Monday, May 5, 2014

"Ronggeng Dukuh Paruk": Perspektif Gender



Indrya Mulyaningsih*


PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
       Di daerah Banyumas terdapat suatu kebudayaan yang terkenal, yaitu ronggeng. Wilayah lain, seperti Grobogan, Pati, atau Sragen menyebutnya dengan ledek. Sedangkan di Jepang disebut gesha. Bisa jadi di daerah lain di dunia ini juga ada, namun namanya berbeda.
Ketiga istilah tersebut menyoroti pada wanita. Atau wanita sebagai objek utama. Wanita yang berprofesi sebagai penghibur, tetapi bukan wanita tunasusila. Penghibur di sini hanya menemani selama beberapa waktu, tetapi tidak sampai pada melakukan hubungan suami istri.
Tidak semua wanita dapat menjadi gesha, ledek, maupun ronggeng. Wanita yang memiliki keahlian tertentu sajalah yang dapat menjadi ronggeng. Keahlian utama yang harus dimiliki adalah dalam berkesenian, yakni menyanyi dan menari. Dalam hal ini ronggeng tidak sama dengan penyanyi, meskipun penyanyi juga harus memiliki keahlian dalam hal menyanyi dan menari.
Untuk menjadi ronggeng, diperlukan syarat-syarat khusus. Ada prosesi ritual yang harus dilakukan para ronggeng. Demikian juga dengan ledek dan gesha. Di Jepang, untuk menjadi gesha harus dilatih dan berlatih dahulu. Tidak semua orang bisa menjadi gesha. Hanya yang profesional yang laku dan diminati para penikmat, dalam hal ini laki-laki.
Berdasarkan film dokumenter, istri-istri Jepang bangga bila suaminya ditemani oleh gesha yang terkenal. Suami-suami itu dianggap hebat.
Dengan perkembangan peradaban, ketiga penghibur itu, lama-lama mulai surut. Mulai tidak banyak diminati. Hal ini seiring dengan mulai dilegalkannya lokalisasi, Gang Dolly, misalnya. Seandainya masih ada, sudah tidak ada syarat khusus atau tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk menjadi ronggeng, ledek, atau gesha.
Berdasarkan tinjauan sosial ekonomi, kemunculan ronggeng merupakan tuntutan kebutuhan ekonomi, selain memang sudah merupakan kebudayaan. Artinya, di Banyumas, ronggeng merupakan suatu kebudayaan yang dilakukan turun-temurun. Selain itu, ronggeng juga dapat menambah pendapatan seseorang. Dengan kata lain, ronggeng dapat menjadi sumber penghasilan seseorang.

B.  Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, nampak jelas bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia, khususnya Banyumas telah menganut feminis. Benarkah demikian? Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini akan dianalisis dengan menggunakan telaah feminisme terhadap ‘Ronggeng Dukuh Paruk’ karya Ahmad Tohari.


KAJIAN TEORETIS
A.  Kritik Sastra
       Menurut Zainuddin Fananie (2000: 20) kritik sastra adalah pertimbangan untuk menunjukkan kekuatan atau kebagusan dan juga kekurangan yang terdapat dalam karya sastra. Karenanya hasil kritik sastra biasanya mencakup dua hal, yaitu baik dan buruk. Menurut H.B. Jassin dalam Suroso (2009: 13) kritik sastra adalah salah satu jenis esai, yaitu pertimbangan baik atau buruk sesuatu hasil kesusastraan.
       Menurut William Flint dalam Puji Santoso (2009: 13) kritik sastra adalah keterangan, kebenaran analisis atau judgment suatu karya sastra. Menurut William Henry Hudson dalam Pardi Suratno (2009: 14) kritik sastra adalah penghakiman yang dilakukan oleh seorang yang ahli atau memiliki sesuatu kepandaian khusus untuk membedah karya sastra, memeriksa karya sastra mengenai kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya, dan menyatakan pandangannya tentang hal itu.
       Menurut Frye Northrop dalam Suroso (2009: 14) kritik sastra adalah seluruh pembicaraan karya sastra, meliputi teori sastra, teori simbol-simbol, teori mitos, dan teori genre sastra. Menurut Graham Hough dalam Rachmat Djoko Pradopo (1995: 92) kritik sastra bukan hanya terbatas pada penyuntingan dan penetapan teks, interpretasi, dan pertimbangan nilai, melainkan kritik sastra meliputi masalah yang lebih luas tentang apakah kesusastraan, untuk apa, dan bagaimana hubungannya dengan masalah-masalah kemanusiaan yang lain.
       Begitu banyak pengertian kritik yang disampaikan para ahli sastra. Namun demikian, dengan bahasa sederhana dapatlah dikatakan bahwa kritik sastra berarti menyampaikan suatu penilaian terhadap karya sastra, apa pun bentuknya.