Thursday, March 27, 2014

Kualitas Buku “Memahami Bahasa Indonesia Untuk Smk Bidang Keahlian Teknik Mesin, Teknik Elektro, Dan Teknik Bangunan”

A.                PENDAHULUAN
Keberhasilan suatu sistem pembelajaran bahasa ditentukan oleh (1) tujuan yang realistis dapat diterima oleh semua pihak, (2) sasaran dan organisasi yang baik, (3) intensitas pembelajaran yang relatif tinggi, (4) kurikulum dan silabus yang tepat guna. Sejalan dengan hal tersebut maka secara teoretis dalam pembelajaran bahasa Indonesia, buku teks pelajaran dituntut untuk bisa mendukung dan mengantarkan siswa pada kematangan emosional, sosial, dan intelektual. Selain itu, buku teks pelajaran juga diharapkan memberikan pengetahuan yang universal mengenai kata-kata umum dan khusus, baik yang berhubungan dengan istilah kebahasaan maupun yang berhubungan dengan pelajaran lain.
Buku teks pelajaran juga perlu mencerminkan proses yang meliputi kegiatan mengamati, menggolongkan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Jenis keterampilan yang menjadi pembelajaran adalah terampil menyimak, terampil berbicara, terampil membaca, dan terampil menulis. Selain itu, keterampilan kebahasaan dan apresiasi sastra juga perlu dikembangkan.
Berdasarkan pengalaman, fakta menunjukkan bahwa terjadi pengurangan alokasi waktu untuk pelajaran bahasa Indonesia, utamanya di SMP dan SMA. Hal ini diikuti dengan pengurangan pelajaran sastra atau apresiasi sastra. Ternyata tidak hanya itu, karena fakta membuktikan siswa kelas X SMK N 1 Miri Kabupaten Sragen masih mengalami kesulitan dalam keterampilan kebahasaan. Bentuk kesulitan itu terletak pada penulisan huruf kapital, penggunaan tanda baca koma, penggunaan tanda baca titik, dan pemenggalan kata.
Selain itu, selama kurang lebih satu semester mengamati siswa kelas X SMK N 1 Miri, ternyata perbendaharaan kata yang dimiliki sangat minim. Dalam pembelajaran kadang guru harus mencari sinonim sebuah kata dalam bahasa Jawa. Padahal kata itu sebenarnya bukan termasuk istilah, melainkan sudah umum. Hal ini terbukti juga ketika siswa diminta untuk membuat paragraf, kosakata yang digunakan cenderung diulang-ulang.
Permasalahan di kelas XI berbeda. Kelas XI hanya memiliki waktu belajar satu semester atau enam bulan. Sementara semester atau bulan yang lain digunakan untuk PKL atau Praktik Kerja Lapangan. Artinya siswa mengalami pemberian materi dengan model kilat khusus. Materi yang seharusnya ditempuh selama satu tahun, hanya ditempuh selama enam bulan. Tentu saja hal ini sangat mempengaruhi kompetensi berbahasa siswa.
Sedangkan untuk kelas XII terdapat kendala dalam mengerjakan soal-soal latihan Ujian Nasional. Kendala itu karena bacaan yang relatif panjang. Siswa kelas XII selalu mengeluh ketika diminta untuk mengerjakan soal-soal seperti itu. Ketika ditanya pada bagian apa kesulitan yang dihadapi, siswa selalu mengatakan tidak mengerti maksudnya. Ini mengindikasikan bahwa bacaan tersebut memiliki tingkat keterbacaan yang rendah bagi siswa kelas XII SMK N 1 Miri.
Sangat menarik ketika Pemeritah Daerah Kabupaten Sragen membagikan buku teks pelajaran yang berjudul “Memahami Bahasa Indonesia SMK Untuk Kelas X, XI, dan XI Bidang Keahlian Teknik Mesin, Teknik Elektro, dan Teknik Bangunan” karya Euis Honiatri dan diterbitkan oleh ARMICO, Bandung. Buku ini digunakan di SMK N 1 Miri. Setiap kali diminta untuk mengerjakan soal bacaan, siswa selalu mendapat nilai jelek. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat keterbacaan buku serta kualitas buku tersebut.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) bagaimanakah tingkat keterbacaannya, 2) bagaimanakah keseimbangan aspek-aspek pembelajaran yang ada di dalamnya, 3) bagaimanakah keterkaitan antarkomponen pembelajaran yang ada dalamnya, 4) bagaimanakah kesesuaian buku dengan kurikulum yang diberlakukan pemerintah, dan 5) bagaimanakah pandangan guru bahasa Indonesia terhadap buku tersebut?
Adapun tujuan umum penelitian ini untuk mendeskripsikan, mengeksplanasikan, dan mengevaluasi kualitas buku teks pelajaran “Memahami Bahasa Indonesia SMK Untuk Kelas X, XI, dan XII Bidang Keahlian Teknik Mesin, Teknik Elektro, dan Teknik Bangunan”.
Adapun tujuan khususnya: 1) mendeskripsikan dan mengeksplanasikan tingkat keterbacaan wacana yang digunakan dalam buku, b) mendeskripsikan dan mengeksplanasikan keseimbangan komponen pembelajaran yang ada di dalamnya, c) menjelaskan keterkaitan antarkomponen pembelajaran yang ada di dalamnya, d) mendeskripsikan dan mengeksplanasikan kesesuaian isi buku dengan pendekatan pembelajaran yang digunakan atau dalam hal ini kurikulum yang diberlakukan pemerintah; dan
e)                  mendeskripsikan dan mengeksplanasikan pandangan guru bahasa Indonesia terhadap buku teks pelajaran tersebut.

B.                 PEMBAHASAN
Bacon (dalam Henry Guntur Tarigan dan Djago Tarigan, 1986: 11) menyatakan bahwa buku teks pelajaran adalah buku yang dirancang, dipersiapkan, dan disusun oleh para pakar dalam bidangnya serta dilengkapi dengan sarana pengajaran yang sesuai untuk digunakan di dalam kelas.
Textbook is a teaching tool (material) which presents the subject matter defined by the curriculum (Obrazovni, 2009).
Buku teks pelajaran adalah buku acuan wajib untuk digunakan di satuan pendidikan dasar dan menengah atau perguruan tinggi yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan, ketakwaan, akhlak mulia, dan kepribadian, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan kepekaan dan kemampuan estetis, peningkatan kemampuan kinestetis dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan (Permendiknas No. 2 Tahun 2008).
Cunningsworth (1993: 3) menyatakan ada delapan hal yang perlu diperhatikan dalam memilih coursebooks, yaitu a) aims and approaches, b) design and organization, c) language content, d) skills, e) topic, f) methodology, g) teacher’s book, and h) practical considerations.
Ciri buku teks pelajaran: 1) berkaitan dengan beberapa bidang ilmu tertentu, 2) dikaitkan dan disesuaikan dengan jenjang pendidikan, 3) ditulis oleh penulis yang ahli di bidangnya dan menguasai permasalahan, 4) disusun untuk menunjang suatu program pembelajaran. Dalam bahasa Indonesia terdapat buku teks pelajaran yang menunjang pengajaran sastra, pengajaran kebahasaan, dan keterampilan berbahasa, 5) dijadikan acuan bersama oleh para guru dan institusi yang terkait, 6) ditulis untuk tujuan tertentu, dan 7) dilengkapi dengan sarana pengajaran, misalnya berupa pita rekaman.
Untuk mengetahui tingkat keterbacaan buku dilakukan tes isi rumpang. Prosedur pelaksanaan seperti yang diuraikan Mayer (1999) “The Cloze test measures students' comprehension abilities by giving them a short text, with blanks where some of the words should be, and asking them to fill in the blanks.”
Hal ini senada dengan teori Gestalt dalam Taylor (1953) “A cloze test (also cloze deletion test) is an exercise, test, or assessment consisting of a portion of text with certain words removed (cloze text), where the participant is asked to replace the missing words. Cloze tests require the ability to understand context and vocabulary in order to identify the correct words or type of words that belong in the deleted passages of a text.”
Berikut ini tabel tingkat kemampuan siswa dan tingkat kemudahan bacaan
Tingkat kemampuan siswa memahami bacaan
Skor close/TIR
(%)
Tingkat kemudahan bacaan dibaca
Frustasi
Intruksional
Mandiri
0-39
40-59
60-100
Sukar
Sedang
Mudah

Kualitas buku teks pelajaran berdasarkan BSNP (PP No. 19/2005 pasal 43 ayat 5) meliputi berikut ini.
1.    Kelayakan isi yang terdiri dari: a) kesesuaian materi dengan SK dan KD, b) keakuratan materi, c) kemutakhiran materi, d) mendorong keingintahuan, dan e) terdapat pengayaan.
2.    Kelayakan bahasa yang a) lugas, b) komunikatif, c) dialogis dan interaktif, d) kesesuaian dengan perkembangan peserta didik, e) kesesuaian dengan kaidah bahasa Indonesia, dan f) penggunaan istilah, symbol, ikon yang jelas.
3.    Kelayakan penyajian yang berupa a) teknik penyajian, b) pendukung penyajian,c) kebermaknaan dan kebermanfaatan, dan d) koherensi dan keruntutan alur pikir.
4.    Kelayakan kegrafikaan yang meliputi a) penekanan, b) ringkas, c) berhubungan, d) jelas, e) mudah dipahami, dan f) konsistensi.
Adapun dalam penilaian buku teks pelajaran harus memperhatikan 1)  kurikulum yang berlaku, 2) karakteristik mata pelajaran, 3) hubungan antara kurikulum, mata pelajaran, dan buku teks pelajaran, 4) dasar-dasar penyusunan buku teks pelajaran, 5) kualitas buku teks pelajaran, 6) prinsip-prinsip penyusunan buku teks pelajaran, dan 7) penyeleksian buku teks pelajaran.
Dalam keberhasilan pembelajaran bahasa ditentukan tiga faktor (Henry Guntur Tarigan, 2009: 2), yakni  pembelajar bahasa, pengajar bahasa, dan sistem pengajaran bahasa. Pembelajar bahasa terkait dengan motivasi, relevansi, dan harapan pembelajar bahasa. Sedangkan pengajar bahasa meliputi profesionalitas, penghargaan terhadap pembelajar, dan motivasi pengajar. Sementara sistem pengajaran bahasa berhubungan dengan tujuan yang realistis, sarana dan organisasi yang baik, intensitas pengajaran yang relatif tinggi, dan kurikulum dan silabus yang tepat guna.
SMK N 1 Miri merupakan salah satu Unis Sekolah Baru atau USB yang ada di wilayah Sragen. Meski baru meluluskan dua kali, tetapi selalu memenangkan Lomba Kompetensi Siswa tingkat Kabupaten dan maju di tingkat provinsi. Terutama LKS Otomotif. Tahun 2009 SMK N 1 Miri mendapat predikat kreatif inovatif karena mampu membuat mobil ‘tamiya’ yang sempat dinaiki oleh Gubernur Jawa Tengah, Bapak Bibit Waluyo.
Letaknya yang strategis karena agak jauh dari jalan raya, merupakan daya tarik tersendiri bagi para calon siswa. Sekolah yang memiliki luas 2,2 Ha ini sekarang memiliki 25 kelas dengan 4 kejuruan, yakni teknik otomotif, teknik listrik pemakaian atau elektro, teknik gambar bangunan, dan multimedia.
Perlu diketahui bahwa siswa SMK N 1 Miri berasal dari berbagai daerah. Mayoritas pekerjaan orang tua mereka adalah bertani, yakni 579 dari 910. Rata-rata pendidikan orang tua adalah SD atau sekolah dasar, yakni 479.
Meski tergolong baru, SMK N 1 Miri telah memiliki laboratorium yang lengkap untuk praktik tiap kejuruan. Waktu belajar efektif dari 07.00 sampai 14.15 WIB. Jadwal yang begitu padat membuat siswa tidak banyak memanfaatkan keberadaan perpustakaan. Hal ini terlihat dari mulai tahun ajaran baru 2009/2010, sejak Juli 2009 sampai April 2010 jumlah pengunjung perpustakaan hanya 295 siswa. Sedangkan jumlah peminjam atau pengguna buku hanya 896 buku, itu pun buku pelajaran bahasa Indonesia. Sedangkan seluruh buku yang ada di perpustakaan, baik buku umum maupun referensi berjumlah 3.467 buku.
Teknik pengunpulan data dilakukan dengan tes isi rumpang, wawancara, dan analisis dokumen. Sedangkan teknik cuplikan menggunakan purposive sampling. Hal ini terkait dengan bentuk penelitian deskriptif kualitatif yang menggunakan strategi studi kasus.  Triangulasi data digunakan dalam validitas data. Dalam hal ini guru bahasa Indonesia di SMK N 1 Miri, dan dua guru senior SMK lain di Sragen yang berprogram keahlian teknik industri. Sedangkan teknik analisis data menggunakan cara mengelompokkan dan menganalisis secara interaktif.
Untuk buku teks pelajaran kelas X diperoleh hasil sebagai berikut.
Buku ini terdiri dari 5 pelajaran. Pada tiap pelajarannya dibagi dalam beberapa bagian dengan menggunakan huruf dari A sampai F. Lebih jelasnya berikut sistematika buku kelas X secara umum.
Halaman Judul
Kata Pengantar
Petunjuk Penggunaan Buku
Daftar Isi
Deskripsi Pembalajaran
Pelajaran 1, bertema Sosial
Pelajaran 2, bertema Kesehatan
Pelajaran 3, bertema Teknologi
Pelajaran 4, bertema Teknologi Lingkungan
Pelajaran 5, bertema Ragam Bahasa
Lampiran Contoh Sebagian Soal UKBI
Daftar Pustaka
Adapun hasil yang lain seperti berikut ini.
a.                   Tingkat keterbacaan rendah (29,55 %). Siswa merasa frustasi atau mengalami kesulitan ketika berusaha untuk memahami bacaan. Hal ini juga menunjukkan bahwa bacaan termasuk dalam kategori sukar. Hasil ini diperoleh setelah siswa melaksanakan tes isi rumpang atau TIR.
b.                  Keseimbangan aspek-aspek pembelajaran tidak merata. Aspek pembelajran dominan pada keterampilan membaca dan keterampilan berbicara. Sementara keterampilan kebahasaan dan apresiasi sastra sangat minim.
c.                   Keterkaitan antarkomponen pembelajaran. Secara keseluruhan antarkomponen dalam buku ini tidak berkaitan. Namun demikian, ada beberapa subpelajaran yang terkait. Meski pun demikian, tema yang sama telah melatari bacaan pada tiap pelajaran. Hal ini bisa dilihat pada bagan pelajaran 3 berikut ini.
Bagan Hubungan antar-aspek Pembelajaran Kelas X
A.    Membedakan Proses dan Hasil

B.    Merespons Kaidah Bahasa: Singkatan dan Akronim

C.    Memahami Informasi Tulis, Grafis, dan Matriks


Tema: Teknologi
D.    Teknik Membaca Cepat untuk Pemahaman dan Membuat Catatan


E.    Membuat Narasi

F.     Ungkapan Idiomatik Pada Teks Lirik Lagu dan Teks Iklan

d.                  Kesesuaian dengan kurikulum. Buku ini kurang sesuai dengan keadaan SMK N 1 Miri yang terletak di Kabupaten Sragen. Artinya, unsur kedaerahan tidak diangkat sama sekali. Padahal seharusnya melalui pelajaran bahasa Indonesia, mampu mendorong siswa untuk membangun daerahnya.
e.                   Pandangan guru bahasa Indonesia.  Para guru sebagai informan menyatakan bahwa isi buku belum sesuai dengan kurikulum. Juga judul dan subjudul belum memberikan gambaran isi buku. Selain itu, alat bantu ajar bagi siswa tidak tersedia. Dan penyajian bahan kurang membangkitkan rasa ingin tahu siswa.
Buku teks pelajaran kelas XI terdiri dari 5 pelajaran. Tiap pelajaran terdiri dari beberapa bagian yang ditandai dari A sampai F. Berikut ini sistematika buku secara umum.
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Petunjuk Penggunaan Buku
Deskripsi Pembalajaran
Pelajaran 1, bertema Teknologi Informasi
Pelajaran 2, bertema Mobil
Pelajaran 3, bertema Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Pelajaran 4, bertema Lingkungan Kerja
Pelajaran 5, bertema Bangunan dan Pertukangan
Daftar Pustaka
Adapun untuk buku teks pelajaran kelas XI diperoleh hasil sebagai berikut.
a.                   Tingkat keterbacaan rendah (30,37 %). Artinya, sama dengan kelas X bahwa siswa mengalami kesulitan atau frustasi ketika mencoba memahami bacaan. Itu berarti bacaan dalam buku ini juga masuk dalam kategori sukar.
b.                  Keseimbangan aspek-aspek pembelajaran dalam buku tidak merata. Aspek dominan pada keterampilan menulis dan keterampilan berbicara. Sementara pengayaan masih kurang.
c.                   Keterkaitan antarkomponen pembelajaran sangat longgar. Bahkan boleh dikatakan secara keseluruhan aspek pembelajaran tidak berkaitan. Walaupun demikian, ada beberapa subpelajaran yang terkait. Namun demikian, tema yang sama telah melatari bacaan dalam buku ini. Hal ini dapat dilihat pada bagan pelajaran 2 berikut ini.
A.    Simpulan Informasi dalam Bentuk Lisan dan Tulis Termasuk Memberikan Pendapat atau Opini

B.    Memahami Perintah Kerja Tertulis Berupa Memorandum, Disposisi, Buku Manual Kerja

C.    Menerapkan Pola Gilir dalam Berkomunikasi


Tema: Mobil
D.    Membuat Deskripsi


E.    Membaca Cerita Pendek serta Menulis Bahasan atas Bacaan Itu

d.                  Kesesuaian dengan kurikulum, kurang sesuai dengan keadaan SMK N 1 Miri yang terletak di Kabupaten Sragen. Hal ini terkait dengan otonomi daerah dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Dalam hal ini sekolah diharapkan mengembangkan silabus yang sesuai dengan dan mendukung potensi daerah yang dimiliki.
e.                   Pandangan guru bahasa Indonesia. Para guru sebagai informan menyatakan bahwa penyajian bahan ajar masih kurang. Ternyata penyajian buku belum sesuai dengan prinsip pembelajaran dan belum sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Ditambah lagi dalam buku ini tidak terdapat alat bantu ajar bagi siswa. Bahkan kosakata yang digunakan kurang cocok bagi siswa.
Sedangkan untuk buku teks pelajaran kelas XII sebagai berikut. Buku terdiri dari 4 pelajaran saja. Tiap pelajaran terdiri dari beberapa bagian yang diberi tanda A sampai F. Adapun sistematika secara umum dapat dilihat seperti berikut ini.
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Deskripsi Pembalajaran
Pelajaran 1, bertema Teknobiz
Pelajaran 2, bertema Komunikasi
Pelajaran 3, bertema Ketenagakerjaan
Pelajaran 4, bertema Infotekno
Daftar Pustaka
Adapun untuk buku teks pelajaran kelas XII diperoleh hasil seperti berikut ini.
a.                   Tingkat keterbacaan sedang (41,43 %). Artinya, tingkat kemampuan siswa dalam memahami bacaan bersifat instruksional. Hal ini dapat pula dikatakan bahwa bacaan relatif mudah.
b.                  Keseimbangan aspek-aspek pembelajaran dalam buku ini tidak merata. Aspek pembelajaran dominan pada keterampilan menulis dan apresiasi sastra.
c.                   Keterkaitan antarkomponen pembelajaran bersifat longgar. Hal ini dapat dilihat seperti pada bagan berikut.
A.    Memahami Makna Kata atau Ungkapan Idiomatik dalam Karya yang Didengar

B.    Reaksi Verbal (Bertanya, Berkomentar/Tanggapan) Diberikan terhadap Apa yang Dibaca

C.    Membaca Novel dan Menulis Bahasan atas Bacaan itu


Tema: Komunikasi
D.    Mengungkapkan Isi Sebuah Teks Prosa dan Diceritakan Kembali


E.    Surat Penawaran

F.     Surat Pesanan
Secara keseluruhan aspek pembelajaran dalam buku ini tidak berkaitan. Akan tetapi, ada beberapa subpelajaran yang terkait. Namun demikian, tema yang sama telah melatari bacaan dalam buku ini.
d.                  Kesesuaian isi buku dengan kurikulum kurang. Hal ini terkait dengan keadaan SMK N 1 Miri yang mayoritas siswanya berlatar belakang petani. Begitu luasnya tanah ‘tidur’ di wilayah Sragen. Hal ini seharusnya digali kebermanfaatannya melalui kurikulum di SMK. Buku teks pelajaran ini jauh dari itu.
e.                   Pandangan guru bahasa Indonesia. Para guru sebagai informan menyampaikan bahwasannya buku ini kurang sesuai dengan prinsip pembelajaran. Selain itu, buku ini juga tidak sesuai dengan pencapaian tujuan yang ditetapkan. Penyajian bahan dalam buku ini kurang menarik. Secara teknis, kualitas buku teks pelajaran ini rendah. Pendukung lain dalam buku ini juga masih kurang.

C.     PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat keterbacaan rendah buku teks pelajaran ini dalam kategori rendah. Aspek-aspek pembelajaran berupa keterampilan kebahasaan dan keterampilan berbahasa kurang seimbang. Hubungan antarkomponen pembelajaran bersifat longgar meski tema bacaan sama. Isi buku teks pelajaran ini kurang sesuai dengan kurikulum KTSP yang menggunakan metode multistrategi dan multimedia. Guru menganggap buku ini ditangguhkan penggunaannya.
Implikasi dari penemuan di atas bahwa guru dan penulis buku perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan. Guru tidak harus terikat pada satu buku. Sebaiknya buku yang digunakan sudah lolos BSNP.
Ada beberapa saran yang dapat disampaikan terkait dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan buku teks pelajaran ini.
1.    Penulis hendaknya memperhatikan aspek pembelajaran berupa kemampuan atau keterampilan  kebahasaan. Seorang penulis harus mampu menyeimbangkan aspek pembelajaran dalam buku teks pelajaran yang ditulisnya. Selain itu, penulis harus dapat lebih mengaitkan antarkomponen pembelajaran yang terdapat dalam buku tersebut. Hal lain yang perlu diperhatikan penulis adalah menyusun buku yang  disesuaikan dengan alokasi waktu. Untuk buku kelas XII lebih difokuskan pada ujian nasional.
2.    Guru hendaknya memberikan bimbingan dalam menggunakan buku teks pelajaran. Selain itu, guru juga diharapkan merasionalisasi aspek pembelajaran berupa keterampilan kebahasaan dan keterampilan berbahasa. Oleh karena itu, guru diharapkan dapat menyusun buku sendiri sesuai dengan keadaan sekolah. Namun demikian, bila memang belum dapat menyusun buku sendiri, guru dapat menggunakan buku yang sudah lolos BSNP. Semua guru diharapkan memanfaatkan keberadaan perpustakaan sekolah.
3.    Sekolah hendaknya menyediakan buku yang ditetapkan Pusbuk sehingga dari segi kualitas sudah standart. Sekolah diharapkan mmperhatikan pengelolaan perpustakaan sehingga siswa tertarik untuk ke perpustakaan. Sedapat mungkin sekolah turut memperhatikan kebermanfaatan dan kebermaknaan keberadaan perpustakaan.
4.    Kepada peneliti lain diharapkan ada perbaikan instrumen penelitian sehingga hasilnya benar-benar akurat.
5.    Pemerintah daerah Kabupaten Sragen dalam hal ini melalui Departemen Pendidikan Nasional tidak sembarangan dalam membeli buku teks pelajaran. Hendaknya mengacu pada Pusbuk.

Tuesday, March 25, 2014

Alternatif Model Pembelajaran dengan Social Learning Bandura


Abstrak
Salah satu faktor penentu keberhasilan pembelajaran adalah ketepatan pengajar dalam memilih model pembelajaran yang sesuai untuk pembelajar. Social Learning Bandura atau Pemodelan Bandura dapat menjadi alternatif model pembelajaran itu. Model ini meminta pengajar untuk dapat menjadi contoh atau model. Selain itu, pengajar harus dapat memotivasi pembelajar untuk belajar.

One of the critical success factors of learning is teaching accuracy in selecting appropriate learning model for learners. Bandura's Social Learning Bandura or modeling can be an alternative model of learning it. This model asks teachers to be able to be an example or model. In addition, teachers must be able to motivate learners to learn.

Kata kunci: model, pembelajaran, Bandura, Social Learning Bandura

A.  Pendahuluan
Pemerintah memberikan perhatian yang sangat tinggi terhadap pendidikan. Hal ini dapat diketahui dengan terus diperbaikinya kurikulum. Berdasarkan peraturan yang telah ada, kurikulum pendidikan di Indonesia terus mengalami perubahan setiap lima tahun. Adapun kurikulum terbaru atau saat ini adalah Kurikulum 2013 yang diakronimkan menjadi ‘Kurtilas’.
Dalam pendidikan terdapat proses belajar. Belajar merupakan kegiatan dari belum tahu menjadi tahu; dari belum bisa menjadi bisa. Kegiatan belajar sendiri terbagi atas dua, yakni belajar formal dan nonformal. Belajar secara formal berarti teratur dengan kurikulum yang jelas sedangkan belajar nonformal berarti belajar tidak terstruktur. Adapun salah satu contoh belajar secara formal adalah belajar di sekolah sedangkan belajar secara nonformal adalah belajar di rumah.
Keberhasilan dalam pembelajaran ditentukan oleh banyak faktor. Bukan hanya faktor siswa atau pembelajar, tetapi juga faktor guru atau pengajar dan model pembelajaran yang digunakan. Model pembelajaran yang baik adalah yang sesuai dengan gaya belajar pembelajar (DePotter dan Mike, 2013: 12-16). Kecerdasan majemuk yang digulirkan oleh Howard Gardner sangat membantu pengajar dalam menentukan model pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar pembelajar.
Selama ini telah dikenal berbagai pendekatan dalam pembelajaran. Salah satu pendekatan yang terus dikembangkan adalah Contextual Teaching and Learning (CTL). Asmani (2013: 53) mengartikan CTL sebagai ‘suatu proses pendidikan yang bertujuan untuk membantu siswa dalam memahami makna yang ada pada bahan ajar, dengan menghubungkan pelajaran dalam konteks kehidupan sehari-harinya dengan konteks kehidupan pribadi, sosial, dan kultural’. Wardoyo (2013: 49) menyatakan bahwasannya CTL mengandung tujuh asas, yakni konstruktivisme, inkuiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian.
Albert Bandura secara khusus meneliti pemodelan atau yang lebih dikenal dengan Social Learning Bandura (SLB). Makalah ini akan mengimplementasikan SLB sebagai alternatif model pembelajaran.

B.  Pembahasan
1.    Hakikat Model Pembelajaran
Mulyatiningsih (2010: 1) menyampaikan bahwa model pembelajaran merupakan “istilah yang digunakan untuk menggambarkan penyelenggaraan proses belajar dari awal sampai akhir”. Model berfungsi sebagai pedoman bagi pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran. Oleh karena itu, metode pembelajaran memuat pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.
Supriadie dan Darmawan (2012: 9) menyatakan bahwa “pembelajaran adalah suatu konsepsi dari dua dimensi kegiatan belajar dan mengajar”. Prinsip belajar haruslah berorientasi pada pembelajar. Menurut pendekatan Feuerstein (dalam Bellanca, 2011: 6) keberhasilan dalam belajar dapat dicapai melalui (a) mengubah siswa untuk belajar lebih efisien dan  (b) mengajar untuk menggali potensi yang dimiliki pembelajar.
Suryaman (2004: 66; Akbar, 2013: 49-50) mengemukakan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang menggambarkan langkah-langkah. Langkah-langkah itu sistematis untuk mengelola pembelajaran. Hal ini dilakukan agar dapat mencapai target atau tujuan belajar. Selain itu, model pembelajaran juga dapat digunakan pengajar sebagai pedoman dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran yang efektif.
Pada pembelajaran terdapat target atau tujuan yang akan dicapai. Pencapaian ini dapat dilakukan melalui cara belajar atau model belajar. Model belajar atau model pembelajaran harus disesuaikan dengan kondisi peserta didik. Joyce, Marsha, dan Emily (2011: 1) menyatakan bahwa kunci utama untuk mencapai tujuan pembelajaran adalah dengan menggunakan model pembelajaran efektif yang berorientasi pada kecerdasan. Oleh karena itu, model pembelajaran yang dipilih hendaknya mampu melatih pembelajar untuk menjadi lebih handal.
Selain telah diuraikan di atas, dalam mengembankan model pembelajaran juga harus memperhatikan faktor pengajar. Jacobsen, Paul, dan Donald (2009: 3-4) mengemukakan bahwa Interstate New Teacher Assessment and Support Consortium (INTASC) mensyaratkan sepuluh standar yang harus dimiliki pengajar. Standar itu mewajibkan guru:
(1) memahami konsep-konsep inti, perangkat-perangkat penelitian, dan struktur-struktur disiplin ilmu pengetahuan yang diajarkan;
(2)     memahami bagaimana siswa belajar dan berkembang;
(3) memahami bagaimana siswa memiliki pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam belajar;
(4)     memahami dan menggunakan beragam strategi instruksional;
(5) menggunakan pemahamannya mengenai motivasi individu dan kelompok;
(6) menggunakan pengetahuannya mengenai teknik verbal, teknik nonverbal, dan teknik media yang efektif;
(7) merencanakan pengajaran berdasarkan pada pengetahuannya mengenai materi pelajaran;
(8) memahami dan menggunakan strategi-strategi penilaian formal dan informal;
(9)     adalah praktisi yang reflektif;
(10) mengembangkan hubungannya dengan rekan kerja, orang tua, dan wakil orang tua.

Feez dan Helen (2002: 2) berpendapat bahwa model pembelajaran mengarah pada prosedur operasional guna mencapai tujuan belajar seperti yang tertuang dalam silabus. Oleh karena itu, model pembelajaran hendaknya menyesuaikan dengan kondisi pembelajar dan tujuan. Karena model pembelajaran bersifat operasional, maka terdapat langkah-langkah yang harus diikuti. Langkah-langkah ini tidak dapat berdiri sendiri, tetapi saling terkait.
Ismawati (2009: 97-98) mengemukakan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pengajar dalam memilih model pembelajaran, yakni harus:
(1)  bervariasi, (2) menarik dan merangsang siswa untuk belajar, (3) menggiatkan siswa secara mental dan fisik dalam belajar, dapat berwujud latihan, praktik, atau pertanyaan-pertanyaan, (4) mengarah kegiatan belajar siswa kea rah tujuan pengajaran, (5) mengembangkan kreatifitas siswa, (6) meningkatkan kadar CBSA dalam belajar, dan (7) membantu pemahaman siswa terhadap materi pengajaran.

Selain memilih, pengajar juga dapat menyusun atau merencanakan model pembelajaran sendiri. Adapun hal yang perlu diperhatikan menurut Wahyuni dan Abdul (2012: 14), meliputi: kemampuan analitik, kemampuan pengembangan, dan kemampuan pengukuran. Kemampuan analitik berupa analisis terhadap kondisi pembelajaran. Kondisi ini meliputi: “(1) kemampuan menganalisis kompetensi dan karakteristik materi belajar, (2) kemampuan menganalisis kendala dan sumber-sumber belajar yang tersedia, dan (3) kemampuan menganalisis karakteristik peserta didik.”
Kemampuan pengembangan terkait dengan memilih, menetapkan, dan mengembangkan strategi pembelajaran yang paling optimal untuk mencapai hasil yang diinginkan. Kemampuan pengukuran meliputi:
(1) kemampuan dasar dalam memilih, menetapkan, dan mengembangkan alat ukur yang paling tepat mengukur penguasaan kompetensi, dan (2) pengetahuan tentang klasifikasi hasil pembelajaran yang perlu diukur, indikator setiap klasifikasi, dan penetapan kriteria tingkat keberhasilan (Wahyuni dan Abdul, 2012: 15).

Henard dan Deborah (2012: 7) menyatakan “Quality teaching is the use of pedagogical techniques to produce learning outcomes for students”. Artinya, kualitas pembelajaran ditentukan oleh teknik yang mengarah pada langkah-langkah dalam pembelajaran. Kualitas pembelajaran itu sendiri meliputi beberapa hal, seperti 1) desain dan materi kurikulum yang tepat, 2) keberagaman metode pembelajaran, 3) penggunaan umpan balik, dan 4) penilaian hasil belajar yang efektif. Dengan memperhatikan keempat aspek tersebut, diharapkan pendidikan di perguruan tinggi lebih berkualitas.
Hughes dan Hughes (2012: 465-466) menyebutkan empat prinsip dalam pembelajaran, yaitu: 1) pembelajaran hendaknya dilakukan dalam aktivitas yang menumbuhkan daya dorong secara alamiah untuk belajar; 2) pembelajaran hendaknya disampaikan secara keseluruhan dan tidak terpisah-pisah dengan mendahulukan bagian yang sederhana atau mudah; 3) model pembelajaran disesuaikan dan tingkat kecepatan belajar didasarkan pada kualitas mental setiap pembelajar; serta 4) pembelajar akan menerapkan ilmu yang diperoleh dalam lingkungan sosial. Oleh karena itu, pengajar juga perlu memberi tugas yang dikerjakan secara kelompok.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan pedoman yang memuat pendekatan, metode, dan teknik belajar sesuai dengan kebutuhan peserta didik demi tercapainya tujuan pembelajaran.

2.    Pembelajaran Sosial Bandura
Social Learning Theory Bandura yang kemudian dikenal dengan Pemodelan Bandura sebenarnya merupakan perpaduan antara faktor kebiasaan dengan faktor kognitif. Dalam pembelajaran, terdapat enam cara yang dapat dilakuan, yakni 1) trial-and-error experience, belajar melalui mencoba-coba, 2) perception of the object, belajar dilakukan dengan memberikan pendapat atau perkiraan terhadap suatu objek, 3) observations of another’s response to the object, belajar dapat pula melalui mempelajari pendapat atau tanggapan orang lain, 4) modeling, belajar juga dapat dilakukan dengan menciptakan atau menentukan model atau contoh, 5) exhortation, belajar juga dapat berdasarkan berbagai nasihat yang diperoleh, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan 6) instruction about the object, belajar dapat juga melalui berbagai perintah yang memang sengaja diberikan berdasarkan objek atau hal yang akan dipelajari (Bandura, 1971: 5-7).
Bandura sendiri menyatakan bahwa terdapat empat hal penting dalam pembelajaran dengan pemodelan, yakni attention (perhatian), retention (daya ingat), motor reproduction (produksi), dan motivation (motivasi). Atensi terkait dengan minat pembelajar terhadap materi yang dipelajari. Retensi berhubungan dengan kemampuan pembelajar dalam menyimpan berbagai informasi atau materi dalam pembelajaran. Penyimpanan ini dapat dalam ingatan jangka pendek maupun jangka panjang. Produksi merupakan bentuk peniruan terhadap materi atau informasi yang dipelajari. Dengan kata lain, pembelajar menghasilkan sesuatu dari pembelajaran yang telah dilakukan. Motivasi lebih pada kuat lemahnya keinginan pembelajar untuk melakukan peniruan. Teori ini dapat digambarkan seperti berikut.
 





Gambar 1. Social Learning Theory Bandura

Bandura (dalam Hill, 2010: 194-201) mengemukakan bahwa penguatan terhadap pengalaman yang dimiliki seseorang dapat dilakukan melalui imitasi. Imitasi yang dilakukan bukan hanya pada hasil, tetapi juga prosesnya. Adapun tahap imitasi, meliputi (a) inhibisi, (b) disinhibisi, dan (c) elisitasi. Tahap inhibisi merupakan aktivitas mengamati orang lain. Hal yang diamati adalah bagaimana orang tersebut tidak membuat respon terhadap suatu kondisi. Cara orang lain yang tidak merespon keadaan akan dipraktikkan atau diikuti oleh pembelajar. Contoh ketika ada seseorang yang marah. Pembelajar akan mengamati reaksi orang-orang yang ada di sekitar orang yang marah tersebut. Fokus pengamatan ditujukan pada reaksi orang-orang yang tidak terpancing dengan kemarahan itu.
Tahap disinhibisi merupakan kebalikan dari inhibisi, yakni berupa pengamatan terhadap orang lain. Fokus pengamatan pada cara orang lain tidak merespon suatu kondisi. Jika pada tahap inhibisi seseorang akan ikut untuk tidak melakukan, justru pada tahap disinhibisi seseorang akan melakukan itu. Jadi, tahap ini mempelajari atau mengamati cara seseorang tidak mereaksi terhadap suatu kondisi, tetapi justru akan dilakukan. Contoh ketika ada seseorang yang marah. Pembelajar akan mengamati reaksi orang-orang yang berada di sekitarnya. Kali ini, pembelajar justru akan melakukan reaksi kebalikan dari yang dipelajari, yakni terpancing keadaan tersebut.
Tahap elisitasi berarti memunculkan atau pengambilan sikap terhadap suatu kondisi. Meskipun sedikit kemiripan antara elisitasi dengan disinhibisi, tetapi pada dasarnya keduanya berbeda. Disinhibisi lebih pada respon yang sudah aktif dan hanya membutuhkan pemicu tertentu untuk menjalankan hasrat atau respon tersebut. Elisitasi justru pada respon positif untuk menjalankan aktivitas. Misalnya seseorang mulai merespon dan beberapa yang lain juga ingin melakukan hal yang sama walaupun sebelumnya telah diberitahukan untuk tidak merespon. Jadi, elisitasi merujuk pada respon yang pasti akan dilakukan sedangkan disinhibisi merujuk pada respon yang belum tentu akan dilakukan.
Imitasi yang dilakukan mengarah pada pengamatan. Hill (2010: 199-201) menyatakan bahwa inti pemodelan Bandura adalah pembelajaran melalui pengamatan atau observasi. Pengamat akan “melihat apa yang dilakukan oleh model, memperhatikan apa konsekuensinya bagi model, mengingat apa yang telah dipelajari, membuat berbagai simpulan, dan pada saat itu juga (atau kemudian) menyertakannya dalam perilaku”.

3.    Implementasi Pembelajaran Bandura
Berikut ini implikasi Teori Bandura menurut Hill (2010: 195-207). Pertama, pembelajar ada keinginan untuk mempelajari materi-materi yang disampaikan oleh pengajar. Keinginan untuk mempelajari tidak datang secara otomatis, tetapi karena ada faktor pemicu. Faktor pemicu bisa berasal dari mana saja, salah satunya pengajar. Oleh karena itu, pengajar harus dapat memotivasi pembelajar supaya berkeinginan untuk mempelajari materi.
Kedua, segala yang dipelajari tidak menghasilkan efek praktis. Artinya, materi yang dipelajari hari ini ada kemungkinan baru akan terpakai atau digunakan pada waktu yang akan datang. Oleh karena itu, pembelajar harus menyimpan baik-baik materi yang telah diperoleh sehingga jika sewaktu-waktu dibutuhkan dapat segera ditemukan dan digunakan.
Ketiga, pembelajar telah mendapat berbagai informasi melalui pembelajaran yang dilakukan. Hasil pengamatan hendaknya tidak hanya dibiarkan mengendap atau tersimpan, tetapi harus ditiru atau diimitasi. Oleh karena itu, pembelajar hendaknya dapat menghasilkan sesuatu seperti atau berdasarkan apa yang telah dipelajari.
Keempat, pembelajar dan pengajar harus memiliki motivasi dalam pembelajaran. Pembelajar harus memiliki motivasi untuk mengimitasi atau meniru. Pengajar harus memiliki motivasi untuk ditiru atau setidaknya memberikan faktor penguat agar pembelajar mengimitasi. Oleh karena itu, baik pengajar maupun pembelajar diharapkan memiliki motivasi yang besar pada pembelajaran itu sendiri.
Berikut ini implikasi pendekatan kognitif pada pembelajaran menurut Makka (TT: 2). Pertama, pembelajaran hendaknya berpusat pada cara berpikir atau proses mental anak. Artinya, pembelajaran tidak hanya berorientasi pada hasil. Oleh karena itu, pengajar harus memahami proses yang digunakan dan dikuasai anak sehingga sampai pada hasil. Pengajar harus dapat mengembangkan pengalaman belajar yang sesuai dengan tahapan fungsi kognitif.
Kedua, pembelajaran hendaknya mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan terlibat aktif dalam kegiatan belajar. Dalam kelas, Piaget menekankan bahwa pengajaran pengetahuan jadi (ready made knowledge) anak didorong menentukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan dengan lingkungan.
Ketiga, pembelajaran hendaknya memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Hal ini sesuai dengan asumsi Piaget bahwa seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Aktivitas harus lebih menitikberatkan pada kegiatan individu yang dilakukan dalam kelompok dan bukan kegiatan klasikal. Selain itu, pembelajaran harus mengutamakan peran siswa untuk saling berinteraksi.
Hal ini juga disampaikan DePorter dan Mike (2013: 14) bahwa “sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar”. Oleh karena itu, pembelajaran hendaknya memberikan sugesti positif dengan mendudukkan murid secara nyaman serta meningkatkan partisipasi individu.
Menurut Sarbiran, Putu, dan Priyanto (TT: 1) pembelajaran dirancang dengan memusatkan diri pada pembelajar untuk melakukan olah raga, olah rasio, olah rasa, dan olah rohani. Pembelajaran hendaknya diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi pembelajar. Pembelajar diberi kesempatan untuk berpartisipasi aktif sehingga cukup waktu untuk prakarsa, kreativitas, dan kemandirian. Tentu saja semua itu disesuaikan dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis pembelajar.
Implikasi teori Bandura menurut Denler, Christopher, dan Maria (2013: 8-9) sebagai berikut. Pertama, pembelajar harus dibimbing dan diberi informasi terkait dengan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku atau kebiasaan baik yang harus dimiliki. Dalam hal ini pengajar harus dapat menjadi contoh. Pengajar harus melibatkan semua pihak dalam pembelajaran.  Kedua, pengajar harus membantu pembelajar untuk mencapai hasil yang diharapkan pada pembelajaran. Pengajar harus mampu meyakinkan pembelajar bahwa apa yang dipelajari saat ini akan bermanfaat pada kemudian hari. Ketiga, keberhasilan pembelajaran akan tercapai jika pembelajar memiliki kepercayaan diri. Dalam hal ini pengajar berkewajiban untuk memastikan bahwa pembelajar telah memiliki pengetahuan yang cukup. Keempat, pengajar membantu pembelajar untuk mencapai tujuan. Penetapan tujuan hendaknya disesuaikan dengan kemampuan pembelajar. Semua ini dilakukan untuk menghindari kekecewaan apabila tujuan tidak tercapai. Adanya rasa kecewa akan menjadikan pembelajar malas untuk belajar lagi. Kelima, pembelajaran hendaknya dapat memandirikan pembelajar. Dalam hal ini, pembelajar dapat mengukur kemampuan diri sendiri, sehingga juga dapat menentukan tujuan dan ketercapaiannya. Semua itu dapat dilakukan dengan sering berlatih.
Implikasi teori Bandura menurut Cunia (2007) bahwa pembelajaran harus melibatkan pembelajar dan pengajar secara aktif. Karena ini lebih pada belajar mandiri, maka pengajar harus memastikan pengetahuan yang dimiliki pembelajar. Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki itulah, pengajar dapat membantu pembelajar menentukan harapan dan tujuan yang ingin dicapai. Pengajar sebagai model harus dapat menjadi dan memberi contoh. Oleh karena itu, pengajar hendaknya membantu pembelajar untuk memiliki rasa percaya diri dan mancapai tujuan yang telah direncanakan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan kognitif meminta kepada pengajar dan pembelajar untuk saling menguatkan, baik motivasi, atensi, retensi, maupun ketika memproduksi. Oleh karena itu, faktor pengajar dan pembelajar sangat penting untuk diperhatikan selama pembelajaran berlangsung.

C.  Penutup
1.    Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa SLB atau Pemodelan Bandura dapat menjadi alternatif sebagai model pembelajaran. Dalam model pembelajaran ini, pengajar memiliki peran penting. Berhasil tidaknya pembelajaran sangat bergantung pada kemampuan pengajar. Terutama kemampuan untuk dijadikan sebagai model atau contoh. Selain itu, pengajar harus mampu menjadi motivator sehingga pembelajar bersemangat.
2.    Saran
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian antara lain sebagai berikut.
a.    Bagi Pengajar
Begitu pentingnya peran pengajar, maka hendaknya pengajar benar-benar memiliki kompetensi yang handal. Pengajar harus benar-benar memahami karakteristik pembelajar. Pengajar dituntun untuk dapat menjadi contoh; panutan; model bagi pembelajar.
b.    Bagi Pengambil Kebijakan
Para pengambil kebijakan terutama yang terkait dengan pembelajaran hendaknya memberikan perhatian pada kecerdasan majemuk. Alangkah lebih baik jika pembelajar ditempatkan dalam kelas yang memiliki kecerdasan sama atau setidaknya mendekati. Hal ini untuk memudahkan pengajar dalam membimbing. Selain itu, dalam satu kelas setidaknya terdapat dua pengajar agar pembelajar mendapat bimbingan secara maksimal.
c.    Bagi Orang Tua
Keberhasilan pembelajaran tidak mutlak di tangan sekolah selaku penyelenggara. Orang tua pun memiliki andil yang tidak kalah penting. Oleh karena itu, orang tua juga harus memahami kecerdasan majemuk. Lebih khusus, orang tua hendaknya memahami kecerdasan dominan yang dimiliki oleh putra-putrinya. Hal ini sebagai upaya agar pembelajaran di sekolah dapat bersinergi dengan pembelajaran di rumah.