NILAI
KEAGAMAAN DAN NILAI PENDIDIKAN
DALAM
ANTOLOGI PUISI “TADARUS”
KARYA
A. MUSTOFA BISRI
Indrya Mulyaningsih
IAIN Syekh Nurjati
Cirebon, indrya_m@yahoo.com
Abstrak
Puisi
memiliki banyak manfaat, antara lain dapat memberikan kesenangan atau hiburan kepada pembaca. Puisi juga dapat membentuk pandangan hidup pembaca. Perkembangan puisi di Indonesia tidak bisa lepas dari peran penyair, baik yang berasal dari lingkungan umum
maupun dari pesantren. Salah satu penyair santri
Indonesia yang menuangkan gagasan dalam bentuk
puisi adalah A. Mustofa Bisri. Permasalahan
penelitian ini adalah bagaimanakah deskripsi nilai keagamaan dan nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus
karya A. Mustofa Bisri? Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
nilai keagamaan dan nilai pendidikan dalam
antologi puisi Tadarus karya A.
Mustofa Bisri.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif dengan teknik pengumpulan data berupa analisis dokumen dan wawancara. Validasi data menggunakan triangulasi sumber data, metode, dan diskusi dengan penulis. Nilai
keagamaan yang ditemukan berupa pengalaman batin dan kesadaran untuk selalu
berhubungan dengan Tuhan. Nilai
pendidikannya berupa: 1) antara manusia dengan dirinya sendiri, 2) antara manusia
dengan orang lain, 3) antara manusia dengan kehidupan, 4) antara manusia dengan
kematian, dan 5) antara manusia dengan ketuhanan.
A.
Pendahuluan
Puisi memiliki
banyak manfaat, antara lain dapat
memberikan kesenangan atau hiburan kepada pembaca. Puisi juga dapat membentuk
pandangan hidup pembaca. Kata-kata dalam puisi cenderung sedikit
dan sarat makna. Sebagai
sebuah karya, puisi banyak
mengandung filsafat hidup yang
sangat kompleks. Kompleksitas terjadi karena biasanya bahan penciptaan puisi berupa masalah-masalah hidup, dari segala yang ada dan mungkin ada. Puisi
juga dapat
menggambarkan problema manusia yang bersifat universal, yakni tentang hakikat
kehidupan, hakikat manusia, kematian, dan keagamaan (ketuhanan). Dengan kata
lain, masalah-masalah tersebut juga memiliki nilai pendidikan yang bermanfaat
dan membawa hikmah.
Perkembangan puisi di Indonesia tidak bisa lepas dari peran penyair, baik yang berasal
dari lingkungan umum maupun dari
pesantren. Bahkan penyair yang juga berstatus sebagai kiai. Dari tahun ke tahun, puisi-puisi yang dilahirkan
para penyair santri ini turut mewarnai dan bahkan memperkaya khasanah sastra di tanah air.
Salah satu penyair santri
Indonesia yang menuangkan gagasan dalam
bentuk puisi adalah A. Mustofa Bisri.
Mustofa Bisri merupakan seorang ulama dan seorang penyair. Beliau
memandang dunia dengan mata batin seorang ulama sekaligus
mata batin seorang penyair. Hal itu terkait dengan salah satu fungsi dari pesantren, yakni
sebagai tempat untuk ngangsu kaweruh dinul Islam.
Alm. Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) menyatakan bahwa pesantren merupakan subkultur tersendiri dalam masyarakat.
Konsekuensi logis dari sistem pesantren adalah bisa lebih bebas menyuarakan ketimpangan-ketimpangan
sosial yang disebabkan oleh pemerintah, institusi, dan unsur lainnya.
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka permasalahan
penelitian ini adalah bagaimanakah
deskripsi nilai keagamaan dan nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus
karya A. Mustofa Bisri?
Penelitian ini bertujuan untuk
1.
mendeskripsikan
nilai keagamaan dalam antologi puisi Tadarus karya A. Mustofa Bisri.
2.
mendeskripsikan
nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus karya A.
Mustofa Bisri.
Manfaat secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan khasanah dan
nilai tambah dalam kajian sastra (puisi). Sebuah tinjauan keagamaan dan tinjauan pendidikan dalam antologi puisi Tadarus
karya A. Mustofa Bisri. Manfaat secara praktis, penelitian ini sebagai bahan perbandingan oleh para
akademisi yang melakukan kajian sastra agar dapat memberikan pandangan yang
senada atau berbeda terhadap kajian ini, utamanya kajian terhadap karya
antologi puisi A. Mustofa Bisri.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif. Metode
kualitatif-deskriptif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2004: 4).
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah analisis dokumen dan teknik
wawancara. Analisis dokumen atau kajian isi dengan memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik
kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen (Weber dalam Moleong, 2004:
220). Teknik wawancara ialah teknik yang secara sistematis
mendapatkan informasi, data, pandangan seseorang, yang disampaikan informan
secara lisan menyangkut satu masalah sesuai dengan pokok penelitian, yang
dicatat atau direkam, dan lebih lanjut dianalisis dan diinterpretasi.
Analisis isi (content analysis)
ini digunakan karena berbagai alasan berikut: (a) data penelitian ini bersumber
pada dokumen, yaitu berupa kumpulan puisi; (b) data yang ada berupa simbol-simbol kebahasaan
sehingga dapat dikaji dengan content
analysis; dan (c) tujuan utama penelitian ini adalah mendeskripsikan data yang
kompleks dan banyak jumlahnya sehingga perlu dikaji dengan content analysis.
Validasi data menggunakan trianggulasi: a) sumber data, yaitu penelitian ini dapat menggunakan
beragam sumber data yang koheren (baik tulisan berupa sastra maupun esai) dari penyair,
(b) metode, pengumpulan data yang sejenis dapat menggunakan teknik yang berbeda-beda,
dan (c) diskusi penulis dengan penyair juga pendapat dan pemikiran sastrawan,
budayawan, dan juga rohaniwan tentang diri penyair.
B.
Pembahasan
1. Teori
a. Puisi
Secara etimologi,
istilah puisi berasal dari bahasa Yunani poeima
‘membuat’ atau poeisis ‘pembuatan’. Dalam
bahasa Inggris disebut poem dan poetry. Puisi diartikan ‘membuat’ dan
‘pembuatan’. Puisi termasuk dalam salah satu jenis karya sastra. Bahasa puisi
bersifat konotasi karena banyak menggunakan makna kias dan makna lambang atau
biasa disebut dengan majas. Bahasanya lebih memiliki kemungkinan banyak makna.
Hal ini disebabkan adanya pengkonsentrasian atau pemadatan segenap kekuatan
bahasa di dalam puisi.
Perrine (1979) dalam
Herman J. Waluyo (2009: 27-28) menyatakan “Poetry
is a universal as language and almost as ancient”. Sementara menurut Herman
J. Waluyo (2009: 28), puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan
pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif. Puisi disusun dengan
mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa, baik dalam struktur fisik maupun
struktur batinnya. Sedangkan
menurut Suminto A. Suyuti (2002: 2-3),secara sederhana puisi dapat dirumuskan
sebagai sebentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan adanya aspek
bunyi-bunyi di dalamnya. Puisi juga mengungkapkan pengalaman imajinatif,
emosional, dan intelektual penyair. Semua itu diperoleh dari kehidupan
individual dan sosialnya. Pengungkapannya dengan teknik khusus sehingga mampu
membangkitkan pengalaman tertentu pula dalam diri pembaca atau pendengarnya.
Struktur puisi pada dasarnya mempunyai dua
unsur, yaitu struktur fisik dan struktur batin. Struktur fisik puisi berkaitan
dengan bentuk sedangkan struktur batin berkaitan dengan isi dan makna. Menurut
Herman J. Waluyo (2009: 76), bahwa struktur fisik yang disebut juga dengan
metode puisi terdiri atas 1) diksi, 2) pengimajian, 3) kata konkret, 4) bahasa
figurasi atau majas, 5) versifikasi, dan 6) tata wajah atau tipografi. Struktur
fisik atau metode puisi tersebut juga dipengaruhi pula oleh penyimpangan bahasa
dan sintaksis dalam puisi. Adapun struktur batin adalah struktur yang
berhubungan dengan tema, perasaan, nada dan suasana, amanat atau pesan.
b. Sosiologi
Sastra
Hakikat sosiologi
sastra menurut Laurenson (1972: 11) “Sociology is essentially the scientific, objective study of man in
society, the study of social institutions and of social processes; it seeks to
answer the question of how society is possible, how it works, why it persists.”
Menurut Wellek (1990: 111-112), sosiologi sastra adalah suatu telaah sosiologis
terhadap suatu karya sastra yang meliputi tiga klasifikasi, yakni a) sosiologi
pengarang, b) sosiologi karya sastra, dan c) sosiologi pembaca.
Sementara
Russell (1973: 529) berpendapat bahwa sosiologi sastra adalah studi
tentang sarana produksi sastra, distribusi, dan studi tentang masyarakat
tertentu. Rachmat Djoko Pradopo (2002: 22) beranggapan bahwa karya sastra
dipengaruhi oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya. Dikatakan
oleh Robert Escarpit (2008: 14) bahwa keberadaan sosiologi
sastra telah membantu
pembaca, yakni dengan jalan
membantu ilmu sastra tradisional-sejarah
atau kritik sastra dalam mengamati hubungan antara karya sastra,
pencipta, dan sejarah (lingkungan sosial).
Sosiologi sastra
merupakan bagian mutlak dari kritik sastra. Kajian
ini mengkhususkan diri dalam menelaah sastra dengan
memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan. Atar Semi (1993: 73) berpendapat bahwa “Sastra
merupakan pencerminan kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra seorang
pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di
dalamnya”.
c. Hakikat
Nilai
Nilai adalah
sesuatu yang selalu dikaitkan dengan kebaikan-kebaikan, kemaslahatan, dan
keluhuran. Nilai merupakan sesuatu yang dihargai, dijunjung tinggi, serta
selalu dikejar oleh manusia untuk memperoleh kebahagiaan hidup. Dengan nilai,
manusia dapat merasakan kepuasan, baik kepuasan lahiriah maupun batiniah. Nilai
mencakup beberapa komponen, seperti memilih (segi kognitif), menghargai (segi
afektif), dan bertindak (segi psikomotorik). Berikut ini beberapa nilai yang biasanya terkandung dalam sebuah
karya sastra: 1) nilai hedonik, 2) nilai artistik, (3) nilai kultural, (4)
nilai etis, moral, agama, dan (5) nilai praktis atau nilai pendidikan.
d. Nilai
Keagamaan
Keagamaan mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi)
kedalaman diri pribadi manusia. Keagamaan
tidak bekerja dalam pengertian-pengertian (otak), tetapi dalam pengalaman, penghayatan (totalitas diri) yang
mendahului analisis dan konseptualisasi. Keagamaan adalah hasrat untuk hidup
dalam karunia Tuhan, hasrat untuk hidup dalam dunia yang nyata dan berdaya, dan
tidak di dalam suatu dunia khayalan yang cuma terkurung di dalam kejadian-kejadian
subjektif suatu kenisbian yang tiada henti (Y. B. Mangunwijaya, 1982: 16).
Dalam kaitannya
dengan hal tersebut, spiritualitas dan keagamaanositas merupakan dua nama atau
sebutan paling umum untuk olah keruhanian dan jalan keruhanian. Meskipun sudah
sangat dikenal, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan secara gamblang
perbedaan istilah spiritualitas dan keagamaanositas. KBBI hanya menjelaskan
istilah spiritual sebagai kejiwaan, ruhani, batin, mental, atau moral sedang
istilah keagamaan sebagai taat pada agama atau saleh. Ini menunjukkan, makna
spiritualitas lebih luas daripada makna keagamaanositas kendati sama-sama
merujuk olah keruhanian dan atau jalan keruhanian.
Jadi, nilai keagamaan
dapat dibatasi pada keagamaan sebagai pengalaman batin dan kesadaran seseorang
untuk selalu berhubungan dengan Sang Pencipta. Perwujudannya dengan menciptakan
hubungan yang harmoni dengan Sang Pencipta dalam pemikiran dan perbuatan.
Selanjutnya akan terurai dalam keseimbangan ritual ibadah, baik ibadah
personal (pribadi) maupun ibadah
sosial. Dalam karya sastra (khusunya puisi), hal tersebut akan disampaikan
penyair dalam lahiriah bahasa puisi.
e. Nilai
Pendidikan
Nilai pendidikan adalah suatu gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap
pengarang terhadap kehidupan sosial. Gagasan, tanggapan maupun sikap itu dalam
hal ini akan mampu terwujud dalam suatu pandangan artistik, filofis, maupun
agamis sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan
ruhaniah pembaca.
Pemahaman nilai pendidikan, jika dirangkaikan dengan
pemahaman terhadap nilai-nilai lain (misalnya: nilai keagamaan) menjadi
satu-kesatuan pemahaman yang saling melengkapi, sehingga jika digunakan dalam apresiasi sastra (puisi)
akan menghasilkan pemahaman yang seimbang. Akan tetapi, pemahaman terhadap
kedua nilai tersebut membutuhkan kepekaan yang maksimal bagi pembaca sastra
(puisi) untuk mengetahui pesan yang ingin disampaikan penyair dalam
puisi-puisinya.
Jadi, nilai
pendidikan dalam puisi dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok yang berpengaruh
di dalamnya, yakni hubungan manusia dengan masalah: 1) kehidupan, 2)
kemanusiaan, 3) kematian, dan 4) ketuhanan.
2. Analisis
Dalam antologi puisi Tadarus
banyak dijumpai puisi deskriptif dan metafisikal. Hal
ini untuk mengungkapkan pikiran
dan perasaan penyair berupa kritik terhadap kehidupan sosial sekaligus terhadap
diri penyair dengan berbagai permasalahannya, antara lain a) hakikat manusia
dan kemanusian, b) keadilan dan kebenaran hidup, c) kejujuran dalam pergaulan
hidup, d) koreksi dan introspeksi diri, dan e) kesadaran spiritual.
Antologi puisi Tadarus memuat 50 puisi yang terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama, 18 puisi dan bagian kedua, 32 puisi. Pada tiap bagian akan diambil
beberapa puisi untuk ditelaah.
Hal ini agar dapat ditemukan hubungan antara sikap penyair dengan gagasan tentang
corak kehidupan sosial dalam puisi, nilai-nilai keagamaan, dan nilai-nilai pendidikan.
Secara umum, gagasan atau tema Tadarus
tentang kritik terhadap kehidupan sosial yang ditampilkan
adalah warna kritik terhadap kemanusiaan, kebenaran, keadilan, koreksi dan
introspeksi diri, dan kesadaran spiritual. Oleh karena itu, tinjauan terhadap
puisi tersebut, antara lain: a) hakikat manusia dan kemanusian, b) keadilan dan kebenaran hidup, c) kejujuran dalam pergaulan hidup, d) koreksi dan introspeksi diri, dan e) kesadaran spiritual.
Gagasan atau tema tersebut akan ditelaah hubungannya
dengan nada puisi sebagai sikap yang ingin disampaikan penyair sebagai kritik
terhadap tatanan kehidupan sosial termasuk kritik terhadap diri penyair
sendiri.
Dalam antologi puisi Tadarus yang
mengungkapkan kritik tentang hubungan kemanusiaan diantaranya adalah puisi yang
berjudul ”Membangun Rumah”, ”Dzikir 2”, ”Mantan Rakyat”, ”Bosnia Adalah”, dan
”Kubaca Berita”. Puisi ”Membangun Rumah” mengungkapkan sebuah gambaran kesenjangan hubungan
kemanusiaan antara orang-orang kaya raya dengan orang yang dipandang hina.
Dengan mudahnya orang-orang kaya untuk melakukan apapun yang diinginkannya,
termasuk dalam memandang remeh orang-orang yang dianggapnya miskin dan serba
kekurangan apapun. Misalnya pada puisi berikut ini.
Di
atas tanah rezki Allah
(Cuma
tiga hektar luasnya
Pembantu-pembantuku
berhasil membelinya
Dari
beberapa petani di pinggiran kota)
Akan kubangun rumah sederhana
Arsitek kenamaan kenalan istriku
……………………………………………………………..
Waktu kami akan berangkat ke hotel
bersama-sama
dan pembantu kami membuka pintu gapura
beberapa tamu tak diundang menerobos
masuk seenaknya
Mereka bilang minta waktu sebentar saja
Meski sangat terganggu kusuruh sekretarisku
melayaninya
……………………………………………………..
Tak lama sekretaris melapor dengan
tertawa
“Cuma panitia pengumpul dana,” katanya
“Entah untuk solidaritas Bosnia entah
apa.
Kukasi lima ribu saja
meraka menghaturkan terimakasih tak
terhingga
dan mendoakan kesejahteraan kita”.
Ayo berangkat, seru istriku, ada-ada
saja!
Iring-iringan pun bergerak.
(Kulihat para tamu tak diundang itu
tertunduk-tunduk syukur mengawasi kami
Sementara pembantu kami terus mendorong
mereka pergi).
(Tadarus: 17 – 18)
Bait-bait puisi
di atas menunjukkan kritik terhadap rasa kemanusiaan orang-orang kaya. Betapa
nikmatya menjadi orang kaya segala apapun yang diinginkan, tidak ada yang tidak
terwujud. Apapun yang akan dilakukan serba mewah dan sangat jauh dari kemampuan
wajar orang-orang miskin. Mulai dari penguasaan tanah, kepemilikan rumah, dan
keluar-masuk hotel untuk kepentingan apapun. Orang kaya memandang sebelah mata
terhadap orang lain yang dianggap tidak berpengaruh dan menguntungkan
posisinya. Mereka cukup memberi penghargaan ala kadarnya, tanpa harus berpusing
diri memikirkan keadaan dan kepentingan
orang yang mereka anggap ‘tidak berguna dalam hidupnya’.
Puisi “Dzikir 2”
mengungkapkan bagaimana dan dalam posisi apa manusia berdzikir. Dzikir dalam
puisi ini bukan bermakna ‘mengingat Tuhan’ secara terus-menerus, tetapi
bermakna ‘pengambilan sikap’ atau ‘keputusan’ yang hampir sering dikerjakan,
antara ulama, wakil rakyat, dan rakyat. Masing-masing punya sikap sesuai dengan
posisi dan kedudukannya.
Puisi “Kubaca
Berita” menyuguhkan beragam kritik terhadap keterbatasan manusia dalam menerima
kehendak dan keputusan Tuhan, seperti a) kematian yang sewaktu-waktu dan
tiba-tiba datangnya, b) keangkuhan atas jabatan dan kedudukan yang akan sirna
tanpa dapat menolaknya, dan c) kesombongan atas kekayaan, idiologi dan
pemikiran yang lenyap akibat perbuatan manusia sendiri.
Puisi “Bosnia
Adalah” seperti mengingatkan kembali atas keberadaan tragedi kemanusiaan yang
dinjak-injak keangkaramurkaan, keserakahan, serta kekejaman dan kekejian akibat
perang saudara di bekas Negara Yugoslavia, yakni di Bosnia Herzegovina. Melalui
puisi ini pula, A. Musthofa Bisri mengingatkan sekaligus mengkritik akan
pentingnya arti kemanusiaan di tengah tragedi peperangan yang banyak
menimbulkan ketidakberdayaan, kesengsaraan, dan kematian itu sendiri.
Bosnia adalah wajah kita yang kusut
Bosnia adalah keangkuhan dan
ketidakberdayaan kita
Bosnia adalah kita yang terkoyak-koyak
Bosnia adalah kepanikan manusia
menghadapi diri sendiri
(Airmata dan darah tertumpah atau tidak
Raung atau erang yang terdengar
Atau justru hanya senyum yang sunyi
Tragedi manusia adalah saat
Kemanusiaannya lepas entah kemana?
Atau barangkali Bosnia
Adalah dunia kita yang mulai
sekarat.
(Tadarus: 28)
Bait-bait puisi
di atas mengritik sebuah kenyataan tentang tragedi kemanusiaan akibat
peperangan di Bosnia. Bahwa perang Bosnia adalah wujud ketidakberdayaan serta
pertumpahan darah yang sia-sia akibat nilai-nilai kemausiaan yang dinjak-injak.
Bosnia adalah wujud kemanusiaan yang hampir punah. Atau barangkali Bosnia/Adalah dunia kita yang mulai sekarat.
Judul puisi yang mengungkapkan kritik tentang keadilan dan
kebenaran hidup antara lain: ”Anonim”, ”Ratsaa”, ”Khalifah Allah, Dimanakah
Kau”, ”Selamat Idul Fitri”, dan ”Keadilan”. Dalam puisi ”Anonim” menggambarkanan berbagai pertanyaan tentang kesewenang-wenangan,
keserakahan dan berbagai macam ketidakaadilan di negeri ini. Bagaimana nasib
para petani, nelayan, dan rakyat yang bersusah payah dalam segala usaha, tetapi
yang meraih kenikmatan hanya orang-orang kaya dan orang-orang yang memiliki
kekuasaan saja. Rakyat selalu berada di pihak yang selalu dikalahkan.
Siapa yang
menanam padi hingga negeri ini
Dari pengimpor
beras menjadi
Negeri
swasembada pangan yang mandiri
Yang
mendahulukan memberi makan anak-anakmu
Sebelum
anak-anak sendiri?
Siapa yang
menjalankan perahu pukatmu
Dan melawan
badai menjala ikan untukmu
Siapa yang
merawat tebu-tebumu
Agar persediaan
gula terjamin selalu?
Siapa yang
menabung receh-recehnya
Di bank hinga
kau dan siapa saja yang lebih kaya
Bisa
mengkreditnya kapan saja?
Siapa yang mau
saja kau tarik-tarik kesan kemari
Mencoblos gambar
lima tahun sekali
Hingga kau dan
siapa saja yang punya nyali
Mendapat
kedudukan terhormat sekali?
Siapa yang
menyediakan sawah-sawah murah
Dan
tambak-tambak dengan harga rendah
Untuk kau tanami
pabrik dan rumah-rumah mewah
Dan
tempat-tempat plesiran yang megah?
Siapa yang rela
meninggalkan tempat tinggal
Dan segala
milik, pekarangan, dan tegal
Bagi
proyek-proyek prestisemu yang jajal-jajal?
Siapa yang
membayar pajak tak boleh nunggak
Agar bangunan
dan periukmu tegak?
Siapa yang
bersedia menyerahkan lubang telinga
Untuk kau jejali
rongsokan huruf dan kata-kata?
Siapa?
Kenapa kau tak
menoleh sekejap saja?
(Tadarus: 10)
Bait-bait puisi
di atas mengritik betapa rakyat kecil dan jelata selalu menjadi sasaran pihak
yang berduit dan memiliki jabatan. Rakyat selalu dikalahkan dalam segala hal,
baik untuk kepentingan bisnis maupun politik. Rakyat kecil selalu tidak berdaya
mengalami ketidakadilan hidup. Orang-orang beruang atau pejabat hanya berorientasi
pada harta dan kedudukan sebagai segala-galanya. Oleh karenanya, penghalalan
segala cara yang sebenarnya justru menginjak-injak rakyat sering dilakukan.
Dalam puisi
“Ratsaa” mengritik terhadap ketidakadilan dan ketidaksempurnaan tatanan hidup.
Semua urusan yang menjadi tanggung jawab masing-masing individu dalam keluarga
diserahkan pada orang lain. Hingga pada urusan ibadah pada Tuhan dapat
dialihkan dan diwakilkan pada siapa pun yang mau melaksanakannya.
Dalam puisi
“Khalifah Allah, Dimanakah Kau?” mengritik terhadap beragam karakter manusia.
Pemimpin selalu berlaku diktator, angkuh, dan kasar. Kelompok menengah tidak
mau mengalah dan selalu ingin maju tapi tak mampu. Sementara rakyat jelata semakin
terhimpit dan tersiksa dalam hidup. Dalam keadaan seperti ini, begitu sulit
mencari figur pimpinan yang benar-banar adil dan proporsional dalam menjalan
tugas dan tanggung jawabnya.
Dalam puisi
“Selamat Idul Fitri” mengritik sekaligus menyadarkan terhadap nilai-nilai
kebenaran dan keadilan, baik adil dan benar pada diri sendiri, alam (tumbuhan
dan hewan), maupun pada sesama. Melalui momen Idul Fitri, seseorang tulus
mengucapkan permohonan maaf pada semuanya atas segala kezaliman yang telah diperbuat.
Dalam “Keadilan”
mengritik sekaligus menyadarkan tentang makna keadilan yang mungkin saat ini
masih dirasa sebagai mimpi. Sesuatu yang masih jauh dari kenyataan. Keadilan
masih dalam wujud angan-angan dan impian yang belum dapat diraih.
Hampir tertangkap
mimpi.
(Tadarus: 67)
Satu larik puisi
di atas menunjukkan kritik sekaligus penyadaran akan arti penting sebuah
keadilan. Saat ini, keadilan masih berwujud impian dan angan-angan yang belum
tergapai dalam kenyataan hidup. Atau barangkali keadilan memang hanya sebuah
impian, jauh dari kenyataan hidup?
Kejujuran dalam pergaulan hidup adalah tema yang juga ingin disampaikan.
Dalam antologi puisi Tadarus yang mengungkapkan tema
kujujuran dalam pergaulan hidup antara lain ”Jangan Berpidato”, ”Rampok”,
”Menulis”, dan ”Allah Ampunilah Kami”. Dalam puisi ”Jangan Berpidato” berisi penolakan keras terhadap pidato yang akhir-akhir ini
sudah tidak lagi menunjukan nuansa kejujuran nurani, baik segi bentuk maupun isi. Keberadaan pidato sekarang
ini hanyalah ocehan murahan untuk menutupi segala kekurangan. Kekurangan yang
dianggap baik akan membuat diri sendiri hancur dimakan kebaikan dan kejujuran
nurani.
Jangan
berpidato!
kata-katamu
yang paling bijak
hanyalah
bedak murah yang tak sanggup lagi
menutupi
koreng-borok-kurap-kudis-panu-mu
Peradaban
koreng!
Has
asasi borok
!
Perdamaian kurap!
Demokrasi kudis!
Humanisasi panu!
Berlagaklah
adi siapa perduli
Bangunanmu tinggal cantik di luar
Tinggal menunggu saat-saat ambyar
(Tadarus: 8)
Larik-larik
puisi di atas menunjukkan betapa tidak berdayanya pidato dengan kata-kata
paling bijak sekalipun. Sebab kebijakan yang dibawa hanyalah pelapis luar
terhadap segala keburukan dan kebobrokan yang melatarbelakangi keadaan yang
sebenarnya. Selama ini yang nampak adalah sebuah bangunan baik di bagian luar, tetapi
rapuh kerangka dan penyangganya. Oleh karena itu, tinggal menunggu hancur dan
robohnya bangunan itu. Sebuah kejujuran adalah apa yang nampak di luar, juga
seperti di dalam.
Dalam “Rampok” mengritik
terhadap ketidakjujuran seseorang dalam bersikap. Umumnya jika disuruh memilih
antara harta, nyawa, dan nurani, maka sebagian besar jawaban yang diberikan
adalah lebih senang harta daripada nyawa atau sebaliknya.
Puisi “Menulis” menggambarkan
bahwa dalam kehidupan, setiap oarng punya kemampuan dan keahlian dalam membuat
keputusan atau kebijakan yang setara dengan kedudukan atau jabatan yang
disandangnya. Semakin tinggi jabatan dan kedudukannya, maka semakin bebas
memutuskan segala sesuatu. Semakin tidak berdaya seseorang, maka semakin kecil
dan sepele hal yang diputuskan.
Dalam puisi
“Allah Ampunilah Kami” kembali mengingatkan akan ketidakberdayaan terhadap
kemahakuasaan-Nya. Dari hari ke hari, semakin terbebani dengan segala ketidakpastian
hidup, tidak meyakini keberadaan nurani dan kejujuran dalam bertindak dan
bersikap. Padahal nurani dan kejujuran adalah suara Tuhan. Sehingga dari hari
ke hari, terus terbelenggu dengan ketidakmampuan untuk memisahkan antara
kebenaran dan kemungkaran, perdamaian dan pertikaian, keserakahan dan
keberkahan, kemaksiatan dan ketaatan.
Dalam puisi “Matahari”, “Bulan”, “Laut”, dan “Langit” berikut ini, menunjukan
sebuah keberadaan kepasrahan total penyair terhadap kebesaran Tuhan terhadap
makhluk ciptaan-Nya berupa matahari, bulan, laut, dan langit. Bahwa atas kuasa
Tuhan semata keempat makhluk yang melingkupi semesta ini bergerak dan bertindak
sesuai dengan sunatullah (hukum Allah) untuk kemanfaatan semesta.
Matahari terbit dan terbenam, bulan dengan pantulan sinarnya yang indah
menerangi malam, laut yang amat luas, dan langit yang terhampar bebas tanpa
batas ibarat ilmu Tuhan yang tak akan pernah habis. Semuanya itu diakui oleh
penyair akan kemahabesaran dan kuasa Tuhan sebagai pencipta semesta.
Jika terbit disini
Aku tak perduli tenggelam dimana
(Tadarus: 69)
Bulan,
Ayo berpandang-pandangan
Siapa yang lebih dahulu berkedip
Menemukan atau kehilangan pesona wajahNya.
(Tadarus: 70)
Laut,
Aku ingin meminum habis airmu
Tapi untuk apa?
(Tadarus: 71)
Langit,
Adakah langit di atas birumu?
(Tadarus: 72)
Puisi lain yang sangat kental nuansa spiritualnya
adalah puisi yang berjudul ”Doa”. Puisi ini mengungkapan pengakuan terhadap Tuhan dengan segala
sifat kesempurnaan-Nya dan yang maha segala yang
terangkum dalam 99 nama baik bagi Tuhan (al
asma al husna). Manusia berharap dan memohon
pada-Nya, agar diberi perlindungan, pertolongan dan ampunan atas segala yang menjadi kelemahan dan kesalahan. Disampaikan pula agar manusia selalu mencari ridla-Nya. Di beberapa larik lainnya, setelah
menyebut Ya Allah ya Hadii (Maha Pemberi Petunjuk), penyair berdoa tunjukkanlah kami jalan yang lurus yang harus kami lalui seperti Engkau perintahkan. Satu bait lainnya, setelah menyebut Ya Allah ya Baqii kemudian memohon kekalkanlah keyakinan kami terhadap pertolonganMu hingga kami tak pernah berhenti tawakkal.
C.
Penutup
1.
Nilai
Keagamaan
Nilai
keagamaan yang terdapat dalam antologi puisi Tadarus karya A. Mustofa
Bisri merupakan pengalaman batin dan kesadaran seseorang
(penyair) untuk selalu berhubungan dengan Sang Maha Pencipta dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penyair
selalu berharap pertolongan dari-Nya agar terhindar dari perbuatan yang dilarang Tuhan.
Penyair berharap akan memiliki
kemampuan untuk menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan dengan
tuntunan Tuhan dalam segala situasi dan kondisi.
Salah satu wujudnya dengan menciptakan hubungan yang harmoni dengan Sang Maha
Pencipta dalam pemikiran dan perbuatan. Selanjutnya akan terealisasi dalam
keseimbangan ritual ibadah, baik ibadah personal (pribadi) maupun ibadah sosial dalam kehidupan
sehari-hari.
2.
Nilai
Pendidikan
Nilai
pendidikan yang terdapat dalam antologi puisi Tadarus karya A. Mustofa Bisri sebagai
berikut.
a.
Antara manusia dengan
dirinya sendiri berupa
kesadaran bahwa manusia benar-benar berada dalam segala keterbatasan dan
kekurangan.
b.
Antara manusia dengan orang
lain berupa mulai lunturnya nilai-nilai kemanusian,
apalagi jika terkait dengan status sosial.
c.
Antara manusia dengan
kehidupan berupa masih banyaknya pelanggaran terhadap aturan yang berlaku.
d.
Antara manusia dengan
kematian berupa adanya
misteri Tuhan tentang kelahiran, kematian, jodoh, dan rezeki. Artinya tidak ada
seorang pun yang tahu kapan akan
melahirkan, kapan akan meninggal, siapa jodohnya, dan seberapa banyak
rezekinya.
e.
Antara manusia dengan
ketuhanan berupa ketakberdayaan manusia
yang hanya bisa
mengharap dan memohon kepada Tuhan
dengan selalu mendekatkan diri pada-Nya.