Indrya Mulyaningsih*
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Di daerah Banyumas terdapat suatu
kebudayaan yang terkenal, yaitu ronggeng.
Wilayah lain, seperti Grobogan, Pati, atau Sragen menyebutnya dengan ledek. Sedangkan di Jepang disebut gesha.
Bisa jadi di daerah lain di dunia ini juga ada, namun namanya berbeda.
Ketiga istilah tersebut menyoroti pada
wanita. Atau wanita sebagai objek utama. Wanita yang berprofesi sebagai
penghibur, tetapi bukan wanita tunasusila. Penghibur di sini hanya menemani
selama beberapa waktu, tetapi tidak sampai pada melakukan hubungan suami istri.
Tidak semua wanita dapat menjadi gesha, ledek, maupun ronggeng. Wanita yang
memiliki keahlian tertentu sajalah yang dapat menjadi ronggeng. Keahlian utama
yang harus dimiliki adalah dalam berkesenian, yakni menyanyi dan menari. Dalam
hal ini ronggeng tidak sama dengan penyanyi, meskipun penyanyi juga harus
memiliki keahlian dalam hal menyanyi dan menari.
Untuk menjadi ronggeng, diperlukan syarat-syarat
khusus. Ada prosesi ritual yang harus dilakukan para ronggeng. Demikian juga
dengan ledek dan gesha. Di Jepang,
untuk menjadi gesha harus dilatih dan berlatih dahulu. Tidak semua orang bisa
menjadi gesha. Hanya yang profesional yang laku dan diminati para penikmat,
dalam hal ini laki-laki.
Berdasarkan film dokumenter, istri-istri
Jepang bangga bila suaminya ditemani oleh gesha yang terkenal. Suami-suami itu
dianggap hebat.
Dengan perkembangan peradaban, ketiga
penghibur itu, lama-lama mulai surut. Mulai tidak banyak diminati. Hal ini
seiring dengan mulai dilegalkannya lokalisasi, Gang Dolly, misalnya. Seandainya
masih ada, sudah tidak ada syarat khusus atau tahapan-tahapan yang harus
dilalui untuk menjadi ronggeng, ledek, atau
gesha.
Berdasarkan tinjauan sosial ekonomi,
kemunculan ronggeng merupakan tuntutan kebutuhan ekonomi, selain memang sudah
merupakan kebudayaan. Artinya, di Banyumas, ronggeng merupakan suatu kebudayaan
yang dilakukan turun-temurun. Selain itu, ronggeng juga dapat menambah pendapatan
seseorang. Dengan
kata lain, ronggeng dapat menjadi sumber penghasilan seseorang.
B.
Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, nampak jelas
bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia, khususnya Banyumas telah menganut
feminis. Benarkah demikian? Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini akan
dianalisis dengan menggunakan telaah feminisme terhadap ‘Ronggeng Dukuh Paruk’
karya Ahmad Tohari.
KAJIAN
TEORETIS
A.
Kritik
Sastra
Menurut Zainuddin Fananie (2000: 20)
kritik sastra adalah pertimbangan untuk menunjukkan kekuatan atau kebagusan dan
juga kekurangan yang terdapat dalam karya sastra. Karenanya hasil kritik sastra
biasanya mencakup dua hal, yaitu baik dan buruk. Menurut H.B. Jassin dalam
Suroso (2009: 13) kritik sastra adalah salah satu jenis esai, yaitu
pertimbangan baik atau buruk sesuatu hasil kesusastraan.
Menurut William Flint dalam Puji Santoso
(2009: 13) kritik sastra adalah keterangan, kebenaran analisis atau judgment suatu karya sastra. Menurut
William Henry Hudson dalam Pardi Suratno (2009: 14) kritik sastra adalah
penghakiman yang dilakukan oleh seorang yang ahli atau memiliki sesuatu
kepandaian khusus untuk membedah karya sastra, memeriksa karya sastra mengenai
kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya, dan menyatakan pandangannya tentang hal
itu.
Menurut Frye Northrop dalam Suroso (2009:
14) kritik sastra adalah seluruh pembicaraan karya sastra, meliputi teori
sastra, teori simbol-simbol, teori mitos, dan teori genre sastra. Menurut
Graham Hough dalam Rachmat Djoko Pradopo (1995: 92) kritik sastra bukan hanya
terbatas pada penyuntingan dan penetapan teks, interpretasi, dan pertimbangan
nilai, melainkan kritik sastra meliputi masalah yang lebih luas tentang apakah
kesusastraan, untuk apa, dan bagaimana hubungannya dengan masalah-masalah
kemanusiaan yang lain.
Begitu banyak pengertian kritik yang
disampaikan para ahli sastra. Namun demikian, dengan bahasa sederhana dapatlah
dikatakan bahwa kritik sastra berarti menyampaikan suatu penilaian terhadap
karya sastra, apa pun bentuknya.