA BISRI
Indrya Mulyaningsih
IAIN Syekh Nurjati Cirebon, indrya_m@yahoo.com

Abstrak

Puisi memiliki banyak manfaat, antara lain dapat memberikan kesenangan atau hiburan kepada pembaca. Puisi juga dapat membentuk pandangan hidup pembaca. Perkembangan puisi di Indonesia tidak bisa lepas dari peran penyair, baik yang berasal dari lingkungan umum maupun dari pesantren. Salah satu penyair santri Indonesia yang menuangkan gagasan dalam bentuk puisi adalah A. Mustofa Bisri. Permasalahan penelitian ini adalah bagaimanakah deskripsi nilai keagamaan dan nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus karya A. Mustofa Bisri? Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai keagamaan dan nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus karya A. Mustofa Bisri. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif dengan teknik pengumpulan data berupa analisis dokumen dan wawancara. Validasi data menggunakan triangulasi sumber data, metode, dan diskusi dengan penulis. Nilai keagamaan yang ditemukan berupa pengalaman batin dan kesadaran untuk selalu berhubungan dengan Tuhan. Nilai pendidikannya berupa: 1) antara manusia dengan dirinya sendiri, 2) antara manusia dengan orang lain, 3) antara manusia dengan kehidupan, 4) antara manusia dengan kematian, dan 5) antara manusia dengan ketuhanan.

A.  Pendahuluan
Puisi memiliki banyak manfaat, antara lain dapat memberikan kesenangan atau hiburan kepada pembaca. Puisi juga dapat membentuk pandangan hidup pembaca. Kata-kata dalam puisi cenderung sedikit dan sarat makna. Sebagai sebuah karya, puisi banyak mengandung filsafat hidup yang sangat kompleks. Kompleksitas terjadi karena biasanya bahan penciptaan puisi berupa masalah-masalah hidup, dari segala yang ada dan mungkin ada. Puisi juga dapat menggambarkan problema manusia yang bersifat universal, yakni tentang hakikat kehidupan, hakikat manusia, kematian, dan keagamaan (ketuhanan). Dengan kata lain, masalah-masalah tersebut juga memiliki nilai pendidikan yang bermanfaat dan membawa hikmah.
Perkembangan puisi di Indonesia tidak bisa lepas dari peran penyair, baik yang berasal dari lingkungan umum maupun dari pesantren. Bahkan penyair yang juga berstatus sebagai kiai. Dari tahun ke tahun, puisi-puisi yang dilahirkan para penyair santri ini turut mewarnai dan bahkan memperkaya khasanah sastra di tanah air. Salah satu penyair santri Indonesia yang menuangkan gagasan dalam bentuk puisi adalah A. Mustofa Bisri. Mustofa Bisri merupakan seorang ulama dan seorang penyair. Beliau memandang dunia dengan mata batin seorang ulama sekaligus mata batin seorang penyair. Hal itu terkait dengan salah satu fungsi dari pesantren, yakni sebagai tempat untuk ngangsu kaweruh dinul Islam. Alm. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan bahwa pesantren merupakan subkultur tersendiri dalam masyarakat. Konsekuensi logis dari sistem pesantren adalah bisa lebih bebas menyuarakan ketimpangan-ketimpangan sosial yang disebabkan oleh pemerintah, institusi, dan unsur lainnya.
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian ini adalah bagaimanakah deskripsi nilai keagamaan dan nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus karya A. Mustofa Bisri?
Penelitian ini bertujuan untuk
1.        mendeskripsikan nilai keagamaan dalam antologi puisi Tadarus karya A. Mustofa Bisri.
2.        mendeskripsikan nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus karya A. Mustofa Bisri.
Manfaat secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan khasanah dan nilai tambah dalam kajian sastra (puisi). Sebuah tinjauan keagamaan dan tinjauan pendidikan dalam antologi puisi Tadarus karya A. Mustofa Bisri. Manfaat secara praktis, penelitian ini sebagai bahan perbandingan oleh para akademisi yang melakukan kajian sastra agar dapat memberikan pandangan yang senada atau berbeda terhadap kajian ini, utamanya kajian terhadap karya antologi puisi A. Mustofa Bisri.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif. Metode kualitatif-deskriptif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2004: 4).
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah analisis dokumen dan teknik wawancara. Analisis dokumen atau kajian isi dengan memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen (Weber dalam Moleong, 2004: 220). Teknik wawancara ialah teknik yang secara sistematis mendapatkan informasi, data, pandangan seseorang, yang disampaikan informan secara lisan menyangkut satu masalah sesuai dengan pokok penelitian, yang dicatat atau direkam, dan lebih lanjut dianalisis dan diinterpretasi.
Analisis isi (content analysis) ini digunakan karena berbagai alasan berikut: (a) data penelitian ini bersumber pada dokumen, yaitu berupa kumpulan puisi; (b) data yang ada berupa simbol-simbol kebahasaan sehingga dapat dikaji dengan content analysis; dan (c) tujuan utama penelitian ini adalah mendeskripsikan data yang kompleks dan banyak jumlahnya sehingga perlu dikaji dengan content analysis.
Validasi data menggunakan trianggulasi: a) sumber data, yaitu penelitian ini dapat menggunakan beragam sumber data yang koheren (baik tulisan berupa sastra maupun esai) dari penyair, (b) metode, pengumpulan data yang sejenis dapat menggunakan teknik yang berbeda-beda, dan (c) diskusi penulis dengan penyair juga pendapat dan pemikiran sastrawan, budayawan, dan juga rohaniwan tentang diri penyair.

B.  Pembahasan
1.    Teori
a.       Puisi
Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani poeima ‘membuat’ atau poeisis ‘pembuatan’. Dalam bahasa Inggris disebut poem dan poetry. Puisi diartikan ‘membuat’ dan ‘pembuatan’. Puisi termasuk dalam salah satu jenis karya sastra. Bahasa puisi bersifat konotasi karena banyak menggunakan makna kias dan makna lambang atau biasa disebut dengan majas. Bahasanya lebih memiliki kemungkinan banyak makna. Hal ini disebabkan adanya pengkonsentrasian atau pemadatan segenap kekuatan bahasa di dalam puisi.
Perrine (1979) dalam Herman J. Waluyo (2009: 27-28) menyatakan “Poetry is a universal as language and almost as ancient”. Sementara menurut Herman J. Waluyo (2009: 28), puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif. Puisi disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa, baik dalam struktur fisik maupun struktur batinnya. Sedangkan menurut Suminto A. Suyuti (2002: 2-3),secara sederhana puisi dapat dirumuskan sebagai sebentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan adanya aspek bunyi-bunyi di dalamnya. Puisi juga mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair. Semua itu diperoleh dari kehidupan individual dan sosialnya. Pengungkapannya dengan teknik khusus sehingga mampu membangkitkan pengalaman tertentu pula dalam diri pembaca atau pendengarnya.
Struktur puisi pada dasarnya mempunyai dua unsur, yaitu struktur fisik dan struktur batin. Struktur fisik puisi berkaitan dengan bentuk sedangkan struktur batin berkaitan dengan isi dan makna. Menurut Herman J. Waluyo (2009: 76), bahwa struktur fisik yang disebut juga dengan metode puisi terdiri atas 1) diksi, 2) pengimajian, 3) kata konkret, 4) bahasa figurasi atau majas, 5) versifikasi, dan 6) tata wajah atau tipografi. Struktur fisik atau metode puisi tersebut juga dipengaruhi pula oleh penyimpangan bahasa dan sintaksis dalam puisi. Adapun struktur batin adalah struktur yang berhubungan dengan tema, perasaan, nada dan suasana, amanat atau pesan.

b.      Sosiologi Sastra
Hakikat sosiologi sastra menurut Laurenson (1972: 11) “Sociology is essentially the scientific, objective study of man in society, the study of social institutions and of social processes; it seeks to answer the question of how society is possible, how it works, why it persists.” Menurut Wellek (1990: 111-112), sosiologi sastra adalah suatu telaah sosiologis terhadap suatu karya sastra yang meliputi tiga klasifikasi, yakni a) sosiologi pengarang, b) sosiologi karya sastra, dan c) sosiologi pembaca.
Sementara Russell (1973: 529) berpendapat bahwa sosiologi sastra adalah studi tentang sarana produksi sastra, distribusi, dan studi tentang masyarakat tertentu. Rachmat Djoko Pradopo (2002: 22) beranggapan bahwa karya sastra dipengaruhi oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya. Dikatakan oleh Robert Escarpit (2008: 14) bahwa keberadaan sosiologi sastra telah membantu pembaca, yakni dengan jalan membantu ilmu sastra tradisional-sejarah atau kritik sastra dalam mengamati hubungan antara karya sastra, pencipta, dan sejarah (lingkungan sosial).
Sosiologi sastra merupakan bagian mutlak dari kritik sastra. Kajian ini mengkhususkan diri dalam menelaah sastra dengan memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan. Atar Semi (1993: 73) berpendapat bahwa “Sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya.

c.       Hakikat Nilai
Nilai adalah sesuatu yang selalu dikaitkan dengan kebaikan-kebaikan, kemaslahatan, dan keluhuran. Nilai merupakan sesuatu yang dihargai, dijunjung tinggi, serta selalu dikejar oleh manusia untuk memperoleh kebahagiaan hidup. Dengan nilai, manusia dapat merasakan kepuasan, baik kepuasan lahiriah maupun batiniah. Nilai mencakup beberapa komponen, seperti memilih (segi kognitif), menghargai (segi afektif), dan bertindak (segi psikomotorik). Berikut ini beberapa nilai yang biasanya terkandung dalam sebuah karya sastra: 1) nilai hedonik, 2) nilai artistik, (3) nilai kultural, (4) nilai etis, moral, agama, dan (5) nilai praktis atau nilai pendidikan.
  
d.      Nilai Keagamaan
Keagamaan mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman diri pribadi manusia. Keagamaan tidak bekerja dalam pengertian-pengertian (otak), tetapi dalam pengalaman, penghayatan (totalitas diri) yang mendahului analisis dan konseptualisasi. Keagamaan adalah hasrat untuk hidup dalam karunia Tuhan, hasrat untuk hidup dalam dunia yang nyata dan berdaya, dan tidak di dalam suatu dunia khayalan yang cuma terkurung di dalam kejadian-kejadian subjektif suatu kenisbian yang tiada henti (Y. B. Mangunwijaya, 1982: 16).
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, spiritualitas dan keagamaanositas merupakan dua nama atau sebutan paling umum untuk olah keruhanian dan jalan keruhanian. Meskipun sudah sangat dikenal, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan secara gamblang perbedaan istilah spiritualitas dan keagamaanositas. KBBI hanya menjelaskan istilah spiritual sebagai kejiwaan, ruhani, batin, mental, atau moral sedang istilah keagamaan sebagai taat pada agama atau saleh. Ini menunjukkan, makna spiritualitas lebih luas daripada makna keagamaanositas kendati sama-sama merujuk olah keruhanian dan atau jalan keruhanian.
Jadi, nilai keagamaan dapat dibatasi pada keagamaan sebagai pengalaman batin dan kesadaran seseorang untuk selalu berhubungan dengan Sang Pencipta. Perwujudannya dengan menciptakan hubungan yang harmoni dengan Sang Pencipta dalam pemikiran dan perbuatan. Selanjutnya akan terurai dalam keseimbangan ritual ibadah, baik ibadah personal (pribadi) maupun ibadah sosial. Dalam karya sastra (khusunya puisi), hal tersebut akan disampaikan penyair dalam lahiriah bahasa puisi.

e.       Nilai Pendidikan
Nilai pendidikan adalah suatu gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan sosial. Gagasan, tanggapan maupun sikap itu dalam hal ini akan mampu terwujud dalam suatu pandangan artistik, filofis, maupun agamis sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan ruhaniah pembaca.
Pemahaman nilai pendidikan, jika dirangkaikan dengan pemahaman terhadap nilai-nilai lain (misalnya: nilai keagamaan) menjadi satu-kesatuan pemahaman yang saling melengkapi, sehingga jika digunakan dalam apresiasi sastra (puisi) akan menghasilkan pemahaman yang seimbang. Akan tetapi, pemahaman terhadap kedua nilai tersebut membutuhkan kepekaan yang maksimal bagi pembaca sastra (puisi) untuk mengetahui pesan yang ingin disampaikan penyair dalam puisi-puisinya.
Jadi, nilai pendidikan dalam puisi dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok yang berpengaruh di dalamnya, yakni hubungan manusia dengan masalah: 1) kehidupan, 2) kemanusiaan, 3) kematian, dan 4) ketuhanan.

2.    Analisis
Dalam antologi puisi Tadarus banyak dijumpai puisi deskriptif dan metafisikal. Hal ini untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair berupa kritik terhadap kehidupan sosial sekaligus terhadap diri penyair dengan berbagai permasalahannya, antara lain a) hakikat manusia dan kemanusian, b) keadilan dan kebenaran hidup, c) kejujuran dalam pergaulan hidup, d) koreksi dan introspeksi diri, dan e) kesadaran spiritual.
Antologi puisi Tadarus memuat 50 puisi yang terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama, 18 puisi dan bagian kedua, 32 puisi. Pada tiap bagian akan diambil beberapa puisi untuk ditelaah. Hal ini agar dapat ditemukan hubungan antara sikap penyair dengan gagasan tentang corak kehidupan sosial dalam puisi, nilai-nilai keagamaan, dan nilai-nilai pendidikan.
Secara umum, gagasan atau tema Tadarus tentang kritik terhadap kehidupan sosial yang ditampilkan adalah warna kritik terhadap kemanusiaan, kebenaran, keadilan, koreksi dan introspeksi diri, dan kesadaran spiritual. Oleh karena itu, tinjauan terhadap puisi tersebut, antara lain: a) hakikat manusia dan kemanusian, b) keadilan dan kebenaran hidup, c) kejujuran dalam pergaulan hidup, d) koreksi dan introspeksi diri, dan e) kesadaran spiritual. Gagasan atau tema tersebut akan ditelaah hubungannya dengan nada puisi sebagai sikap yang ingin disampaikan penyair sebagai kritik terhadap tatanan kehidupan sosial termasuk kritik terhadap diri penyair sendiri.
Dalam antologi puisi Tadarus yang mengungkapkan kritik tentang hubungan kemanusiaan diantaranya adalah puisi yang berjudul ”Membangun Rumah”, ”Dzikir 2”, ”Mantan Rakyat”, ”Bosnia Adalah”, dan ”Kubaca Berita”. Puisi ”Membangun Rumah” mengungkapkan sebuah gambaran kesenjangan hubungan kemanusiaan antara orang-orang kaya raya dengan orang yang dipandang hina. Dengan mudahnya orang-orang kaya untuk melakukan apapun yang diinginkannya, termasuk dalam memandang remeh orang-orang yang dianggapnya miskin dan serba kekurangan apapun. Misalnya pada puisi berikut ini.
Di atas tanah rezki Allah
(Cuma tiga hektar luasnya
Pembantu-pembantuku berhasil membelinya
Dari beberapa petani di pinggiran kota)
Akan kubangun rumah sederhana
Arsitek kenamaan kenalan istriku
……………………………………………………………..
Waktu kami akan berangkat ke hotel bersama-sama
dan pembantu kami membuka pintu gapura
beberapa tamu tak diundang menerobos masuk seenaknya
Mereka bilang minta waktu sebentar saja
Meski sangat terganggu kusuruh sekretarisku melayaninya
……………………………………………………..
Tak lama sekretaris melapor dengan tertawa
“Cuma panitia pengumpul dana,” katanya
“Entah untuk solidaritas Bosnia entah apa.
Kukasi lima ribu saja
meraka menghaturkan terimakasih tak terhingga
dan mendoakan kesejahteraan kita”.
Ayo berangkat, seru istriku, ada-ada saja!
Iring-iringan pun bergerak.
(Kulihat para tamu tak diundang itu
tertunduk-tunduk syukur mengawasi kami
Sementara pembantu kami terus mendorong mereka pergi).
                                                        (Tadarus: 17 – 18)

Bait-bait puisi di atas menunjukkan kritik terhadap rasa kemanusiaan orang-orang kaya. Betapa nikmatya menjadi orang kaya segala apapun yang diinginkan, tidak ada yang tidak terwujud. Apapun yang akan dilakukan serba mewah dan sangat jauh dari kemampuan wajar orang-orang miskin. Mulai dari penguasaan tanah, kepemilikan rumah, dan keluar-masuk hotel untuk kepentingan apapun. Orang kaya memandang sebelah mata terhadap orang lain yang dianggap tidak berpengaruh dan menguntungkan posisinya. Mereka cukup memberi penghargaan ala kadarnya, tanpa harus berpusing diri memikirkan keadaan  dan kepentingan orang yang mereka anggap ‘tidak berguna dalam hidupnya’.
Puisi “Dzikir 2” mengungkapkan bagaimana dan dalam posisi apa manusia berdzikir. Dzikir dalam puisi ini bukan bermakna ‘mengingat Tuhan’ secara terus-menerus, tetapi bermakna ‘pengambilan sikap’ atau ‘keputusan’ yang hampir sering dikerjakan, antara ulama, wakil rakyat, dan rakyat. Masing-masing punya sikap sesuai dengan posisi dan kedudukannya. 
Puisi “Kubaca Berita” menyuguhkan beragam kritik terhadap keterbatasan manusia dalam menerima kehendak dan keputusan Tuhan, seperti a) kematian yang sewaktu-waktu dan tiba-tiba datangnya, b) keangkuhan atas jabatan dan kedudukan yang akan sirna tanpa dapat menolaknya, dan c) kesombongan atas kekayaan, idiologi dan pemikiran yang lenyap akibat perbuatan manusia sendiri.
Puisi “Bosnia Adalah” seperti mengingatkan kembali atas keberadaan tragedi kemanusiaan yang dinjak-injak keangkaramurkaan, keserakahan, serta kekejaman dan kekejian akibat perang saudara di bekas Negara Yugoslavia, yakni di Bosnia Herzegovina. Melalui puisi ini pula, A. Musthofa Bisri mengingatkan sekaligus mengkritik akan pentingnya arti kemanusiaan di tengah tragedi peperangan yang banyak menimbulkan ketidakberdayaan, kesengsaraan, dan kematian itu sendiri.
Bosnia adalah wajah kita yang kusut
Bosnia adalah keangkuhan dan ketidakberdayaan kita
Bosnia adalah kita yang terkoyak-koyak
Bosnia adalah kepanikan manusia menghadapi diri sendiri

(Airmata dan darah tertumpah atau tidak
Raung atau erang yang terdengar
Atau justru hanya senyum yang sunyi
Tragedi manusia adalah saat
Kemanusiaannya lepas entah kemana?

Atau barangkali Bosnia
Adalah dunia kita yang mulai
sekarat.
                                                                    (Tadarus: 28)

Bait-bait puisi di atas mengritik sebuah kenyataan tentang tragedi kemanusiaan akibat peperangan di Bosnia. Bahwa perang Bosnia adalah wujud ketidakberdayaan serta pertumpahan darah yang sia-sia akibat nilai-nilai kemausiaan yang dinjak-injak. Bosnia adalah wujud kemanusiaan yang hampir punah. Atau barangkali Bosnia/Adalah dunia kita yang mulai sekarat.
Judul puisi yang mengungkapkan kritik tentang keadilan dan kebenaran hidup antara lain: ”Anonim”, ”Ratsaa”, ”Khalifah Allah, Dimanakah Kau”, ”Selamat Idul Fitri”, dan ”Keadilan”. Dalam puisi ”Anonim” menggambarkanan berbagai pertanyaan tentang kesewenang-wenangan, keserakahan dan berbagai macam ketidakaadilan di negeri ini. Bagaimana nasib para petani, nelayan, dan rakyat yang bersusah payah dalam segala usaha, tetapi yang meraih kenikmatan hanya orang-orang kaya dan orang-orang yang memiliki kekuasaan saja. Rakyat selalu berada di pihak yang selalu dikalahkan.

Siapa yang menanam padi hingga negeri ini
Dari pengimpor beras menjadi
Negeri swasembada pangan yang mandiri
Yang mendahulukan memberi makan anak-anakmu
Sebelum anak-anak sendiri?

Siapa yang menjalankan perahu pukatmu
Dan melawan badai menjala ikan untukmu
Siapa yang merawat tebu-tebumu
Agar persediaan gula terjamin selalu?

Siapa yang menabung receh-recehnya
Di bank hinga kau dan siapa saja yang lebih kaya
Bisa mengkreditnya kapan saja?

Siapa yang mau saja kau tarik-tarik kesan kemari
Mencoblos gambar lima tahun sekali
Hingga kau dan siapa saja yang punya nyali
Mendapat kedudukan terhormat sekali?

Siapa yang menyediakan sawah-sawah murah
Dan tambak-tambak dengan harga rendah
Untuk kau tanami pabrik dan rumah-rumah mewah
Dan tempat-tempat plesiran yang megah?

Siapa yang rela meninggalkan tempat tinggal
Dan segala milik, pekarangan, dan tegal
Bagi proyek-proyek prestisemu yang jajal-jajal?

Siapa yang membayar pajak tak boleh nunggak
Agar bangunan dan periukmu tegak?

Siapa yang bersedia menyerahkan lubang telinga
Untuk kau jejali rongsokan huruf dan kata-kata?

Siapa?
Kenapa kau tak menoleh sekejap saja?
                                                      (Tadarus: 10)

Bait-bait puisi di atas mengritik betapa rakyat kecil dan jelata selalu menjadi sasaran pihak yang berduit dan memiliki jabatan. Rakyat selalu dikalahkan dalam segala hal, baik untuk kepentingan bisnis maupun politik. Rakyat kecil selalu tidak berdaya mengalami ketidakadilan hidup. Orang-orang beruang atau pejabat hanya berorientasi pada harta dan kedudukan sebagai segala-galanya. Oleh karenanya, penghalalan segala cara yang sebenarnya justru menginjak-injak rakyat sering dilakukan.
Dalam puisi “Ratsaa” mengritik terhadap ketidakadilan dan ketidaksempurnaan tatanan hidup. Semua urusan yang menjadi tanggung jawab masing-masing individu dalam keluarga diserahkan pada orang lain. Hingga pada urusan ibadah pada Tuhan dapat dialihkan dan diwakilkan pada siapa pun yang mau melaksanakannya.
Dalam puisi “Khalifah Allah, Dimanakah Kau?” mengritik terhadap beragam karakter manusia. Pemimpin selalu berlaku diktator, angkuh, dan kasar. Kelompok menengah tidak mau mengalah dan selalu ingin maju tapi tak mampu. Sementara rakyat jelata semakin terhimpit dan tersiksa dalam hidup. Dalam keadaan seperti ini, begitu sulit mencari figur pimpinan yang benar-banar adil dan proporsional dalam menjalan tugas dan tanggung jawabnya.
Dalam puisi “Selamat Idul Fitri” mengritik sekaligus menyadarkan terhadap nilai-nilai kebenaran dan keadilan, baik adil dan benar pada diri sendiri, alam (tumbuhan dan hewan), maupun pada sesama. Melalui momen Idul Fitri, seseorang tulus mengucapkan permohonan maaf pada semuanya atas segala kezaliman yang telah diperbuat.
Dalam “Keadilan” mengritik sekaligus menyadarkan tentang makna keadilan yang mungkin saat ini masih dirasa sebagai mimpi. Sesuatu yang masih jauh dari kenyataan. Keadilan masih dalam wujud angan-angan dan impian yang belum dapat diraih.
Hampir tertangkap mimpi.

(Tadarus: 67)

Satu larik puisi di atas menunjukkan kritik sekaligus penyadaran akan arti penting sebuah keadilan. Saat ini, keadilan masih berwujud impian dan angan-angan yang belum tergapai dalam kenyataan hidup. Atau barangkali keadilan memang hanya sebuah impian, jauh dari kenyataan hidup?
Kejujuran dalam pergaulan hidup adalah tema yang juga ingin disampaikan. Dalam antologi puisi  Tadarus yang mengungkapkan tema kujujuran dalam pergaulan hidup antara lain ”Jangan Berpidato”, ”Rampok”, ”Menulis”, dan ”Allah Ampunilah Kami”. Dalam puisi ”Jangan Berpidato” berisi penolakan keras terhadap pidato yang akhir-akhir ini sudah tidak lagi menunjukan nuansa kejujuran nurani, baik segi bentuk maupun isi. Keberadaan pidato sekarang ini hanyalah ocehan murahan untuk menutupi segala kekurangan. Kekurangan yang dianggap baik akan membuat diri sendiri hancur dimakan kebaikan dan kejujuran nurani.
Jangan berpidato!
kata-katamu yang paling bijak
hanyalah bedak murah yang tak sanggup lagi
menutupi koreng-borok-kurap-kudis-panu-mu
Peradaban                                    koreng!
Has asasi                                       borok !
Perdamaian                                  kurap!
Demokrasi                         kudis!
Humanisasi                                   panu!
Berlagaklah adi siapa perduli
                   Bangunanmu tinggal cantik di luar
                   Tinggal menunggu saat-saat ambyar
                                                                           (Tadarus: 8)

Larik-larik puisi di atas menunjukkan betapa tidak berdayanya pidato dengan kata-kata paling bijak sekalipun. Sebab kebijakan yang dibawa hanyalah pelapis luar terhadap segala keburukan dan kebobrokan yang melatarbelakangi keadaan yang sebenarnya. Selama ini yang nampak adalah sebuah bangunan baik di bagian luar, tetapi rapuh kerangka dan penyangganya. Oleh karena itu, tinggal menunggu hancur dan robohnya bangunan itu. Sebuah kejujuran adalah apa yang nampak di luar, juga seperti di dalam.
Dalam “Rampok” mengritik terhadap ketidakjujuran seseorang dalam bersikap. Umumnya jika disuruh memilih antara harta, nyawa, dan nurani, maka sebagian besar jawaban yang diberikan adalah lebih senang harta daripada nyawa atau sebaliknya.
Puisi “Menulis” menggambarkan bahwa dalam kehidupan, setiap oarng punya kemampuan dan keahlian dalam membuat keputusan atau kebijakan yang setara dengan kedudukan atau jabatan yang disandangnya. Semakin tinggi jabatan dan kedudukannya, maka semakin bebas memutuskan segala sesuatu. Semakin tidak berdaya seseorang, maka semakin kecil dan sepele hal yang diputuskan. 
Dalam puisi “Allah Ampunilah Kami” kembali mengingatkan akan ketidakberdayaan terhadap kemahakuasaan-Nya. Dari hari ke hari, semakin terbebani dengan segala ketidakpastian hidup, tidak meyakini keberadaan nurani dan kejujuran dalam bertindak dan bersikap. Padahal nurani dan kejujuran adalah suara Tuhan. Sehingga dari hari ke hari, terus terbelenggu dengan ketidakmampuan untuk memisahkan antara kebenaran dan kemungkaran, perdamaian dan pertikaian, keserakahan dan keberkahan, kemaksiatan dan ketaatan.
Dalam puisi “Matahari”, “Bulan”, “Laut”, dan “Langit” berikut ini, menunjukan sebuah keberadaan kepasrahan total penyair terhadap kebesaran Tuhan terhadap makhluk ciptaan-Nya berupa matahari, bulan, laut, dan langit. Bahwa atas kuasa Tuhan semata keempat makhluk yang melingkupi semesta ini bergerak dan bertindak sesuai dengan sunatullah  (hukum Allah) untuk kemanfaatan semesta. Matahari terbit dan terbenam, bulan dengan pantulan sinarnya yang indah menerangi malam, laut yang amat luas, dan langit yang terhampar bebas tanpa batas ibarat ilmu Tuhan yang tak akan pernah habis. Semuanya itu diakui oleh penyair akan kemahabesaran dan kuasa Tuhan sebagai pencipta semesta.

Jika terbit disini
Aku tak perduli tenggelam dimana
(Tadarus: 69)

Bulan,
Ayo berpandang-pandangan
Siapa yang lebih dahulu berkedip
Menemukan atau kehilangan pesona wajahNya.
(Tadarus: 70)

Laut,
Aku ingin meminum habis airmu
Tapi untuk apa?
(Tadarus: 71)

Langit,
Adakah langit di atas birumu?
(Tadarus: 72)

Puisi lain yang sangat kental nuansa spiritualnya adalah puisi yang berjudul ”Doa”. Puisi ini mengungkapan pengakuan terhadap Tuhan dengan segala sifat kesempurnaan-Nya dan yang maha segala yang terangkum dalam 99 nama baik bagi Tuhan (al asma al husna). Manusia berharap dan memohon pada-Nya, agar diberi perlindungan, pertolongan dan ampunan atas segala yang menjadi kelemahan dan kesalahan. Disampaikan pula agar manusia selalu mencari ridla-Nya. Di beberapa larik lainnya, setelah menyebut Ya Allah ya Hadii (Maha Pemberi Petunjuk), penyair berdoa tunjukkanlah kami jalan yang lurus yang harus kami lalui seperti Engkau perintahkan. Satu bait lainnya, setelah menyebut Ya Allah ya Baqii kemudian memohon kekalkanlah keyakinan kami terhadap pertolonganMu hingga kami tak pernah berhenti tawakkal.

C.  Penutup
1.      Nilai Keagamaan
Nilai keagamaan yang terdapat dalam antologi puisi Tadarus karya A. Mustofa Bisri merupakan pengalaman batin dan kesadaran seseorang (penyair) untuk selalu berhubungan dengan Sang Maha Pencipta dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penyair selalu berharap pertolongan dari-Nya agar terhindar dari perbuatan yang dilarang Tuhan. Penyair berharap akan memiliki kemampuan untuk menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan dengan tuntunan Tuhan dalam segala situasi dan kondisi. Salah satu wujudnya dengan menciptakan hubungan yang harmoni dengan Sang Maha Pencipta dalam pemikiran dan perbuatan. Selanjutnya akan terealisasi dalam keseimbangan ritual ibadah, baik ibadah personal (pribadi) maupun ibadah sosial dalam kehidupan sehari-hari.

2.      Nilai Pendidikan
Nilai pendidikan yang terdapat dalam antologi puisi Tadarus karya A. Mustofa Bisri sebagai berikut.
a.       Antara manusia dengan dirinya sendiri berupa kesadaran bahwa manusia benar-benar berada dalam segala keterbatasan dan kekurangan.
b.      Antara manusia dengan orang lain berupa mulai lunturnya nilai-nilai kemanusian, apalagi jika terkait dengan status sosial.
c.       Antara manusia dengan kehidupan berupa masih banyaknya pelanggaran terhadap aturan yang berlaku.
d.      Antara manusia dengan kematian berupa adanya misteri Tuhan tentang kelahiran, kematian, jodoh, dan rezeki. Artinya tidak ada seorang pun yang tahu kapan akan melahirkan, kapan akan meninggal, siapa jodohnya, dan seberapa banyak rezekinya.
e.       Antara manusia dengan ketuhanan berupa ketakberdayaan manusia yang hanya bisa mengharap dan memohon kepada Tuhan dengan selalu mendekatkan diri pada-Nya.