Tuesday, April 22, 2014

Nilai Keagamaan dan Nilai Pendidikan

NILAI KEAGAMAAN DAN NILAI PENDIDIKAN
DALAM ANTOLOGI PUISI “TADARUS”
KARYA A. MUSTOFA BISRI
Indrya Mulyaningsih
IAIN Syekh Nurjati Cirebon, indrya_m@yahoo.com

Abstrak

Puisi memiliki banyak manfaat, antara lain dapat memberikan kesenangan atau hiburan kepada pembaca. Puisi juga dapat membentuk pandangan hidup pembaca. Perkembangan puisi di Indonesia tidak bisa lepas dari peran penyair, baik yang berasal dari lingkungan umum maupun dari pesantren. Salah satu penyair santri Indonesia yang menuangkan gagasan dalam bentuk puisi adalah A. Mustofa Bisri. Permasalahan penelitian ini adalah bagaimanakah deskripsi nilai keagamaan dan nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus karya A. Mustofa Bisri? Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai keagamaan dan nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus karya A. Mustofa Bisri. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif dengan teknik pengumpulan data berupa analisis dokumen dan wawancara. Validasi data menggunakan triangulasi sumber data, metode, dan diskusi dengan penulis. Nilai keagamaan yang ditemukan berupa pengalaman batin dan kesadaran untuk selalu berhubungan dengan Tuhan. Nilai pendidikannya berupa: 1) antara manusia dengan dirinya sendiri, 2) antara manusia dengan orang lain, 3) antara manusia dengan kehidupan, 4) antara manusia dengan kematian, dan 5) antara manusia dengan ketuhanan.

A.  Pendahuluan
Puisi memiliki banyak manfaat, antara lain dapat memberikan kesenangan atau hiburan kepada pembaca. Puisi juga dapat membentuk pandangan hidup pembaca. Kata-kata dalam puisi cenderung sedikit dan sarat makna. Sebagai sebuah karya, puisi banyak mengandung filsafat hidup yang sangat kompleks. Kompleksitas terjadi karena biasanya bahan penciptaan puisi berupa masalah-masalah hidup, dari segala yang ada dan mungkin ada. Puisi juga dapat menggambarkan problema manusia yang bersifat universal, yakni tentang hakikat kehidupan, hakikat manusia, kematian, dan keagamaan (ketuhanan). Dengan kata lain, masalah-masalah tersebut juga memiliki nilai pendidikan yang bermanfaat dan membawa hikmah.
Perkembangan puisi di Indonesia tidak bisa lepas dari peran penyair, baik yang berasal dari lingkungan umum maupun dari pesantren. Bahkan penyair yang juga berstatus sebagai kiai. Dari tahun ke tahun, puisi-puisi yang dilahirkan para penyair santri ini turut mewarnai dan bahkan memperkaya khasanah sastra di tanah air. Salah satu penyair santri Indonesia yang menuangkan gagasan dalam bentuk puisi adalah A. Mustofa Bisri. Mustofa Bisri merupakan seorang ulama dan seorang penyair. Beliau memandang dunia dengan mata batin seorang ulama sekaligus mata batin seorang penyair. Hal itu terkait dengan salah satu fungsi dari pesantren, yakni sebagai tempat untuk ngangsu kaweruh dinul Islam. Alm. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan bahwa pesantren merupakan subkultur tersendiri dalam masyarakat. Konsekuensi logis dari sistem pesantren adalah bisa lebih bebas menyuarakan ketimpangan-ketimpangan sosial yang disebabkan oleh pemerintah, institusi, dan unsur lainnya.
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian ini adalah bagaimanakah deskripsi nilai keagamaan dan nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus karya A. Mustofa Bisri?
Penelitian ini bertujuan untuk
1.        mendeskripsikan nilai keagamaan dalam antologi puisi Tadarus karya A. Mustofa Bisri.
2.        mendeskripsikan nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus karya A. Mustofa Bisri.
Manfaat secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan khasanah dan nilai tambah dalam kajian sastra (puisi). Sebuah tinjauan keagamaan dan tinjauan pendidikan dalam antologi puisi Tadarus karya A. Mustofa Bisri. Manfaat secara praktis, penelitian ini sebagai bahan perbandingan oleh para akademisi yang melakukan kajian sastra agar dapat memberikan pandangan yang senada atau berbeda terhadap kajian ini, utamanya kajian terhadap karya antologi puisi A. Mustofa Bisri.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif. Metode kualitatif-deskriptif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2004: 4).
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah analisis dokumen dan teknik wawancara. Analisis dokumen atau kajian isi dengan memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen (Weber dalam Moleong, 2004: 220). Teknik wawancara ialah teknik yang secara sistematis mendapatkan informasi, data, pandangan seseorang, yang disampaikan informan secara lisan menyangkut satu masalah sesuai dengan pokok penelitian, yang dicatat atau direkam, dan lebih lanjut dianalisis dan diinterpretasi.
Analisis isi (content analysis) ini digunakan karena berbagai alasan berikut: (a) data penelitian ini bersumber pada dokumen, yaitu berupa kumpulan puisi; (b) data yang ada berupa simbol-simbol kebahasaan sehingga dapat dikaji dengan content analysis; dan (c) tujuan utama penelitian ini adalah mendeskripsikan data yang kompleks dan banyak jumlahnya sehingga perlu dikaji dengan content analysis.
Validasi data menggunakan trianggulasi: a) sumber data, yaitu penelitian ini dapat menggunakan beragam sumber data yang koheren (baik tulisan berupa sastra maupun esai) dari penyair, (b) metode, pengumpulan data yang sejenis dapat menggunakan teknik yang berbeda-beda, dan (c) diskusi penulis dengan penyair juga pendapat dan pemikiran sastrawan, budayawan, dan juga rohaniwan tentang diri penyair.

B.  Pembahasan
1.    Teori
a.       Puisi
Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani poeima ‘membuat’ atau poeisis ‘pembuatan’. Dalam bahasa Inggris disebut poem dan poetry. Puisi diartikan ‘membuat’ dan ‘pembuatan’. Puisi termasuk dalam salah satu jenis karya sastra. Bahasa puisi bersifat konotasi karena banyak menggunakan makna kias dan makna lambang atau biasa disebut dengan majas. Bahasanya lebih memiliki kemungkinan banyak makna. Hal ini disebabkan adanya pengkonsentrasian atau pemadatan segenap kekuatan bahasa di dalam puisi.
Perrine (1979) dalam Herman J. Waluyo (2009: 27-28) menyatakan “Poetry is a universal as language and almost as ancient”. Sementara menurut Herman J. Waluyo (2009: 28), puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif. Puisi disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa, baik dalam struktur fisik maupun struktur batinnya. Sedangkan menurut Suminto A. Suyuti (2002: 2-3),secara sederhana puisi dapat dirumuskan sebagai sebentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan adanya aspek bunyi-bunyi di dalamnya. Puisi juga mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair. Semua itu diperoleh dari kehidupan individual dan sosialnya. Pengungkapannya dengan teknik khusus sehingga mampu membangkitkan pengalaman tertentu pula dalam diri pembaca atau pendengarnya.
Struktur puisi pada dasarnya mempunyai dua unsur, yaitu struktur fisik dan struktur batin. Struktur fisik puisi berkaitan dengan bentuk sedangkan struktur batin berkaitan dengan isi dan makna. Menurut Herman J. Waluyo (2009: 76), bahwa struktur fisik yang disebut juga dengan metode puisi terdiri atas 1) diksi, 2) pengimajian, 3) kata konkret, 4) bahasa figurasi atau majas, 5) versifikasi, dan 6) tata wajah atau tipografi. Struktur fisik atau metode puisi tersebut juga dipengaruhi pula oleh penyimpangan bahasa dan sintaksis dalam puisi. Adapun struktur batin adalah struktur yang berhubungan dengan tema, perasaan, nada dan suasana, amanat atau pesan.

b.      Sosiologi Sastra
Hakikat sosiologi sastra menurut Laurenson (1972: 11) “Sociology is essentially the scientific, objective study of man in society, the study of social institutions and of social processes; it seeks to answer the question of how society is possible, how it works, why it persists.” Menurut Wellek (1990: 111-112), sosiologi sastra adalah suatu telaah sosiologis terhadap suatu karya sastra yang meliputi tiga klasifikasi, yakni a) sosiologi pengarang, b) sosiologi karya sastra, dan c) sosiologi pembaca.
Sementara Russell (1973: 529) berpendapat bahwa sosiologi sastra adalah studi tentang sarana produksi sastra, distribusi, dan studi tentang masyarakat tertentu. Rachmat Djoko Pradopo (2002: 22) beranggapan bahwa karya sastra dipengaruhi oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya. Dikatakan oleh Robert Escarpit (2008: 14) bahwa keberadaan sosiologi sastra telah membantu pembaca, yakni dengan jalan membantu ilmu sastra tradisional-sejarah atau kritik sastra dalam mengamati hubungan antara karya sastra, pencipta, dan sejarah (lingkungan sosial).
Sosiologi sastra merupakan bagian mutlak dari kritik sastra. Kajian ini mengkhususkan diri dalam menelaah sastra dengan memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan. Atar Semi (1993: 73) berpendapat bahwa “Sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya.

c.       Hakikat Nilai
Nilai adalah sesuatu yang selalu dikaitkan dengan kebaikan-kebaikan, kemaslahatan, dan keluhuran. Nilai merupakan sesuatu yang dihargai, dijunjung tinggi, serta selalu dikejar oleh manusia untuk memperoleh kebahagiaan hidup. Dengan nilai, manusia dapat merasakan kepuasan, baik kepuasan lahiriah maupun batiniah. Nilai mencakup beberapa komponen, seperti memilih (segi kognitif), menghargai (segi afektif), dan bertindak (segi psikomotorik). Berikut ini beberapa nilai yang biasanya terkandung dalam sebuah karya sastra: 1) nilai hedonik, 2) nilai artistik, (3) nilai kultural, (4) nilai etis, moral, agama, dan (5) nilai praktis atau nilai pendidikan.
  
d.      Nilai Keagamaan
Keagamaan mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman diri pribadi manusia. Keagamaan tidak bekerja dalam pengertian-pengertian (otak), tetapi dalam pengalaman, penghayatan (totalitas diri) yang mendahului analisis dan konseptualisasi. Keagamaan adalah hasrat untuk hidup dalam karunia Tuhan, hasrat untuk hidup dalam dunia yang nyata dan berdaya, dan tidak di dalam suatu dunia khayalan yang cuma terkurung di dalam kejadian-kejadian subjektif suatu kenisbian yang tiada henti (Y. B. Mangunwijaya, 1982: 16).
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, spiritualitas dan keagamaanositas merupakan dua nama atau sebutan paling umum untuk olah keruhanian dan jalan keruhanian. Meskipun sudah sangat dikenal, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan secara gamblang perbedaan istilah spiritualitas dan keagamaanositas. KBBI hanya menjelaskan istilah spiritual sebagai kejiwaan, ruhani, batin, mental, atau moral sedang istilah keagamaan sebagai taat pada agama atau saleh. Ini menunjukkan, makna spiritualitas lebih luas daripada makna keagamaanositas kendati sama-sama merujuk olah keruhanian dan atau jalan keruhanian.
Jadi, nilai keagamaan dapat dibatasi pada keagamaan sebagai pengalaman batin dan kesadaran seseorang untuk selalu berhubungan dengan Sang Pencipta. Perwujudannya dengan menciptakan hubungan yang harmoni dengan Sang Pencipta dalam pemikiran dan perbuatan. Selanjutnya akan terurai dalam keseimbangan ritual ibadah, baik ibadah personal (pribadi) maupun ibadah sosial. Dalam karya sastra (khusunya puisi), hal tersebut akan disampaikan penyair dalam lahiriah bahasa puisi.

e.       Nilai Pendidikan
Nilai pendidikan adalah suatu gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan sosial. Gagasan, tanggapan maupun sikap itu dalam hal ini akan mampu terwujud dalam suatu pandangan artistik, filofis, maupun agamis sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan ruhaniah pembaca.
Pemahaman nilai pendidikan, jika dirangkaikan dengan pemahaman terhadap nilai-nilai lain (misalnya: nilai keagamaan) menjadi satu-kesatuan pemahaman yang saling melengkapi, sehingga jika digunakan dalam apresiasi sastra (puisi) akan menghasilkan pemahaman yang seimbang. Akan tetapi, pemahaman terhadap kedua nilai tersebut membutuhkan kepekaan yang maksimal bagi pembaca sastra (puisi) untuk mengetahui pesan yang ingin disampaikan penyair dalam puisi-puisinya.
Jadi, nilai pendidikan dalam puisi dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok yang berpengaruh di dalamnya, yakni hubungan manusia dengan masalah: 1) kehidupan, 2) kemanusiaan, 3) kematian, dan 4) ketuhanan.

2.    Analisis
Dalam antologi puisi Tadarus banyak dijumpai puisi deskriptif dan metafisikal. Hal ini untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair berupa kritik terhadap kehidupan sosial sekaligus terhadap diri penyair dengan berbagai permasalahannya, antara lain a) hakikat manusia dan kemanusian, b) keadilan dan kebenaran hidup, c) kejujuran dalam pergaulan hidup, d) koreksi dan introspeksi diri, dan e) kesadaran spiritual.
Antologi puisi Tadarus memuat 50 puisi yang terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama, 18 puisi dan bagian kedua, 32 puisi. Pada tiap bagian akan diambil beberapa puisi untuk ditelaah. Hal ini agar dapat ditemukan hubungan antara sikap penyair dengan gagasan tentang corak kehidupan sosial dalam puisi, nilai-nilai keagamaan, dan nilai-nilai pendidikan.
Secara umum, gagasan atau tema Tadarus tentang kritik terhadap kehidupan sosial yang ditampilkan adalah warna kritik terhadap kemanusiaan, kebenaran, keadilan, koreksi dan introspeksi diri, dan kesadaran spiritual. Oleh karena itu, tinjauan terhadap puisi tersebut, antara lain: a) hakikat manusia dan kemanusian, b) keadilan dan kebenaran hidup, c) kejujuran dalam pergaulan hidup, d) koreksi dan introspeksi diri, dan e) kesadaran spiritual. Gagasan atau tema tersebut akan ditelaah hubungannya dengan nada puisi sebagai sikap yang ingin disampaikan penyair sebagai kritik terhadap tatanan kehidupan sosial termasuk kritik terhadap diri penyair sendiri.
Dalam antologi puisi Tadarus yang mengungkapkan kritik tentang hubungan kemanusiaan diantaranya adalah puisi yang berjudul ”Membangun Rumah”, ”Dzikir 2”, ”Mantan Rakyat”, ”Bosnia Adalah”, dan ”Kubaca Berita”. Puisi ”Membangun Rumah” mengungkapkan sebuah gambaran kesenjangan hubungan kemanusiaan antara orang-orang kaya raya dengan orang yang dipandang hina. Dengan mudahnya orang-orang kaya untuk melakukan apapun yang diinginkannya, termasuk dalam memandang remeh orang-orang yang dianggapnya miskin dan serba kekurangan apapun. Misalnya pada puisi berikut ini.
Di atas tanah rezki Allah
(Cuma tiga hektar luasnya
Pembantu-pembantuku berhasil membelinya
Dari beberapa petani di pinggiran kota)
Akan kubangun rumah sederhana
Arsitek kenamaan kenalan istriku
……………………………………………………………..
Waktu kami akan berangkat ke hotel bersama-sama
dan pembantu kami membuka pintu gapura
beberapa tamu tak diundang menerobos masuk seenaknya
Mereka bilang minta waktu sebentar saja
Meski sangat terganggu kusuruh sekretarisku melayaninya
……………………………………………………..
Tak lama sekretaris melapor dengan tertawa
“Cuma panitia pengumpul dana,” katanya
“Entah untuk solidaritas Bosnia entah apa.
Kukasi lima ribu saja
meraka menghaturkan terimakasih tak terhingga
dan mendoakan kesejahteraan kita”.
Ayo berangkat, seru istriku, ada-ada saja!
Iring-iringan pun bergerak.
(Kulihat para tamu tak diundang itu
tertunduk-tunduk syukur mengawasi kami
Sementara pembantu kami terus mendorong mereka pergi).
                                                        (Tadarus: 17 – 18)

Bait-bait puisi di atas menunjukkan kritik terhadap rasa kemanusiaan orang-orang kaya. Betapa nikmatya menjadi orang kaya segala apapun yang diinginkan, tidak ada yang tidak terwujud. Apapun yang akan dilakukan serba mewah dan sangat jauh dari kemampuan wajar orang-orang miskin. Mulai dari penguasaan tanah, kepemilikan rumah, dan keluar-masuk hotel untuk kepentingan apapun. Orang kaya memandang sebelah mata terhadap orang lain yang dianggap tidak berpengaruh dan menguntungkan posisinya. Mereka cukup memberi penghargaan ala kadarnya, tanpa harus berpusing diri memikirkan keadaan  dan kepentingan orang yang mereka anggap ‘tidak berguna dalam hidupnya’.
Puisi “Dzikir 2” mengungkapkan bagaimana dan dalam posisi apa manusia berdzikir. Dzikir dalam puisi ini bukan bermakna ‘mengingat Tuhan’ secara terus-menerus, tetapi bermakna ‘pengambilan sikap’ atau ‘keputusan’ yang hampir sering dikerjakan, antara ulama, wakil rakyat, dan rakyat. Masing-masing punya sikap sesuai dengan posisi dan kedudukannya. 
Puisi “Kubaca Berita” menyuguhkan beragam kritik terhadap keterbatasan manusia dalam menerima kehendak dan keputusan Tuhan, seperti a) kematian yang sewaktu-waktu dan tiba-tiba datangnya, b) keangkuhan atas jabatan dan kedudukan yang akan sirna tanpa dapat menolaknya, dan c) kesombongan atas kekayaan, idiologi dan pemikiran yang lenyap akibat perbuatan manusia sendiri.
Puisi “Bosnia Adalah” seperti mengingatkan kembali atas keberadaan tragedi kemanusiaan yang dinjak-injak keangkaramurkaan, keserakahan, serta kekejaman dan kekejian akibat perang saudara di bekas Negara Yugoslavia, yakni di Bosnia Herzegovina. Melalui puisi ini pula, A. Musthofa Bisri mengingatkan sekaligus mengkritik akan pentingnya arti kemanusiaan di tengah tragedi peperangan yang banyak menimbulkan ketidakberdayaan, kesengsaraan, dan kematian itu sendiri.
Bosnia adalah wajah kita yang kusut
Bosnia adalah keangkuhan dan ketidakberdayaan kita
Bosnia adalah kita yang terkoyak-koyak
Bosnia adalah kepanikan manusia menghadapi diri sendiri

(Airmata dan darah tertumpah atau tidak
Raung atau erang yang terdengar
Atau justru hanya senyum yang sunyi
Tragedi manusia adalah saat
Kemanusiaannya lepas entah kemana?

Atau barangkali Bosnia
Adalah dunia kita yang mulai
sekarat.
                                                                    (Tadarus: 28)

Bait-bait puisi di atas mengritik sebuah kenyataan tentang tragedi kemanusiaan akibat peperangan di Bosnia. Bahwa perang Bosnia adalah wujud ketidakberdayaan serta pertumpahan darah yang sia-sia akibat nilai-nilai kemausiaan yang dinjak-injak. Bosnia adalah wujud kemanusiaan yang hampir punah. Atau barangkali Bosnia/Adalah dunia kita yang mulai sekarat.
Judul puisi yang mengungkapkan kritik tentang keadilan dan kebenaran hidup antara lain: ”Anonim”, ”Ratsaa”, ”Khalifah Allah, Dimanakah Kau”, ”Selamat Idul Fitri”, dan ”Keadilan”. Dalam puisi ”Anonim” menggambarkanan berbagai pertanyaan tentang kesewenang-wenangan, keserakahan dan berbagai macam ketidakaadilan di negeri ini. Bagaimana nasib para petani, nelayan, dan rakyat yang bersusah payah dalam segala usaha, tetapi yang meraih kenikmatan hanya orang-orang kaya dan orang-orang yang memiliki kekuasaan saja. Rakyat selalu berada di pihak yang selalu dikalahkan.

Siapa yang menanam padi hingga negeri ini
Dari pengimpor beras menjadi
Negeri swasembada pangan yang mandiri
Yang mendahulukan memberi makan anak-anakmu
Sebelum anak-anak sendiri?

Siapa yang menjalankan perahu pukatmu
Dan melawan badai menjala ikan untukmu
Siapa yang merawat tebu-tebumu
Agar persediaan gula terjamin selalu?

Siapa yang menabung receh-recehnya
Di bank hinga kau dan siapa saja yang lebih kaya
Bisa mengkreditnya kapan saja?

Siapa yang mau saja kau tarik-tarik kesan kemari
Mencoblos gambar lima tahun sekali
Hingga kau dan siapa saja yang punya nyali
Mendapat kedudukan terhormat sekali?

Siapa yang menyediakan sawah-sawah murah
Dan tambak-tambak dengan harga rendah
Untuk kau tanami pabrik dan rumah-rumah mewah
Dan tempat-tempat plesiran yang megah?

Siapa yang rela meninggalkan tempat tinggal
Dan segala milik, pekarangan, dan tegal
Bagi proyek-proyek prestisemu yang jajal-jajal?

Siapa yang membayar pajak tak boleh nunggak
Agar bangunan dan periukmu tegak?

Siapa yang bersedia menyerahkan lubang telinga
Untuk kau jejali rongsokan huruf dan kata-kata?

Siapa?
Kenapa kau tak menoleh sekejap saja?
                                                      (Tadarus: 10)

Bait-bait puisi di atas mengritik betapa rakyat kecil dan jelata selalu menjadi sasaran pihak yang berduit dan memiliki jabatan. Rakyat selalu dikalahkan dalam segala hal, baik untuk kepentingan bisnis maupun politik. Rakyat kecil selalu tidak berdaya mengalami ketidakadilan hidup. Orang-orang beruang atau pejabat hanya berorientasi pada harta dan kedudukan sebagai segala-galanya. Oleh karenanya, penghalalan segala cara yang sebenarnya justru menginjak-injak rakyat sering dilakukan.
Dalam puisi “Ratsaa” mengritik terhadap ketidakadilan dan ketidaksempurnaan tatanan hidup. Semua urusan yang menjadi tanggung jawab masing-masing individu dalam keluarga diserahkan pada orang lain. Hingga pada urusan ibadah pada Tuhan dapat dialihkan dan diwakilkan pada siapa pun yang mau melaksanakannya.
Dalam puisi “Khalifah Allah, Dimanakah Kau?” mengritik terhadap beragam karakter manusia. Pemimpin selalu berlaku diktator, angkuh, dan kasar. Kelompok menengah tidak mau mengalah dan selalu ingin maju tapi tak mampu. Sementara rakyat jelata semakin terhimpit dan tersiksa dalam hidup. Dalam keadaan seperti ini, begitu sulit mencari figur pimpinan yang benar-banar adil dan proporsional dalam menjalan tugas dan tanggung jawabnya.
Dalam puisi “Selamat Idul Fitri” mengritik sekaligus menyadarkan terhadap nilai-nilai kebenaran dan keadilan, baik adil dan benar pada diri sendiri, alam (tumbuhan dan hewan), maupun pada sesama. Melalui momen Idul Fitri, seseorang tulus mengucapkan permohonan maaf pada semuanya atas segala kezaliman yang telah diperbuat.
Dalam “Keadilan” mengritik sekaligus menyadarkan tentang makna keadilan yang mungkin saat ini masih dirasa sebagai mimpi. Sesuatu yang masih jauh dari kenyataan. Keadilan masih dalam wujud angan-angan dan impian yang belum dapat diraih.
Hampir tertangkap mimpi.

(Tadarus: 67)

Satu larik puisi di atas menunjukkan kritik sekaligus penyadaran akan arti penting sebuah keadilan. Saat ini, keadilan masih berwujud impian dan angan-angan yang belum tergapai dalam kenyataan hidup. Atau barangkali keadilan memang hanya sebuah impian, jauh dari kenyataan hidup?
Kejujuran dalam pergaulan hidup adalah tema yang juga ingin disampaikan. Dalam antologi puisi  Tadarus yang mengungkapkan tema kujujuran dalam pergaulan hidup antara lain ”Jangan Berpidato”, ”Rampok”, ”Menulis”, dan ”Allah Ampunilah Kami”. Dalam puisi ”Jangan Berpidato” berisi penolakan keras terhadap pidato yang akhir-akhir ini sudah tidak lagi menunjukan nuansa kejujuran nurani, baik segi bentuk maupun isi. Keberadaan pidato sekarang ini hanyalah ocehan murahan untuk menutupi segala kekurangan. Kekurangan yang dianggap baik akan membuat diri sendiri hancur dimakan kebaikan dan kejujuran nurani.
Jangan berpidato!
kata-katamu yang paling bijak
hanyalah bedak murah yang tak sanggup lagi
menutupi koreng-borok-kurap-kudis-panu-mu
Peradaban                                    koreng!
Has asasi                                       borok !
Perdamaian                                  kurap!
Demokrasi                         kudis!
Humanisasi                                   panu!
Berlagaklah adi siapa perduli
                   Bangunanmu tinggal cantik di luar
                   Tinggal menunggu saat-saat ambyar
                                                                           (Tadarus: 8)

Larik-larik puisi di atas menunjukkan betapa tidak berdayanya pidato dengan kata-kata paling bijak sekalipun. Sebab kebijakan yang dibawa hanyalah pelapis luar terhadap segala keburukan dan kebobrokan yang melatarbelakangi keadaan yang sebenarnya. Selama ini yang nampak adalah sebuah bangunan baik di bagian luar, tetapi rapuh kerangka dan penyangganya. Oleh karena itu, tinggal menunggu hancur dan robohnya bangunan itu. Sebuah kejujuran adalah apa yang nampak di luar, juga seperti di dalam.
Dalam “Rampok” mengritik terhadap ketidakjujuran seseorang dalam bersikap. Umumnya jika disuruh memilih antara harta, nyawa, dan nurani, maka sebagian besar jawaban yang diberikan adalah lebih senang harta daripada nyawa atau sebaliknya.
Puisi “Menulis” menggambarkan bahwa dalam kehidupan, setiap oarng punya kemampuan dan keahlian dalam membuat keputusan atau kebijakan yang setara dengan kedudukan atau jabatan yang disandangnya. Semakin tinggi jabatan dan kedudukannya, maka semakin bebas memutuskan segala sesuatu. Semakin tidak berdaya seseorang, maka semakin kecil dan sepele hal yang diputuskan. 
Dalam puisi “Allah Ampunilah Kami” kembali mengingatkan akan ketidakberdayaan terhadap kemahakuasaan-Nya. Dari hari ke hari, semakin terbebani dengan segala ketidakpastian hidup, tidak meyakini keberadaan nurani dan kejujuran dalam bertindak dan bersikap. Padahal nurani dan kejujuran adalah suara Tuhan. Sehingga dari hari ke hari, terus terbelenggu dengan ketidakmampuan untuk memisahkan antara kebenaran dan kemungkaran, perdamaian dan pertikaian, keserakahan dan keberkahan, kemaksiatan dan ketaatan.
Dalam puisi “Matahari”, “Bulan”, “Laut”, dan “Langit” berikut ini, menunjukan sebuah keberadaan kepasrahan total penyair terhadap kebesaran Tuhan terhadap makhluk ciptaan-Nya berupa matahari, bulan, laut, dan langit. Bahwa atas kuasa Tuhan semata keempat makhluk yang melingkupi semesta ini bergerak dan bertindak sesuai dengan sunatullah  (hukum Allah) untuk kemanfaatan semesta. Matahari terbit dan terbenam, bulan dengan pantulan sinarnya yang indah menerangi malam, laut yang amat luas, dan langit yang terhampar bebas tanpa batas ibarat ilmu Tuhan yang tak akan pernah habis. Semuanya itu diakui oleh penyair akan kemahabesaran dan kuasa Tuhan sebagai pencipta semesta.

Jika terbit disini
Aku tak perduli tenggelam dimana
(Tadarus: 69)

Bulan,
Ayo berpandang-pandangan
Siapa yang lebih dahulu berkedip
Menemukan atau kehilangan pesona wajahNya.
(Tadarus: 70)

Laut,
Aku ingin meminum habis airmu
Tapi untuk apa?
(Tadarus: 71)

Langit,
Adakah langit di atas birumu?
(Tadarus: 72)

Puisi lain yang sangat kental nuansa spiritualnya adalah puisi yang berjudul ”Doa”. Puisi ini mengungkapan pengakuan terhadap Tuhan dengan segala sifat kesempurnaan-Nya dan yang maha segala yang terangkum dalam 99 nama baik bagi Tuhan (al asma al husna). Manusia berharap dan memohon pada-Nya, agar diberi perlindungan, pertolongan dan ampunan atas segala yang menjadi kelemahan dan kesalahan. Disampaikan pula agar manusia selalu mencari ridla-Nya. Di beberapa larik lainnya, setelah menyebut Ya Allah ya Hadii (Maha Pemberi Petunjuk), penyair berdoa tunjukkanlah kami jalan yang lurus yang harus kami lalui seperti Engkau perintahkan. Satu bait lainnya, setelah menyebut Ya Allah ya Baqii kemudian memohon kekalkanlah keyakinan kami terhadap pertolonganMu hingga kami tak pernah berhenti tawakkal.

C.  Penutup
1.      Nilai Keagamaan
Nilai keagamaan yang terdapat dalam antologi puisi Tadarus karya A. Mustofa Bisri merupakan pengalaman batin dan kesadaran seseorang (penyair) untuk selalu berhubungan dengan Sang Maha Pencipta dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penyair selalu berharap pertolongan dari-Nya agar terhindar dari perbuatan yang dilarang Tuhan. Penyair berharap akan memiliki kemampuan untuk menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan dengan tuntunan Tuhan dalam segala situasi dan kondisi. Salah satu wujudnya dengan menciptakan hubungan yang harmoni dengan Sang Maha Pencipta dalam pemikiran dan perbuatan. Selanjutnya akan terealisasi dalam keseimbangan ritual ibadah, baik ibadah personal (pribadi) maupun ibadah sosial dalam kehidupan sehari-hari.

2.      Nilai Pendidikan
Nilai pendidikan yang terdapat dalam antologi puisi Tadarus karya A. Mustofa Bisri sebagai berikut.
a.       Antara manusia dengan dirinya sendiri berupa kesadaran bahwa manusia benar-benar berada dalam segala keterbatasan dan kekurangan.
b.      Antara manusia dengan orang lain berupa mulai lunturnya nilai-nilai kemanusian, apalagi jika terkait dengan status sosial.
c.       Antara manusia dengan kehidupan berupa masih banyaknya pelanggaran terhadap aturan yang berlaku.
d.      Antara manusia dengan kematian berupa adanya misteri Tuhan tentang kelahiran, kematian, jodoh, dan rezeki. Artinya tidak ada seorang pun yang tahu kapan akan melahirkan, kapan akan meninggal, siapa jodohnya, dan seberapa banyak rezekinya.
e.       Antara manusia dengan ketuhanan berupa ketakberdayaan manusia yang hanya bisa mengharap dan memohon kepada Tuhan dengan selalu mendekatkan diri pada-Nya.