Indrya Mulyaningsih*
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Di daerah Banyumas terdapat suatu
kebudayaan yang terkenal, yaitu ronggeng.
Wilayah lain, seperti Grobogan, Pati, atau Sragen menyebutnya dengan ledek. Sedangkan di Jepang disebut gesha.
Bisa jadi di daerah lain di dunia ini juga ada, namun namanya berbeda.
Ketiga istilah tersebut menyoroti pada
wanita. Atau wanita sebagai objek utama. Wanita yang berprofesi sebagai
penghibur, tetapi bukan wanita tunasusila. Penghibur di sini hanya menemani
selama beberapa waktu, tetapi tidak sampai pada melakukan hubungan suami istri.
Tidak semua wanita dapat menjadi gesha, ledek, maupun ronggeng. Wanita yang
memiliki keahlian tertentu sajalah yang dapat menjadi ronggeng. Keahlian utama
yang harus dimiliki adalah dalam berkesenian, yakni menyanyi dan menari. Dalam
hal ini ronggeng tidak sama dengan penyanyi, meskipun penyanyi juga harus
memiliki keahlian dalam hal menyanyi dan menari.
Untuk menjadi ronggeng, diperlukan syarat-syarat
khusus. Ada prosesi ritual yang harus dilakukan para ronggeng. Demikian juga
dengan ledek dan gesha. Di Jepang,
untuk menjadi gesha harus dilatih dan berlatih dahulu. Tidak semua orang bisa
menjadi gesha. Hanya yang profesional yang laku dan diminati para penikmat,
dalam hal ini laki-laki.
Berdasarkan film dokumenter, istri-istri
Jepang bangga bila suaminya ditemani oleh gesha yang terkenal. Suami-suami itu
dianggap hebat.
Dengan perkembangan peradaban, ketiga
penghibur itu, lama-lama mulai surut. Mulai tidak banyak diminati. Hal ini
seiring dengan mulai dilegalkannya lokalisasi, Gang Dolly, misalnya. Seandainya
masih ada, sudah tidak ada syarat khusus atau tahapan-tahapan yang harus
dilalui untuk menjadi ronggeng, ledek, atau
gesha.
Berdasarkan tinjauan sosial ekonomi,
kemunculan ronggeng merupakan tuntutan kebutuhan ekonomi, selain memang sudah
merupakan kebudayaan. Artinya, di Banyumas, ronggeng merupakan suatu kebudayaan
yang dilakukan turun-temurun. Selain itu, ronggeng juga dapat menambah pendapatan
seseorang. Dengan
kata lain, ronggeng dapat menjadi sumber penghasilan seseorang.
B.
Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, nampak jelas
bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia, khususnya Banyumas telah menganut
feminis. Benarkah demikian? Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini akan
dianalisis dengan menggunakan telaah feminisme terhadap ‘Ronggeng Dukuh Paruk’
karya Ahmad Tohari.
KAJIAN
TEORETIS
A.
Kritik
Sastra
Menurut Zainuddin Fananie (2000: 20)
kritik sastra adalah pertimbangan untuk menunjukkan kekuatan atau kebagusan dan
juga kekurangan yang terdapat dalam karya sastra. Karenanya hasil kritik sastra
biasanya mencakup dua hal, yaitu baik dan buruk. Menurut H.B. Jassin dalam
Suroso (2009: 13) kritik sastra adalah salah satu jenis esai, yaitu
pertimbangan baik atau buruk sesuatu hasil kesusastraan.
Menurut William Flint dalam Puji Santoso
(2009: 13) kritik sastra adalah keterangan, kebenaran analisis atau judgment suatu karya sastra. Menurut
William Henry Hudson dalam Pardi Suratno (2009: 14) kritik sastra adalah
penghakiman yang dilakukan oleh seorang yang ahli atau memiliki sesuatu
kepandaian khusus untuk membedah karya sastra, memeriksa karya sastra mengenai
kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya, dan menyatakan pandangannya tentang hal
itu.
Menurut Frye Northrop dalam Suroso (2009:
14) kritik sastra adalah seluruh pembicaraan karya sastra, meliputi teori
sastra, teori simbol-simbol, teori mitos, dan teori genre sastra. Menurut
Graham Hough dalam Rachmat Djoko Pradopo (1995: 92) kritik sastra bukan hanya
terbatas pada penyuntingan dan penetapan teks, interpretasi, dan pertimbangan
nilai, melainkan kritik sastra meliputi masalah yang lebih luas tentang apakah
kesusastraan, untuk apa, dan bagaimana hubungannya dengan masalah-masalah
kemanusiaan yang lain.
Begitu banyak pengertian kritik yang
disampaikan para ahli sastra. Namun demikian, dengan bahasa sederhana dapatlah
dikatakan bahwa kritik sastra berarti menyampaikan suatu penilaian terhadap
karya sastra, apa pun bentuknya.
B.
Pendekatan
Kritik Sastra
Terdapat berbagai macam pendekatan dalam
kritik sastra. Pendekatan tersebut dapat dibedakan berdasarkan bentuknya,
metode (penerapan), tipe-tipe kritik sastra, penulis kritik sastra, dan
pendapat para pakar (Suroso, 2009: 19).
Berdasarkan
metode penerapannya, kritik sastra dibedakan atas kritik judisial dan kritik
induktif.
1. Kritik
judisial berusaha menganalisis dan menerangkan efek-efek karya sastra
berdasarkan pokoknya, organisasinya, tekniknya, gayanya, dan mendasarkan pada
pertimbangan individual kritikus atas dasar standar-standar umum tentang kehebatan
dan keluarbiasaan sastra.
2. Kritik
induktif berusaha menguraikan bagian-bagian atau unsur-unsur karya sastra
berdasarkan fenomena-fenomena yang ada secara objektif.
Berdasarkan
pendekatannya, kritik sastra dibedakan atas kritik ilmiah, kritik estetis, dan
kritik sosial.
1. Kritik
ilmiah dilakukan dengan mendasarkan pada kelimuan. Biasanya dengan pendekatan
linguistik, misalnya stilistika, struktural, dan semiotik.
2. Kritik
estetis dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah keindahan atau pendekatan estetika.
Kritik ini berusaha mengungkapkan
nilai-nilai keindahan sastra.
3. Kritik
sosial dilakukan dengan menggunakan pendekatan sosial yang melingkupi karya
sastra tersebut.
Berdasarkan orientasi teori kritiknya,
kritik sastra dapat dibedakan atas kritik mimetik, kritik pragmatik, kritik
ekspresif, dan kritik objektif (Abrams dalam Suroso, 2009: 22).
1. Kritik
mimetik memandang bahwa karya sastra itu sebagai tiruan dari aspek-aspek alam,
pencerminan atau penggambaran tentang dunia dan kehidupannya.
2. Kritik
pragmatik bertujuan untuk mencapai efek-efek tertentu kepada pembaca. Efek-efek
itu untuk mendapatkan kesenangan estetik, mendapatkan pendidikan, dan
mendapatkan pembelajaran politik. Kritik ini mencoba menerangkan berbagai
manfaat yang dimiliki karya sastra untuk pembaca. Adapun manfaat itu antara
lain, manfaat pendidikan, manfaat kepekaan batin atau sosial, manfaat menambah
wawasan, dan manfaat pengembangan kejiwaan atau kepribadian bagi pembaca.
3. Kritik
ekspresif berorientasi menghubungkan karya sastra dengan penulis atau si
pengarangnya. Indikator keberhasilan karya sastra terletak pada sarana curahan,
luapan emosi, ucapan, proyeksi atau ekspresi pikiran dan perasaan pengarang.
4. Kritik
objektif menganggap karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri, bebas dari
pengaruh sekitarnya, bebas dari pengarangnya, pembaca, atau dunia sekitarnya.
Karya sastra adalah sebuah dunia yang dapat melepaskan diri dari siapa
pengarangnya dan lingkungan sosial budayanya.
Berdasarkan
alirannya, kritik sastra dapat dibedakan menjadi kritik baru, kritik Merlyn,
Nouvelle Critique, dan posttrukturalisme.
1. Kritik
baru diperkenalkan pada tahun 1930-an dan menjadi berpengaruh kuat di Eropa
Barat dan Amerika Serikat hingga tahun 1950-an. Kritik ini melawan pendekatan
sastra historik dan biografik serta impresionistik. Tugas kritik ini adalah
“memperlihatkan dan memelihara pengetahuan yang khas, unik dan lengkap seperti
yang ditawarkan pada sastra agung (Suroso,2009: 30).
2. Merlyn
merupakan nama majalah yang terbit di negeri Belanda, 1962-1966 yang sebenarnya
merupakan nama seorang resi dari legenda Raja Arthur. Pendekatan yang dilakukan
pada kritik ini yaitu dengan memusatkan perhatian kepada karya itu sendiri.
Menurut penganut kritik ini, sebuah penilaian dapat didukung dan diperkuat
dengan mengajukan analisis serta penafsiran sebagai bukti.
3. Nouvelle Critique
berkembang pada tahun 1960-an. Kritik ini sama dengan strukturalistik. Penganut
nouvella critique menyadari bahwa
sebuah teks tidak mungkin dapat ditafsirkan secara tuntas dalam arti yang
sesungguhnya. Ketaksaan bahasa menyebabkan dapat diinterpretasikan kembali teks
itu, bahkan dapat disadur atau diceritakan kembali menjadi teks baru.
4. Poststrukturalisme
dimulai sejak tahun 1960-an. Penganutnya berpendapat bahwa teks tidaklah
mencerminkan kenyataan, tetapi teks membangun kenyataan. Bahasa tidak
menghadirkan kenyataan, tetapi bentuk-bentuk bahasa menghadirkan latar,
peristiwa dan perbuatan tokoh hanya ada dalam angan-angan kita. Selain itu,
teks merupakan suatu tenunan yang tersusun dari berbagai utas benang.
Berdasarkan kecenderungannya, kritik
sastra dapat dibedakan menjadi kritik Marxis, kritik psikoanalisis, kritik
linguistik dan stilistik, kritik formalisme, kritik mitepoik/arketipe, kritik
eksistensialisme, dan kritik feminisme.
1. Kritik
Marxis dicetuskan Karl Marx dari Jerman. Kritik ini membicarakan sastra dalam
hubungannya dengan faktor-faktor ekonomis dan peranan penting yang dimainkan
oleh kelas sosial. Sedangkan di Indonesia, kritik ini berkembang menjadi aliran
realisme-sosialis seperti yang diusung Lekra.
2. Kritik
Psikoanalisis diluncurkan pertama kali oleh Sigmund Freud dari Austria. Kritik
ini berusaha mengungkapkan tiga unsur kejiwaan manusia, yaitu id, ego, dan superego. Menurut Rene Wellek dalam Suroso (2009:42) untuk
melakukan kritik ini ada beberapa cara yang harus dilalu, yakni pembahasan
tentang proses kreatif penciptaan karya sastra, pembahasan psikologi terhadap
pengarangnya, baik sebagai tipe maupun sebagai pribadi, pembicaraan tentang
ajaran dan kaidah-kaidah psikologi yang dapat ditimba dari karya sastra, dan
pengaruh karya sastra terhadap pembacanya.
3. Kritik
linguistik adalah kritik sastra yang berusaha menelaah karya sastra berdasarkan
prinsip-prinsip ilmu kebahasaan dan ilmu tentang penggunaan bahasa dan gaya
bahasanya. Menurut Todorov dalam Suroso (2009: 43) aspek-aspek yang diamati
meliputi aspek sintaksis, aspek semantik, dan aspek verbal.
4. Kritik
formalisme mendasarkan kritik pada dua hal, defamiliarisasi
dan deotomatisasi. Defamiliarisasi
adalah konteks sifat sastra yang aneh atau asing, bentuk penyimpangan dari
bahan yang semula bersifat netral. Sedangkan deotomatisasi berarti pembaca
tidak secara otomatis atau langsung menangkap makna teks tanpa melalui
penafsiran.
5. Kritik
mitepoik mendasarkan telaah pada mitos-mitos. Menurut Northrop Frye dala Suroso
(2009:46) menyatakan bahwa (a) sepanjang sejarah peradaban manusia, karya
sastra mengikuti mite, yakni usaha sederhana dan awal mengenai citra manusia
purba tentang hubungannya dengan ‘duni’ di luar dirinya, (b) mitologi sudah
bercampur ke dalam karya sastra, sehingga mite itu sendiri inheren di dalam
proses penciptaan karya sastra, dan (c) kritikus arketipe sangat beruntung
karena dapat mengambil manfaat dari segala bidang yang sesuai dengan
penghayatannya terhadap karya sastra.
6. Kritik
feminisme merupakan sebuah reinterpretasi global semua pendekatan dari sebuah
pendirian yang revolusioner yang berbeda dengan teori-teori sastra umumnya. Kritik
ini terlahir karena ketidakadilan antara laki-laki dan wanita. Selama ini ada
anggapan bahwa wanita dianggap lebih rendah dari laki-laki. Sejumlah besar
bentuk sastra selama berabad-abad tidak menyinggung satu pun penulis wanita.
Oleh karena itu, salah satu kegiatan awal para pengeritik sastra feminis adalah
menggali, mengkaji, serta menilai karya penulis-penulis wanita dari masa-masa
silam.
Kritik feminis dalam
ilmu sastra adalah studi sastra yang mengarahkan telaahnya kepada wanita.
Menurut Raman Selden, ada lima fokus pembicaraan dalam kritik feminis.
a. Biologi,
menempatkan wanita hanya sebagai ‘kandungan’, lebih inverior, lembut, lemah,
dan rendah.
b. Pengalaman,
seringkali wanita dipandang hanya memiliki pengalaman terbatas, masalah
menstruasi, melahirkan, menyusui, memelihara anak, dan ibu rumah tangga.
c. Wacana,
biasanya wanita lebih rendah penguasaan bahasa, sedangkan laki-laki memiliki
‘tuntutan kuat’, akibatnya menimbulkan sterotif negatif pada wanita sebagai
teman belakang.
d. Ketaksadaran,
seksualitas wanita bersifat revolusioner, subversif, beragam, dan terbuka, yang
tidak disadari oleh kaum laki-laki.
e. Kondisi
sosial ekonomi, pengarang feminis sering menghadirkan tuntutan sosial ekonomi
yang berbeda dengan kaum laki-laki.
Sementara
Michele Barrett dalam Suroso (2009: 54) menyarankan agar kritik feminis mampu
menganalisis sastra melalui tiga aspek.
a. Kritikus
hendaknya mampu membedakan material sastra yang digarap penulis laki-laki dan
wanita, sebab hal itu mempengaruhi bentuk dan isi yang mereka tulis.
b. Ideologi
gender sering mempengaruhi hasil karya tulisannya, tentu ada perbedaan yang prinsip
antara penulis laki-laki dengan wanita dalam meyakini kehidupan.
c. Kritikus
feminis harus memperhitungkan kodrat fiksional teks sastra dan tidak
memperturutkan ‘moral yang merajalela’ dengan mengutuk semua penulis laki-laki
yang mengeksploitasi masalah seks.
C.
Kritik
Feminis dalam Sastra
Studi kesusastraan adalah upaya manusia
untuk dapat memahami, mengerti, dan memperjelas ihwal kesusastraan
(Suroso,2009: 1). Cara yang dapat dilakukan seseorang untuk melaksanakan studi
sastra melalui jalur formal dan nonformal. Jalur formal berarti melalui
sekolah-sekolah, sedangkan nonformal melalui diskusi, seminar, atau sarasehan.
Salah satu agenda kemanusiaan yang
mendesak untuk segera digarap adalah mewujudkan kesetaraan dalam sistem
hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Indonesia telah diawali oleh
R.A. Kartini melalui emansipasi wanitanya. Feminisme memperjuangkan dua hal
yang selama ini tidak dimiliki kaum perempuan pada umumnya, yaitu persamaan
derajat dengan laki-laki dan otonomi untuk menentukan apa yang baik bagi
dirinya.
Wanita yang konon indah malah
dieksploitasi, dimanfaatkan kecantikannya untuk memuaskan mata laki-laki. Hal
ini dapat dilihat pada iklan-iklan di TV. Fenomena komersialisasi seksualitas
wanita dapat juga terjadi di dalam sastra. Misalnya seorang tokoh laki-laki
mencintai tokoh wanita tertentu karena ia cantik, menarik, atau bahkan
menggairahkan tanpa mengindahkan kualitas-kualitas yang lain.
Dengan ‘membaca sebagai wanita’, kritik
sastra feminis dapat menguji konsistensi pembelaan wanita dalam sastra
Indonesia sekaligus dapat membongkar prasangka gemder dan subordinasi wanita
dalam sastra Barat.
Yoder dalam Sugihastuti (2005: 5)
menyebut bahwa kritik sastra feminis bukan berarti pengkritik wanita, atau
kritik tentang wanita, atau kritik tentang pengarang wanita. Arti sederhana
kritik ini adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus,
kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya,
sastra, dan kehidupan. Jenis kelamin inilah yang kemudian menyebabkan
terjadinya perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor
luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang.
Membaca sebagai wanita dapat dipahami
dari kerangka kerja kritikus bahwa ia tidak menganggap otoritas kultural sebagai
kenyataan objektif, melainkan hanya sebagai batas budaya politis. Pun kritik
sastra feminis dapat diartikan membaca sebagai wanita berpandangan bahwa kritik
ini tidak mencari metodologi atau model konseptual tunggal, tetapi bahkan
sebaliknya menjadi pluralis dalam teori dan praktiknya. Cara ini berpijak dari
satu sudut pandang yang mapan dan mempertahankannya secara konsisten kesadaran
bahwa ada perbedaan jenis kelamin yang mempengaruhi dunia sastra.
D.
Dasar
Pemikiran dalam Penelitian Sastra Berperspektif Feminis
Menurut Sugihastuti (2005: 15) terdapat
beberapa hal yang melatarbelakangi perlunya mengkaji karya sastra dengan
pendekatan feminis.
1. Kedudukan
dan peran para tokoh wanita dalam karya sastra Indonesia menunjukkan masih
didominasi oleh laki-laki. Maka, upaya pemahamannya merupakan keharusan untuk
mengetahui ketimpangan gender dalam karya sastra seperti terlihat dalam
realitas sehari-hari dalam masyarakat.
2. Dari
persepsi pembaca karya sastra Indonesia, secara sepintas terlihat bahwa para tokoh
wanita dalam karya sastra Indonesia tertinggal dari laki-laki, misalnya dalam
latar sosial pendidikan, pekerjaan, peran dalam masyarakat, dan derajat mereka
sebagai bagian integral dan susunan masyarakat.
3. Masih
adanya resepsi pembaca karya sastra Indonesia yang menunjukkan bahwa hubungan
antara laki-laki dan wanita hanyalah merupakan hubungan yang didasarkan pada
pertimbangan biologis dan sosial-ekonomi semata-mata. Pandangan ini tidak
sejalan dengan pandangan feminis yang menyatakan bahwa wanita mempunyai hak,
kewajiban, dan kesempatan yang dengan laki-laki.
4. Banyak
pembaca yang menganggap bahwa peran dan kedudukan wanita lebih rendah daripada
laki-laki. Oleh karena itu, pandangan seperti itu perlu diluruskan melalui
penelitian yang bersifat ilmiah.
Dalam menggunakan kritik feminis perlu
diperhatikan konsep-konsep mendasar dalam menganalisis.
1. Perbedaan
gender adalah perbedaan dari atribut-atribut sosial, karakteristik, perilaku,
penampilan, cara berpakaian, harapan, peranan, dan sebagainya yang dirumuskan
untuk perorangan menurut ketentuan kelahiran.
2. Kesenjangan
gender ialah perbedaan dalam hak berpolitik, memberikan suara, dan bersikap
antara laki-laki dan wanita.
3.
Genderzation
adalah pengacauan konsep pada upaya
menempatkan jenis kelamin pada pusat perhatian identitas diri dan pandangan
dari dan terhadap orang lain.
4.
Identitas gender ialah
gambaran tentang jenis kelamin yang seharusnya dimiliki dan ditampilkan oleh
tokoh yang bersangkutan.
5.
Gender
role ialah peranan wanita atau laki-laki
yang diaplikasikan secara nyata.
E.
Feminisme
Sebuah Tinjauan Ekonomis
Dalam kehidupan sehari-hari tanpa
disadari telah ada pembagian kerja secara seksual. Ada tugas-tugas yang
diberikan kepada wanita, ada pula tugas yang hanya untuk laki-laki. Meskipun
ada juga beberapa pekerjaan yang dapat dikerjakan wanita atau laki-laki. Sejalan
dengan perubahan ekonomi yang dialami masyarakat, sifat pekerjaan berubah. Hal
ini merupakan fakta adanya pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Kaum
feminis menyatakan bahwa pemahaman akan pembagian kerja secara seksual penting
untuk memahami dan mengubah posisi wanita dalam masyarakat.
Sebelum membahas lebih jauh tentang
pembagian kerja secara seksual, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama,
pembedaan gender dan sex. Gender
merupakan kategori jenis kelamin yang dibentuk oleh masyarakat, sedangkan sex merupakan jenis kelamin biologis.
Adanya pembagian kerja secara seksual ini
tentu saja tidak hanya terbatas padabidang kerja upahan. Dalam kerja-kerja
tanpa upahan pun tetap merugikan wanita. Dalam kegiatan-kegiatan yang berkisar
pada kerja-kerja rumah tangga, baik dalam pertanian maupun nonpertanian, wanita
bekerja sebagai buruh dengan bagian keuntungan yang sangat kecil.
Di daerah pertanian yang miskin,
berkembangnya tanaman komoditas dan metode-metode baru penanaman, serta
berpindahnya tempat mengolah makanan ke luar rumah, telah membawa perubahan
pada pembagian kerja secara seksual. Hal ini menciptakan kegiatan yang secara
finansial menguntungkan laki-laki dan menyisihkan wanita ke dalam kegiatan-kegiatan
yang tidak produktif.
Dalam kehidupan sehari-hari, pembagian
kerja berdasarkan gender sangat jelas terlihat dalam pekerjaan rumah tangga.
Pekerjaan ini sangat membatasi peran wanita dalam ikut menghasilkan uang. Pembagian
kerja secara seksual di dalam rumah memaksa wanita untuk bekerja lebih lama
daripada laki-laki.
Wanita sangat terpinggirkan dengan
pendapatan yang minimal sementara pekerjaan yang dilakukan dua kali lipat.
F.
Bias Gender
Gender adalah konstruksi sosial yang membedakan peran dan kedudukan wanita
dan pria (Astuti, 1999: 3). Istilah gender berbeda dengan jenis kelamin.
Menurut Fakih (2001: 7), jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua
jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis
kelamin tertentu (misalnya ada ciri-ciri biologis tertentu), sedangkan konsep
gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun wanita yang dikontruksikan secara sosial
maupun kultural. Menurut Budiwati (2003: 17), bias gender adalah ketidakadilan
atau “ketimpangan” perlakuan terhadap salah satu jenis kelamin. Anggapan yang
lebih pada salah satu jenis kelamin tertentu dan merugikan pada jenis kelamin
lainnya, adalah contoh perlakuan yang bias gender.
Setidaknya
ada tiga pandangan terhadap hubungan antara bahasa dan gender. Dirangkum dari
pendapat Graddol (2003: 12–13) adalah, pertama, ada pandangan bahwa bahasa
hanyalah mencerminkan pembagian sosial dan ketidaksetaraan. Kedua,
posisi pembagian dan ketidaksetaraan itu sebenarnya tercipta melalui
perilaku linguistik yang seksis; dan ketiga, pandangan yang mengemukakan bahwa
kedua proses tersebut berjalan dan saling berpengaruh.
Hipotesis yang selama ini dianut secara universal menyatakan bahwa “wanita
lebih sopan daripada lelaki berbahasa” (Sachiko via Ohoiwutun, 2002: 89). Dalam
bahasa Inggris, karya Labov (1972), Trudgill (1972), dan sebagainya membuktikan
secara empiris bahwa wanita lebih banyak menggunakan ragam bahasa sopan
(Ohoiwutun, 2002: 89). Lebih jauh ia berpendapat bahwa kata, bunyi, dan
tata kalimat pada “bahasa” kaum wanita memberi sumbangan cukup besar dalam
membangun gaya berkomunikasi yang lebih sopan. Wanita menggunakan sebuah gaya bertutur yang
ditandai oleh ciri-ciri yang menunjukkan keraguan, kesementaraan, dan kesopanan
(Lakoff via Graddol, 2003: 145).
PEMBAHASAN
‘Ronggeng
Dukuh Paruk’ merupakan salah satu dari trilogi karya Ahmad Tohari. Tokoh utama
dalam novel ini adalah Srintil dan Rasus. Latar cerita ini terjadi di dukuk,
Paruk. Sebuah desa di daerah Banyumas. Cerita ini menggambarkan kesengsaraan
masyarakat di sana. Betapa kering, tandus, dan gersang.
Ketika
musim kemarau tiba, tak ada tumbuhan yang tumbuh di persawahan selain ketele
pohon. Itu pun hanya milik orang yang kaya. Srintil adalah seorang anak
perempuan yang tidak lagi memiliki orang tua. Orang tuanya meninggal karena
keracunan tempe bongkrek. Srintil
tinggal bersama neneknya.
Kampung
tempat Srintil tinggal terdapat makam seorang bromocorah atau penjahat yang sangat disegani. Di desa ini juga pernah
tinggal seorang ronggeng, beberapa tahun yang lalu. Penduduk dukuh Paruk
percaya, bahwa inang ronggeng itu
masih ada.
Srintil
yang sehari-hari tinggal bersama nenek dan kakeknya, hidup dalam keadaan yang
serba kurang. Namun, hal itu sudah biasa dalam kehidupan masyarakat Paruk.
Hingga suatu ketika, Srintil bisa mendapat penghasilan yang melimpah dari
menjadi ronggeng. Srintil dipercaya dimasuki indang ronggeng yang terdahulu. Meski tak seorang pun yang
mengajari Srintil menari, ternyata ia sudah bisa menari seperti ronggeng yang
pernah ada.
Eksploitasi
secara ekonomi dilihat dari kajian feminis nampak jelas pada bagian ini. Betapa
kemudian nenek dan kakek Srintil memasang tarif tinggi ketika acara bukak klambu. Dalam bagian ini sangat
jelas kemudian nenek Srintil mengeksploitasinya demi mendapatkan uang lebih
banyak.
Hal
ini diperkuat dengan ada beberapa orang yang akan mengikuti acara tersebut,
maka oleh nenek dan kakek Srintil, harganya semakin dinaikkan. Kedua peserta
yang akan mengikuti justru dipermainkan oleh nenek. Meski hari sudah larut,
tetapi acara bukak klambu tidak
terlakasana. Padahal uang sudah diterima nenek. Akhirnya, gagallah kedua
peserta tersebut.
Mulai
saat itu Srintil menjadi komoditas untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya.
Srintil yang sebenarnya hanya seorang anak perempuan kecil, tetapi dipaksa
untuk menjadi gadis. Gadis yang kemudian diharuskan melayani para laki-laki.
Dalam hal ini mengapa kakek tidak bekerja untuk kemudian membiayai Srintil?
Seandainya
pun Srintil memiliki kelebihan dalam oleh tubuh atau menari, seharusnya tidak
kemudian dimanfaatkan untuk mencari uang. Tidak kemudian keahliannya itu
digunakan untuk membiayai kehidupan orang lain. Dalam hal ini kakek dan
neneknya.
Setiap
individu pasti mempunyai kehidupan sendiri-sendiri. Demikian juga dengan
Srintil. Dia mencintai Rasus dan ingin hidup bersama. Hal ini tidak bisa
dilakukan karena aturan yang menyatakan bahwa ronggeng tidak boleh menikah. Hal
ini semakin membuktikan bahwa seorang wanita tidak memiliki kebebasan untuk
memilih.
Srintil
tidak bebas untuk hidup berkeluarga, tidak bebas untuk menikah, tidak bebas
untuk menjalani kehidupan seperti wanita pada umumnya. Selain itu, Srintil juga
harus melakukan pekerjaan yang sebenarnya sangat bertentangan dengan hati
nuraninya. Tak seorang wanita pun yang ingin bekerja seperti Srintil.
Namun
bila menilik pada budaya yang terdapat pada cerita tersebut, ronggeng merupakan
pekerjaan yang menjanjikan. Pekerjaan yang menghasilkan banyak uang. Pekerjaan
yang tidak membutuhkan kerja keras. Pekerjaan glamour. Meskipun semua orang tidak ingin pekerjaan itu, namun
kebudayaan mengharuskan Srintil menjadi ronggeng.
Srintil
digambarkan sebagai sosok yang lugu, yang belum atau tidak memikirkan dunia.
Hal ini karena ia masih anak-anak, maka dunia yang ia inginkan adalah dunia
anak. Dunia anak yang lekat dengan bermain dan bermain. Apalagi bekerja, tidak
sama sekali. Apabila sekadar membantu, itu sudah merupakan kewajiban.
Dalam
cerita ini Srintil tidak lagi membantu, tetapi sudah menjadi tokoh utama. Di
dukuh Paruk, ronggeng memang dianggap hebat. Dianggap memiliki kelebihan dari
wanita yang lain. Anggapan tersebut merupakan budaya dari animesme dan
dinamisme. Hal seperti ini hanya terjadi pada orang-orang yang tidak percaya
adanya Tuhan.
Namun,
budaya ronggeng tidak berhenti sampai di daerah itu karena di daerah lain juga
terdapat budaya seperti itu, hanya namanya yang berbeda. Seiring perkembangannya, lahirlah pekerja seks
komersial (PSK) atau wanita tunasusila (WTS).
Simpulan
Ahmad
Tohari memang tidak sengaja ingin merendahkan wanita, tetapi memang budaya
ronggenglah yang merendahkan wanita. Terdapat dua hal ketika seseorang menjadi
ronggeng. Pertama, Srintil sebagai seorang wanita tidak memiliki kebebasan menentukan
kehidupannya sendiri. Kedua, Srintil sebagai seorang ronggeng telah merendahkan
wanita.
trmakasih... sngat bermanfaat untuk kbutuhan tugas saya :)
ReplyDelete