Monday, May 5, 2014

"Ronggeng Dukuh Paruk": Perspektif Gender



Indrya Mulyaningsih*


PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
       Di daerah Banyumas terdapat suatu kebudayaan yang terkenal, yaitu ronggeng. Wilayah lain, seperti Grobogan, Pati, atau Sragen menyebutnya dengan ledek. Sedangkan di Jepang disebut gesha. Bisa jadi di daerah lain di dunia ini juga ada, namun namanya berbeda.
Ketiga istilah tersebut menyoroti pada wanita. Atau wanita sebagai objek utama. Wanita yang berprofesi sebagai penghibur, tetapi bukan wanita tunasusila. Penghibur di sini hanya menemani selama beberapa waktu, tetapi tidak sampai pada melakukan hubungan suami istri.
Tidak semua wanita dapat menjadi gesha, ledek, maupun ronggeng. Wanita yang memiliki keahlian tertentu sajalah yang dapat menjadi ronggeng. Keahlian utama yang harus dimiliki adalah dalam berkesenian, yakni menyanyi dan menari. Dalam hal ini ronggeng tidak sama dengan penyanyi, meskipun penyanyi juga harus memiliki keahlian dalam hal menyanyi dan menari.
Untuk menjadi ronggeng, diperlukan syarat-syarat khusus. Ada prosesi ritual yang harus dilakukan para ronggeng. Demikian juga dengan ledek dan gesha. Di Jepang, untuk menjadi gesha harus dilatih dan berlatih dahulu. Tidak semua orang bisa menjadi gesha. Hanya yang profesional yang laku dan diminati para penikmat, dalam hal ini laki-laki.
Berdasarkan film dokumenter, istri-istri Jepang bangga bila suaminya ditemani oleh gesha yang terkenal. Suami-suami itu dianggap hebat.
Dengan perkembangan peradaban, ketiga penghibur itu, lama-lama mulai surut. Mulai tidak banyak diminati. Hal ini seiring dengan mulai dilegalkannya lokalisasi, Gang Dolly, misalnya. Seandainya masih ada, sudah tidak ada syarat khusus atau tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk menjadi ronggeng, ledek, atau gesha.
Berdasarkan tinjauan sosial ekonomi, kemunculan ronggeng merupakan tuntutan kebutuhan ekonomi, selain memang sudah merupakan kebudayaan. Artinya, di Banyumas, ronggeng merupakan suatu kebudayaan yang dilakukan turun-temurun. Selain itu, ronggeng juga dapat menambah pendapatan seseorang. Dengan kata lain, ronggeng dapat menjadi sumber penghasilan seseorang.

B.  Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, nampak jelas bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia, khususnya Banyumas telah menganut feminis. Benarkah demikian? Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini akan dianalisis dengan menggunakan telaah feminisme terhadap ‘Ronggeng Dukuh Paruk’ karya Ahmad Tohari.


KAJIAN TEORETIS
A.  Kritik Sastra
       Menurut Zainuddin Fananie (2000: 20) kritik sastra adalah pertimbangan untuk menunjukkan kekuatan atau kebagusan dan juga kekurangan yang terdapat dalam karya sastra. Karenanya hasil kritik sastra biasanya mencakup dua hal, yaitu baik dan buruk. Menurut H.B. Jassin dalam Suroso (2009: 13) kritik sastra adalah salah satu jenis esai, yaitu pertimbangan baik atau buruk sesuatu hasil kesusastraan.
       Menurut William Flint dalam Puji Santoso (2009: 13) kritik sastra adalah keterangan, kebenaran analisis atau judgment suatu karya sastra. Menurut William Henry Hudson dalam Pardi Suratno (2009: 14) kritik sastra adalah penghakiman yang dilakukan oleh seorang yang ahli atau memiliki sesuatu kepandaian khusus untuk membedah karya sastra, memeriksa karya sastra mengenai kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya, dan menyatakan pandangannya tentang hal itu.
       Menurut Frye Northrop dalam Suroso (2009: 14) kritik sastra adalah seluruh pembicaraan karya sastra, meliputi teori sastra, teori simbol-simbol, teori mitos, dan teori genre sastra. Menurut Graham Hough dalam Rachmat Djoko Pradopo (1995: 92) kritik sastra bukan hanya terbatas pada penyuntingan dan penetapan teks, interpretasi, dan pertimbangan nilai, melainkan kritik sastra meliputi masalah yang lebih luas tentang apakah kesusastraan, untuk apa, dan bagaimana hubungannya dengan masalah-masalah kemanusiaan yang lain.
       Begitu banyak pengertian kritik yang disampaikan para ahli sastra. Namun demikian, dengan bahasa sederhana dapatlah dikatakan bahwa kritik sastra berarti menyampaikan suatu penilaian terhadap karya sastra, apa pun bentuknya.
      
B.  Pendekatan Kritik Sastra
Terdapat berbagai macam pendekatan dalam kritik sastra. Pendekatan tersebut dapat dibedakan berdasarkan bentuknya, metode (penerapan), tipe-tipe kritik sastra, penulis kritik sastra, dan pendapat para pakar (Suroso, 2009: 19).
Berdasarkan metode penerapannya, kritik sastra dibedakan atas kritik judisial dan kritik induktif.
1.      Kritik judisial berusaha menganalisis dan menerangkan efek-efek karya sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, tekniknya, gayanya, dan mendasarkan pada pertimbangan individual kritikus atas dasar standar-standar umum tentang kehebatan dan keluarbiasaan sastra.
2.      Kritik induktif berusaha menguraikan bagian-bagian atau unsur-unsur karya sastra berdasarkan fenomena-fenomena yang ada secara objektif.

Berdasarkan pendekatannya, kritik sastra dibedakan atas kritik ilmiah, kritik estetis, dan kritik sosial.
1.      Kritik ilmiah dilakukan dengan mendasarkan pada kelimuan. Biasanya dengan pendekatan linguistik, misalnya stilistika, struktural, dan semiotik.
2.      Kritik estetis dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah keindahan atau pendekatan estetika. Kritik ini berusaha  mengungkapkan nilai-nilai keindahan sastra.
3.      Kritik sosial dilakukan dengan menggunakan pendekatan sosial yang melingkupi karya sastra tersebut.

Berdasarkan orientasi teori kritiknya, kritik sastra dapat dibedakan atas kritik mimetik, kritik pragmatik, kritik ekspresif, dan kritik objektif (Abrams dalam Suroso, 2009: 22).
1.      Kritik mimetik memandang bahwa karya sastra itu sebagai tiruan dari aspek-aspek alam, pencerminan atau penggambaran tentang dunia dan kehidupannya.
2.      Kritik pragmatik bertujuan untuk mencapai efek-efek tertentu kepada pembaca. Efek-efek itu untuk mendapatkan kesenangan estetik, mendapatkan pendidikan, dan mendapatkan pembelajaran politik. Kritik ini mencoba menerangkan berbagai manfaat yang dimiliki karya sastra untuk pembaca. Adapun manfaat itu antara lain, manfaat pendidikan, manfaat kepekaan batin atau sosial, manfaat menambah wawasan, dan manfaat pengembangan kejiwaan atau kepribadian bagi pembaca.
3.      Kritik ekspresif berorientasi menghubungkan karya sastra dengan penulis atau si pengarangnya. Indikator keberhasilan karya sastra terletak pada sarana curahan, luapan emosi, ucapan, proyeksi atau ekspresi pikiran dan perasaan pengarang.
4.      Kritik objektif menganggap karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri, bebas dari pengaruh sekitarnya, bebas dari pengarangnya, pembaca, atau dunia sekitarnya. Karya sastra adalah sebuah dunia yang dapat melepaskan diri dari siapa pengarangnya dan lingkungan sosial budayanya.

Berdasarkan alirannya, kritik sastra dapat dibedakan menjadi kritik baru, kritik Merlyn, Nouvelle Critique, dan posttrukturalisme.
1.      Kritik baru diperkenalkan pada tahun 1930-an dan menjadi berpengaruh kuat di Eropa Barat dan Amerika Serikat hingga tahun 1950-an. Kritik ini melawan pendekatan sastra historik dan biografik serta impresionistik. Tugas kritik ini adalah “memperlihatkan dan memelihara pengetahuan yang khas, unik dan lengkap seperti yang ditawarkan pada sastra agung (Suroso,2009: 30).
2.      Merlyn merupakan nama majalah yang terbit di negeri Belanda, 1962-1966 yang sebenarnya merupakan nama seorang resi dari legenda Raja Arthur. Pendekatan yang dilakukan pada kritik ini yaitu dengan memusatkan perhatian kepada karya itu sendiri. Menurut penganut kritik ini, sebuah penilaian dapat didukung dan diperkuat dengan mengajukan analisis serta penafsiran sebagai bukti.
3.      Nouvelle Critique berkembang pada tahun 1960-an. Kritik ini sama dengan strukturalistik. Penganut nouvella critique menyadari bahwa sebuah teks tidak mungkin dapat ditafsirkan secara tuntas dalam arti yang sesungguhnya. Ketaksaan bahasa menyebabkan dapat diinterpretasikan kembali teks itu, bahkan dapat disadur atau diceritakan kembali menjadi teks baru.
4.      Poststrukturalisme dimulai sejak tahun 1960-an. Penganutnya berpendapat bahwa teks tidaklah mencerminkan kenyataan, tetapi teks membangun kenyataan. Bahasa tidak menghadirkan kenyataan, tetapi bentuk-bentuk bahasa menghadirkan latar, peristiwa dan perbuatan tokoh hanya ada dalam angan-angan kita. Selain itu, teks merupakan suatu tenunan yang tersusun dari berbagai utas benang.

Berdasarkan kecenderungannya, kritik sastra dapat dibedakan menjadi kritik Marxis, kritik psikoanalisis, kritik linguistik dan stilistik, kritik formalisme, kritik mitepoik/arketipe, kritik eksistensialisme, dan kritik feminisme.
1.      Kritik Marxis dicetuskan Karl Marx dari Jerman. Kritik ini membicarakan sastra dalam hubungannya dengan faktor-faktor ekonomis dan peranan penting yang dimainkan oleh kelas sosial. Sedangkan di Indonesia, kritik ini berkembang menjadi aliran realisme-sosialis seperti yang diusung Lekra.
2.      Kritik Psikoanalisis diluncurkan pertama kali oleh Sigmund Freud dari Austria. Kritik ini berusaha mengungkapkan tiga unsur kejiwaan manusia, yaitu id, ego, dan superego. Menurut Rene Wellek dalam Suroso (2009:42) untuk melakukan kritik ini ada beberapa cara yang harus dilalu, yakni pembahasan tentang proses kreatif penciptaan karya sastra, pembahasan psikologi terhadap pengarangnya, baik sebagai tipe maupun sebagai pribadi, pembicaraan tentang ajaran dan kaidah-kaidah psikologi yang dapat ditimba dari karya sastra, dan pengaruh karya sastra terhadap pembacanya.
3.      Kritik linguistik adalah kritik sastra yang berusaha menelaah karya sastra berdasarkan prinsip-prinsip ilmu kebahasaan dan ilmu tentang penggunaan bahasa dan gaya bahasanya. Menurut Todorov dalam Suroso (2009: 43) aspek-aspek yang diamati meliputi aspek sintaksis, aspek semantik, dan aspek verbal.
4.      Kritik formalisme mendasarkan kritik pada dua hal, defamiliarisasi dan deotomatisasi. Defamiliarisasi adalah konteks sifat sastra yang aneh atau asing, bentuk penyimpangan dari bahan yang semula bersifat netral. Sedangkan deotomatisasi berarti pembaca tidak secara otomatis atau langsung menangkap makna teks tanpa melalui penafsiran.
5.      Kritik mitepoik mendasarkan telaah pada mitos-mitos. Menurut Northrop Frye dala Suroso (2009:46) menyatakan bahwa (a) sepanjang sejarah peradaban manusia, karya sastra mengikuti mite, yakni usaha sederhana dan awal mengenai citra manusia purba tentang hubungannya dengan ‘duni’ di luar dirinya, (b) mitologi sudah bercampur ke dalam karya sastra, sehingga mite itu sendiri inheren di dalam proses penciptaan karya sastra, dan (c) kritikus arketipe sangat beruntung karena dapat mengambil manfaat dari segala bidang yang sesuai dengan penghayatannya terhadap karya sastra.
6.      Kritik feminisme merupakan sebuah reinterpretasi global semua pendekatan dari sebuah pendirian yang revolusioner yang berbeda dengan teori-teori sastra umumnya. Kritik ini terlahir karena ketidakadilan antara laki-laki dan wanita. Selama ini ada anggapan bahwa wanita dianggap lebih rendah dari laki-laki. Sejumlah besar bentuk sastra selama berabad-abad tidak menyinggung satu pun penulis wanita. Oleh karena itu, salah satu kegiatan awal para pengeritik sastra feminis adalah menggali, mengkaji, serta menilai karya penulis-penulis wanita dari masa-masa silam.
Kritik feminis dalam ilmu sastra adalah studi sastra yang mengarahkan telaahnya kepada wanita. Menurut Raman Selden, ada lima fokus pembicaraan dalam kritik feminis.
a.       Biologi, menempatkan wanita hanya sebagai ‘kandungan’, lebih inverior, lembut, lemah, dan rendah.
b.      Pengalaman, seringkali wanita dipandang hanya memiliki pengalaman terbatas, masalah menstruasi, melahirkan, menyusui, memelihara anak, dan ibu rumah tangga.
c.       Wacana, biasanya wanita lebih rendah penguasaan bahasa, sedangkan laki-laki memiliki ‘tuntutan kuat’, akibatnya menimbulkan sterotif negatif pada wanita sebagai teman belakang.
d.      Ketaksadaran, seksualitas wanita bersifat revolusioner, subversif, beragam, dan terbuka, yang tidak disadari oleh kaum laki-laki.
e.       Kondisi sosial ekonomi, pengarang feminis sering menghadirkan tuntutan sosial ekonomi yang berbeda dengan kaum laki-laki.

Sementara Michele Barrett dalam Suroso (2009: 54) menyarankan agar kritik feminis mampu menganalisis sastra melalui tiga aspek.
a.       Kritikus hendaknya mampu membedakan material sastra yang digarap penulis laki-laki dan wanita, sebab hal itu mempengaruhi bentuk dan isi yang mereka tulis.
b.      Ideologi gender sering mempengaruhi hasil karya tulisannya, tentu ada perbedaan yang prinsip antara penulis laki-laki dengan wanita dalam meyakini kehidupan.
c.       Kritikus feminis harus memperhitungkan kodrat fiksional teks sastra dan tidak memperturutkan ‘moral yang merajalela’ dengan mengutuk semua penulis laki-laki yang mengeksploitasi masalah seks.


C.  Kritik Feminis dalam Sastra
       Studi kesusastraan adalah upaya manusia untuk dapat memahami, mengerti, dan memperjelas ihwal kesusastraan (Suroso,2009: 1). Cara yang dapat dilakukan seseorang untuk melaksanakan studi sastra melalui jalur formal dan nonformal. Jalur formal berarti melalui sekolah-sekolah, sedangkan nonformal melalui diskusi, seminar, atau sarasehan.
       Salah satu agenda kemanusiaan yang mendesak untuk segera digarap adalah mewujudkan kesetaraan dalam sistem hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Indonesia telah diawali oleh R.A. Kartini melalui emansipasi wanitanya. Feminisme memperjuangkan dua hal yang selama ini tidak dimiliki kaum perempuan pada umumnya, yaitu persamaan derajat dengan laki-laki dan otonomi untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya.
       Wanita yang konon indah malah dieksploitasi, dimanfaatkan kecantikannya untuk memuaskan mata laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada iklan-iklan di TV. Fenomena komersialisasi seksualitas wanita dapat juga terjadi di dalam sastra. Misalnya seorang tokoh laki-laki mencintai tokoh wanita tertentu karena ia cantik, menarik, atau bahkan menggairahkan tanpa mengindahkan kualitas-kualitas yang lain.
       Dengan ‘membaca sebagai wanita’, kritik sastra feminis dapat menguji konsistensi pembelaan wanita dalam sastra Indonesia sekaligus dapat membongkar prasangka gemder dan subordinasi wanita dalam sastra Barat.
       Yoder dalam Sugihastuti (2005: 5) menyebut bahwa kritik sastra feminis bukan berarti pengkritik wanita, atau kritik tentang wanita, atau kritik tentang pengarang wanita. Arti sederhana kritik ini adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan. Jenis kelamin inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang.
       Membaca sebagai wanita dapat dipahami dari kerangka kerja kritikus bahwa ia tidak menganggap otoritas kultural sebagai kenyataan objektif, melainkan hanya sebagai batas budaya politis. Pun kritik sastra feminis dapat diartikan membaca sebagai wanita berpandangan bahwa kritik ini tidak mencari metodologi atau model konseptual tunggal, tetapi bahkan sebaliknya menjadi pluralis dalam teori dan praktiknya. Cara ini berpijak dari satu sudut pandang yang mapan dan mempertahankannya secara konsisten kesadaran bahwa ada perbedaan jenis kelamin yang mempengaruhi dunia sastra.

D.  Dasar Pemikiran dalam Penelitian Sastra Berperspektif Feminis
Menurut Sugihastuti (2005: 15) terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi perlunya mengkaji karya sastra dengan pendekatan feminis.
1.      Kedudukan dan peran para tokoh wanita dalam karya sastra Indonesia menunjukkan masih didominasi oleh laki-laki. Maka, upaya pemahamannya merupakan keharusan untuk mengetahui ketimpangan gender dalam karya sastra seperti terlihat dalam realitas sehari-hari dalam masyarakat.
2.      Dari persepsi pembaca karya sastra Indonesia, secara sepintas terlihat bahwa para tokoh wanita dalam karya sastra Indonesia tertinggal dari laki-laki, misalnya dalam latar sosial pendidikan, pekerjaan, peran dalam masyarakat, dan derajat mereka sebagai bagian integral dan susunan masyarakat.
3.      Masih adanya resepsi pembaca karya sastra Indonesia yang menunjukkan bahwa hubungan antara laki-laki dan wanita hanyalah merupakan hubungan yang didasarkan pada pertimbangan biologis dan sosial-ekonomi semata-mata. Pandangan ini tidak sejalan dengan pandangan feminis yang menyatakan bahwa wanita mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang dengan laki-laki.
4.      Banyak pembaca yang menganggap bahwa peran dan kedudukan wanita lebih rendah daripada laki-laki. Oleh karena itu, pandangan seperti itu perlu diluruskan melalui penelitian yang bersifat ilmiah.
Dalam menggunakan kritik feminis perlu diperhatikan konsep-konsep mendasar dalam menganalisis.
1.      Perbedaan gender adalah perbedaan dari atribut-atribut sosial, karakteristik, perilaku, penampilan, cara berpakaian, harapan, peranan, dan sebagainya yang dirumuskan untuk perorangan menurut ketentuan kelahiran.
2.      Kesenjangan gender ialah perbedaan dalam hak berpolitik, memberikan suara, dan bersikap antara laki-laki dan wanita.
3.      Genderzation adalah pengacauan konsep pada upaya menempatkan jenis kelamin pada pusat perhatian identitas diri dan pandangan dari dan terhadap orang lain.
4.      Identitas gender ialah gambaran tentang jenis kelamin yang seharusnya dimiliki dan ditampilkan oleh tokoh yang bersangkutan.
5.      Gender role ialah peranan wanita atau laki-laki yang diaplikasikan secara nyata.

E.  Feminisme Sebuah Tinjauan Ekonomis
       Dalam kehidupan sehari-hari tanpa disadari telah ada pembagian kerja secara seksual. Ada tugas-tugas yang diberikan kepada wanita, ada pula tugas yang hanya untuk laki-laki. Meskipun ada juga beberapa pekerjaan yang dapat dikerjakan wanita atau laki-laki. Sejalan dengan perubahan ekonomi yang dialami masyarakat, sifat pekerjaan berubah. Hal ini merupakan fakta adanya pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Kaum feminis menyatakan bahwa pemahaman akan pembagian kerja secara seksual penting untuk memahami dan mengubah posisi wanita dalam masyarakat.
       Sebelum membahas lebih jauh tentang pembagian kerja secara seksual, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, pembedaan gender dan sex. Gender merupakan kategori jenis kelamin yang dibentuk oleh masyarakat, sedangkan sex merupakan jenis kelamin biologis.
       Adanya pembagian kerja secara seksual ini tentu saja tidak hanya terbatas padabidang kerja upahan. Dalam kerja-kerja tanpa upahan pun tetap merugikan wanita. Dalam kegiatan-kegiatan yang berkisar pada kerja-kerja rumah tangga, baik dalam pertanian maupun nonpertanian, wanita bekerja sebagai buruh dengan bagian keuntungan yang sangat kecil.
       Di daerah pertanian yang miskin, berkembangnya tanaman komoditas dan metode-metode baru penanaman, serta berpindahnya tempat mengolah makanan ke luar rumah, telah membawa perubahan pada pembagian kerja secara seksual. Hal ini menciptakan kegiatan yang secara finansial menguntungkan laki-laki dan menyisihkan wanita ke dalam kegiatan-kegiatan yang tidak produktif.
       Dalam kehidupan sehari-hari, pembagian kerja berdasarkan gender sangat jelas terlihat dalam pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan ini sangat membatasi peran wanita dalam ikut menghasilkan uang. Pembagian kerja secara seksual di dalam rumah memaksa wanita untuk bekerja lebih lama daripada laki-laki.
       Wanita sangat terpinggirkan dengan pendapatan yang minimal sementara pekerjaan yang dilakukan dua kali lipat.

F.   Bias Gender
Gender adalah konstruksi sosial yang membedakan peran dan kedudukan wanita dan pria (Astuti, 1999: 3). Istilah gender berbeda dengan jenis kelamin. Menurut Fakih (2001: 7), jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu (misalnya ada ciri-ciri biologis tertentu), sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun wanita yang dikontruksikan secara sosial maupun kultural. Menurut Budiwati (2003: 17), bias gender adalah ketidakadilan atau “ketimpangan” perlakuan terhadap salah satu jenis kelamin. Anggapan yang lebih pada salah satu jenis kelamin tertentu dan merugikan pada jenis kelamin lainnya, adalah contoh perlakuan yang bias gender.
Setidaknya ada tiga pandangan terhadap hubungan antara bahasa dan gender. Dirangkum dari pendapat Graddol (2003: 12–13) adalah, pertama, ada pandangan bahwa bahasa hanyalah mencerminkan pembagian sosial dan ketidaksetaraan. Kedua, posisi pembagian dan ketidaksetaraan itu sebenarnya tercipta melalui perilaku linguistik yang seksis; dan ketiga, pandangan yang mengemukakan bahwa kedua proses tersebut berjalan dan saling berpengaruh.
Hipotesis yang selama ini dianut secara universal menyatakan bahwa “wanita lebih sopan daripada lelaki berbahasa” (Sachiko via Ohoiwutun, 2002: 89). Dalam bahasa Inggris, karya Labov (1972), Trudgill (1972), dan sebagainya membuktikan secara empiris bahwa wanita lebih banyak menggunakan ragam bahasa sopan (Ohoiwutun, 2002: 89).  Lebih jauh ia berpendapat bahwa kata, bunyi, dan tata kalimat pada “bahasa” kaum wanita memberi sumbangan cukup besar dalam membangun gaya berkomunikasi yang lebih sopan. Wanita menggunakan sebuah gaya bertutur yang ditandai oleh ciri-ciri yang menunjukkan keraguan, kesementaraan, dan kesopanan (Lakoff via Graddol, 2003: 145).
           
PEMBAHASAN
‘Ronggeng Dukuh Paruk’ merupakan salah satu dari trilogi karya Ahmad Tohari. Tokoh utama dalam novel ini adalah Srintil dan Rasus. Latar cerita ini terjadi di dukuk, Paruk. Sebuah desa di daerah Banyumas. Cerita ini menggambarkan kesengsaraan masyarakat di sana. Betapa kering, tandus, dan gersang.
Ketika musim kemarau tiba, tak ada tumbuhan yang tumbuh di persawahan selain ketele pohon. Itu pun hanya milik orang yang kaya. Srintil adalah seorang anak perempuan yang tidak lagi memiliki orang tua. Orang tuanya meninggal karena keracunan tempe bongkrek. Srintil tinggal bersama neneknya.
Kampung tempat Srintil tinggal terdapat makam seorang bromocorah atau penjahat yang sangat disegani. Di desa ini juga pernah tinggal seorang ronggeng, beberapa tahun yang lalu. Penduduk dukuh Paruk percaya, bahwa inang ronggeng itu masih ada.
Srintil yang sehari-hari tinggal bersama nenek dan kakeknya, hidup dalam keadaan yang serba kurang. Namun, hal itu sudah biasa dalam kehidupan masyarakat Paruk. Hingga suatu ketika, Srintil bisa mendapat penghasilan yang melimpah dari menjadi ronggeng. Srintil dipercaya dimasuki indang ronggeng yang terdahulu. Meski tak seorang pun yang mengajari Srintil menari, ternyata ia sudah bisa menari seperti ronggeng yang pernah ada.
Eksploitasi secara ekonomi dilihat dari kajian feminis nampak jelas pada bagian ini. Betapa kemudian nenek dan kakek Srintil memasang tarif tinggi ketika acara bukak klambu. Dalam bagian ini sangat jelas kemudian nenek Srintil mengeksploitasinya demi mendapatkan uang lebih banyak.
Hal ini diperkuat dengan ada beberapa orang yang akan mengikuti acara tersebut, maka oleh nenek dan kakek Srintil, harganya semakin dinaikkan. Kedua peserta yang akan mengikuti justru dipermainkan oleh nenek. Meski hari sudah larut, tetapi acara bukak klambu tidak terlakasana. Padahal uang sudah diterima nenek. Akhirnya, gagallah kedua peserta tersebut.
Mulai saat itu Srintil menjadi komoditas untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Srintil yang sebenarnya hanya seorang anak perempuan kecil, tetapi dipaksa untuk menjadi gadis. Gadis yang kemudian diharuskan melayani para laki-laki. Dalam hal ini mengapa kakek tidak bekerja untuk kemudian membiayai Srintil?
Seandainya pun Srintil memiliki kelebihan dalam oleh tubuh atau menari, seharusnya tidak kemudian dimanfaatkan untuk mencari uang. Tidak kemudian keahliannya itu digunakan untuk membiayai kehidupan orang lain. Dalam hal ini kakek dan neneknya.
Setiap individu pasti mempunyai kehidupan sendiri-sendiri. Demikian juga dengan Srintil. Dia mencintai Rasus dan ingin hidup bersama. Hal ini tidak bisa dilakukan karena aturan yang menyatakan bahwa ronggeng tidak boleh menikah. Hal ini semakin membuktikan bahwa seorang wanita tidak memiliki kebebasan untuk memilih.
Srintil tidak bebas untuk hidup berkeluarga, tidak bebas untuk menikah, tidak bebas untuk menjalani kehidupan seperti wanita pada umumnya. Selain itu, Srintil juga harus melakukan pekerjaan yang sebenarnya sangat bertentangan dengan hati nuraninya. Tak seorang wanita pun yang ingin bekerja seperti Srintil.
Namun bila menilik pada budaya yang terdapat pada cerita tersebut, ronggeng merupakan pekerjaan yang menjanjikan. Pekerjaan yang menghasilkan banyak uang. Pekerjaan yang tidak membutuhkan kerja keras. Pekerjaan glamour. Meskipun semua orang tidak ingin pekerjaan itu, namun kebudayaan mengharuskan Srintil menjadi ronggeng.
Srintil digambarkan sebagai sosok yang lugu, yang belum atau tidak memikirkan dunia. Hal ini karena ia masih anak-anak, maka dunia yang ia inginkan adalah dunia anak. Dunia anak yang lekat dengan bermain dan bermain. Apalagi bekerja, tidak sama sekali. Apabila sekadar membantu, itu sudah merupakan kewajiban.
Dalam cerita ini Srintil tidak lagi membantu, tetapi sudah menjadi tokoh utama. Di dukuh Paruk, ronggeng memang dianggap hebat. Dianggap memiliki kelebihan dari wanita yang lain. Anggapan tersebut merupakan budaya dari animesme dan dinamisme. Hal seperti ini hanya terjadi pada orang-orang yang tidak percaya adanya Tuhan.
Namun, budaya ronggeng tidak berhenti sampai di daerah itu karena di daerah lain juga terdapat budaya seperti itu, hanya namanya yang berbeda.  Seiring perkembangannya, lahirlah pekerja seks komersial (PSK) atau wanita tunasusila (WTS).
Simpulan
Ahmad Tohari memang tidak sengaja ingin merendahkan wanita, tetapi memang budaya ronggenglah yang merendahkan wanita. Terdapat dua hal ketika seseorang menjadi ronggeng. Pertama, Srintil sebagai seorang wanita tidak memiliki kebebasan menentukan kehidupannya sendiri. Kedua, Srintil sebagai seorang ronggeng telah merendahkan wanita.



1 comment:

  1. trmakasih... sngat bermanfaat untuk kbutuhan tugas saya :)

    ReplyDelete