Abstrak
Salah
satu faktor penentu keberhasilan pembelajaran adalah ketepatan pengajar dalam
memilih model pembelajaran yang sesuai untuk pembelajar. Social Learning Bandura atau Pemodelan Bandura dapat menjadi
alternatif model pembelajaran itu. Model ini meminta pengajar untuk dapat
menjadi contoh atau model. Selain itu, pengajar harus dapat memotivasi
pembelajar untuk belajar.
One of the critical success factors of
learning is teaching accuracy in selecting appropriate learning model for
learners. Bandura's Social Learning Bandura or modeling can be an alternative
model of learning it. This model asks teachers to be able to be an example or
model. In addition, teachers must be able to motivate learners to learn.
Kata kunci: model, pembelajaran, Bandura,
Social Learning Bandura
A. Pendahuluan
Pemerintah memberikan perhatian yang sangat tinggi
terhadap pendidikan. Hal ini dapat diketahui dengan terus diperbaikinya
kurikulum. Berdasarkan peraturan yang telah ada, kurikulum pendidikan di
Indonesia terus mengalami perubahan setiap lima tahun. Adapun kurikulum terbaru
atau saat ini adalah Kurikulum 2013 yang diakronimkan menjadi ‘Kurtilas’.
Dalam pendidikan terdapat proses belajar. Belajar
merupakan kegiatan dari belum tahu menjadi tahu; dari belum bisa menjadi bisa.
Kegiatan belajar sendiri terbagi atas dua, yakni belajar formal dan nonformal.
Belajar secara formal berarti teratur dengan kurikulum yang jelas sedangkan
belajar nonformal berarti belajar tidak terstruktur. Adapun salah satu contoh
belajar secara formal adalah belajar di sekolah sedangkan belajar secara
nonformal adalah belajar di rumah.
Keberhasilan dalam pembelajaran ditentukan oleh
banyak faktor. Bukan hanya faktor siswa atau pembelajar, tetapi juga faktor
guru atau pengajar dan model pembelajaran yang digunakan. Model pembelajaran
yang baik adalah yang sesuai dengan gaya belajar pembelajar (DePotter dan Mike,
2013: 12-16). Kecerdasan majemuk yang digulirkan oleh Howard Gardner sangat
membantu pengajar dalam menentukan model pembelajaran yang sesuai dengan gaya
belajar pembelajar.
Selama ini telah dikenal berbagai pendekatan dalam
pembelajaran. Salah satu pendekatan yang terus dikembangkan adalah Contextual Teaching and Learning (CTL). Asmani
(2013: 53) mengartikan CTL sebagai ‘suatu proses pendidikan yang bertujuan
untuk membantu siswa dalam memahami makna yang ada pada bahan ajar, dengan
menghubungkan pelajaran dalam konteks kehidupan sehari-harinya dengan konteks
kehidupan pribadi, sosial, dan kultural’. Wardoyo (2013: 49) menyatakan
bahwasannya CTL mengandung tujuh asas, yakni konstruktivisme, inkuiri,
bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian.
Albert Bandura secara khusus meneliti pemodelan atau
yang lebih dikenal dengan Social Learning
Bandura (SLB). Makalah ini akan mengimplementasikan SLB sebagai alternatif
model pembelajaran.
B. Pembahasan
1.
Hakikat
Model Pembelajaran
Mulyatiningsih (2010: 1) menyampaikan bahwa model pembelajaran
merupakan “istilah yang digunakan untuk menggambarkan penyelenggaraan proses
belajar dari awal sampai akhir”. Model berfungsi sebagai pedoman bagi pengajar
dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran. Oleh karena itu, metode
pembelajaran memuat pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.
Supriadie dan Darmawan (2012: 9) menyatakan bahwa
“pembelajaran adalah suatu konsepsi dari dua dimensi kegiatan belajar dan
mengajar”. Prinsip belajar haruslah berorientasi pada pembelajar. Menurut
pendekatan Feuerstein (dalam Bellanca, 2011: 6) keberhasilan dalam belajar
dapat dicapai melalui (a) mengubah siswa untuk belajar lebih efisien dan (b) mengajar untuk menggali potensi yang
dimiliki pembelajar.
Suryaman (2004: 66; Akbar, 2013: 49-50) mengemukakan
model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang menggambarkan
langkah-langkah. Langkah-langkah itu sistematis untuk mengelola pembelajaran.
Hal ini dilakukan agar dapat mencapai target atau tujuan belajar. Selain itu,
model pembelajaran juga dapat digunakan pengajar sebagai pedoman dalam
merancang dan melaksanakan pembelajaran yang efektif.
Pada pembelajaran terdapat target atau tujuan yang
akan dicapai. Pencapaian ini dapat dilakukan melalui cara belajar atau model
belajar. Model belajar atau model pembelajaran harus disesuaikan dengan kondisi
peserta didik. Joyce, Marsha, dan Emily (2011: 1) menyatakan bahwa kunci utama
untuk mencapai tujuan pembelajaran adalah dengan menggunakan model pembelajaran
efektif yang berorientasi pada kecerdasan. Oleh karena itu, model pembelajaran
yang dipilih hendaknya mampu melatih pembelajar untuk menjadi lebih handal.
Selain telah diuraikan di atas, dalam mengembankan
model pembelajaran juga harus memperhatikan faktor pengajar. Jacobsen, Paul,
dan Donald (2009: 3-4) mengemukakan bahwa Interstate
New Teacher Assessment and Support Consortium (INTASC) mensyaratkan sepuluh
standar yang harus dimiliki pengajar. Standar itu mewajibkan guru:
(1)
memahami
konsep-konsep inti, perangkat-perangkat penelitian, dan struktur-struktur disiplin
ilmu pengetahuan yang diajarkan;
(2)
memahami
bagaimana siswa belajar dan berkembang;
(3)
memahami
bagaimana siswa memiliki pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam belajar;
(4)
memahami
dan menggunakan beragam strategi instruksional;
(5)
menggunakan
pemahamannya mengenai motivasi individu dan kelompok;
(6)
menggunakan
pengetahuannya mengenai teknik verbal, teknik nonverbal, dan teknik media yang
efektif;
(7)
merencanakan
pengajaran berdasarkan pada pengetahuannya mengenai materi pelajaran;
(8)
memahami
dan menggunakan strategi-strategi penilaian formal dan informal;
(9)
adalah
praktisi yang reflektif;
(10)
mengembangkan
hubungannya dengan rekan kerja, orang tua, dan wakil orang tua.
Feez dan Helen (2002: 2) berpendapat bahwa model
pembelajaran mengarah pada prosedur operasional guna mencapai tujuan belajar
seperti yang tertuang dalam silabus. Oleh karena itu, model pembelajaran
hendaknya menyesuaikan dengan kondisi pembelajar dan tujuan. Karena model
pembelajaran bersifat operasional, maka terdapat langkah-langkah yang harus
diikuti. Langkah-langkah ini tidak dapat berdiri sendiri, tetapi saling
terkait.
Ismawati (2009: 97-98) mengemukakan beberapa hal
yang perlu dipertimbangkan pengajar dalam memilih model pembelajaran, yakni
harus:
(1)
bervariasi, (2) menarik dan merangsang siswa
untuk belajar, (3) menggiatkan siswa secara mental dan fisik dalam belajar,
dapat berwujud latihan, praktik, atau pertanyaan-pertanyaan, (4) mengarah
kegiatan belajar siswa kea rah tujuan pengajaran, (5) mengembangkan kreatifitas
siswa, (6) meningkatkan kadar CBSA dalam belajar, dan (7) membantu pemahaman
siswa terhadap materi pengajaran.
Selain memilih, pengajar juga dapat menyusun atau
merencanakan model pembelajaran sendiri. Adapun hal yang perlu diperhatikan
menurut Wahyuni dan Abdul (2012: 14), meliputi: kemampuan analitik, kemampuan
pengembangan, dan kemampuan pengukuran. Kemampuan analitik berupa analisis
terhadap kondisi pembelajaran. Kondisi ini meliputi: “(1) kemampuan
menganalisis kompetensi dan karakteristik materi belajar, (2) kemampuan
menganalisis kendala dan sumber-sumber belajar yang tersedia, dan (3) kemampuan
menganalisis karakteristik peserta didik.”
Kemampuan pengembangan terkait dengan memilih,
menetapkan, dan mengembangkan strategi pembelajaran yang paling optimal untuk
mencapai hasil yang diinginkan. Kemampuan pengukuran meliputi:
(1) kemampuan
dasar dalam memilih, menetapkan, dan mengembangkan alat ukur yang paling tepat
mengukur penguasaan kompetensi, dan (2) pengetahuan tentang klasifikasi hasil
pembelajaran yang perlu diukur, indikator setiap klasifikasi, dan penetapan
kriteria tingkat keberhasilan (Wahyuni dan Abdul, 2012: 15).
Henard dan Deborah (2012: 7) menyatakan “Quality teaching is the use of pedagogical
techniques to produce learning outcomes for students”. Artinya, kualitas
pembelajaran ditentukan oleh teknik yang mengarah pada langkah-langkah dalam
pembelajaran. Kualitas pembelajaran itu sendiri meliputi beberapa hal, seperti
1) desain dan materi kurikulum yang tepat, 2) keberagaman metode pembelajaran,
3) penggunaan umpan balik, dan 4) penilaian hasil belajar yang efektif. Dengan
memperhatikan keempat aspek tersebut, diharapkan pendidikan di perguruan tinggi
lebih berkualitas.
Hughes dan Hughes (2012: 465-466) menyebutkan empat
prinsip dalam pembelajaran, yaitu: 1) pembelajaran hendaknya dilakukan dalam
aktivitas yang menumbuhkan daya dorong secara alamiah untuk belajar; 2)
pembelajaran hendaknya disampaikan secara keseluruhan dan tidak terpisah-pisah
dengan mendahulukan bagian yang sederhana atau mudah; 3) model pembelajaran disesuaikan
dan tingkat kecepatan belajar didasarkan pada kualitas mental setiap
pembelajar; serta 4) pembelajar akan menerapkan ilmu yang diperoleh dalam
lingkungan sosial. Oleh karena itu, pengajar juga perlu memberi tugas yang
dikerjakan secara kelompok.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
model pembelajaran merupakan pedoman yang memuat pendekatan, metode, dan teknik
belajar sesuai dengan kebutuhan peserta didik demi tercapainya tujuan
pembelajaran.
2.
Pembelajaran
Sosial Bandura
Social Learning Theory Bandura
yang kemudian dikenal dengan Pemodelan Bandura sebenarnya merupakan perpaduan
antara faktor kebiasaan dengan faktor kognitif. Dalam pembelajaran, terdapat
enam cara yang dapat dilakuan, yakni 1) trial-and-error
experience, belajar melalui mencoba-coba, 2) perception of the object, belajar dilakukan dengan memberikan
pendapat atau perkiraan terhadap suatu objek, 3) observations of another’s response to the object, belajar dapat
pula melalui mempelajari pendapat atau tanggapan orang lain, 4) modeling, belajar juga dapat dilakukan
dengan menciptakan atau menentukan model atau contoh, 5) exhortation, belajar juga dapat berdasarkan berbagai nasihat yang
diperoleh, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan 6) instruction about the object, belajar
dapat juga melalui berbagai perintah yang memang sengaja diberikan berdasarkan
objek atau hal yang akan dipelajari (Bandura, 1971: 5-7).
Bandura
sendiri menyatakan bahwa terdapat empat hal penting dalam pembelajaran dengan
pemodelan, yakni attention (perhatian), retention (daya ingat), motor reproduction (produksi), dan motivation (motivasi). Atensi terkait
dengan minat pembelajar terhadap materi yang dipelajari. Retensi berhubungan
dengan kemampuan pembelajar dalam menyimpan berbagai informasi atau materi
dalam pembelajaran. Penyimpanan ini dapat dalam ingatan jangka pendek maupun
jangka panjang. Produksi merupakan bentuk peniruan terhadap materi atau
informasi yang dipelajari. Dengan kata lain, pembelajar menghasilkan sesuatu
dari pembelajaran yang telah dilakukan. Motivasi lebih pada kuat lemahnya
keinginan pembelajar untuk melakukan peniruan. Teori ini dapat digambarkan
seperti berikut.
Gambar 1. Social Learning Theory Bandura
Bandura
(dalam Hill, 2010: 194-201) mengemukakan bahwa penguatan terhadap pengalaman
yang dimiliki seseorang dapat dilakukan melalui imitasi. Imitasi yang dilakukan
bukan hanya pada hasil, tetapi juga prosesnya. Adapun tahap imitasi, meliputi
(a) inhibisi, (b) disinhibisi, dan (c) elisitasi. Tahap inhibisi merupakan
aktivitas mengamati orang lain. Hal yang diamati adalah bagaimana orang
tersebut tidak membuat respon terhadap suatu kondisi. Cara orang lain yang
tidak merespon keadaan akan dipraktikkan atau diikuti oleh pembelajar. Contoh
ketika ada seseorang yang marah. Pembelajar akan mengamati reaksi orang-orang
yang ada di sekitar orang yang marah tersebut. Fokus pengamatan ditujukan pada
reaksi orang-orang yang tidak terpancing dengan kemarahan itu.
Tahap
disinhibisi merupakan kebalikan dari inhibisi, yakni berupa pengamatan terhadap
orang lain. Fokus pengamatan pada cara orang lain tidak merespon suatu kondisi.
Jika pada tahap inhibisi seseorang akan ikut untuk tidak melakukan, justru pada
tahap disinhibisi seseorang akan melakukan itu. Jadi, tahap ini mempelajari
atau mengamati cara seseorang tidak mereaksi terhadap suatu kondisi, tetapi
justru akan dilakukan. Contoh ketika ada seseorang yang marah. Pembelajar akan
mengamati reaksi orang-orang yang berada di sekitarnya. Kali ini, pembelajar
justru akan melakukan reaksi kebalikan dari yang dipelajari, yakni terpancing
keadaan tersebut.
Tahap
elisitasi berarti memunculkan atau pengambilan sikap terhadap suatu kondisi.
Meskipun sedikit kemiripan antara elisitasi dengan disinhibisi, tetapi pada
dasarnya keduanya berbeda. Disinhibisi lebih pada respon yang sudah aktif dan
hanya membutuhkan pemicu tertentu untuk menjalankan hasrat atau respon
tersebut. Elisitasi justru pada respon positif untuk menjalankan aktivitas.
Misalnya seseorang mulai merespon dan beberapa yang lain juga ingin melakukan
hal yang sama walaupun sebelumnya telah diberitahukan untuk tidak merespon.
Jadi, elisitasi merujuk pada respon yang pasti akan dilakukan sedangkan
disinhibisi merujuk pada respon yang belum tentu akan dilakukan.
Imitasi
yang dilakukan mengarah pada pengamatan. Hill (2010: 199-201) menyatakan bahwa
inti pemodelan Bandura adalah pembelajaran melalui pengamatan atau observasi.
Pengamat akan “melihat apa yang dilakukan oleh model, memperhatikan apa
konsekuensinya bagi model, mengingat apa yang telah dipelajari, membuat
berbagai simpulan, dan pada saat itu juga (atau kemudian) menyertakannya dalam
perilaku”.
3.
Implementasi
Pembelajaran Bandura
Berikut
ini implikasi Teori Bandura menurut Hill (2010: 195-207). Pertama, pembelajar ada keinginan untuk mempelajari materi-materi
yang disampaikan oleh pengajar. Keinginan untuk mempelajari tidak datang secara
otomatis, tetapi karena ada faktor pemicu. Faktor pemicu bisa berasal dari mana
saja, salah satunya pengajar. Oleh karena itu, pengajar harus dapat memotivasi
pembelajar supaya berkeinginan untuk mempelajari materi.
Kedua,
segala yang dipelajari tidak menghasilkan efek praktis. Artinya, materi yang
dipelajari hari ini ada kemungkinan baru akan terpakai atau digunakan pada
waktu yang akan datang. Oleh karena itu, pembelajar harus menyimpan baik-baik
materi yang telah diperoleh sehingga jika sewaktu-waktu dibutuhkan dapat segera
ditemukan dan digunakan.
Ketiga, pembelajar
telah mendapat berbagai informasi melalui pembelajaran yang dilakukan. Hasil
pengamatan hendaknya tidak hanya dibiarkan mengendap atau tersimpan, tetapi
harus ditiru atau diimitasi. Oleh karena itu, pembelajar hendaknya dapat
menghasilkan sesuatu seperti atau berdasarkan apa yang telah dipelajari.
Keempat, pembelajar
dan pengajar harus memiliki motivasi dalam pembelajaran. Pembelajar harus
memiliki motivasi untuk mengimitasi atau meniru. Pengajar harus memiliki
motivasi untuk ditiru atau setidaknya memberikan faktor penguat agar pembelajar
mengimitasi. Oleh karena itu, baik pengajar maupun pembelajar diharapkan
memiliki motivasi yang besar pada pembelajaran itu sendiri.
Berikut
ini implikasi pendekatan kognitif pada pembelajaran menurut Makka (TT: 2). Pertama, pembelajaran hendaknya berpusat
pada cara berpikir atau proses mental anak. Artinya, pembelajaran tidak hanya
berorientasi pada hasil. Oleh karena itu, pengajar harus memahami proses yang
digunakan dan dikuasai anak sehingga sampai pada hasil. Pengajar harus dapat
mengembangkan pengalaman belajar yang sesuai dengan tahapan fungsi kognitif.
Kedua,
pembelajaran hendaknya mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan
terlibat aktif dalam kegiatan belajar. Dalam kelas, Piaget menekankan bahwa
pengajaran pengetahuan jadi (ready made knowledge) anak didorong
menentukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan dengan lingkungan.
Ketiga,
pembelajaran hendaknya memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal
kemajuan perkembangan. Hal ini sesuai dengan asumsi Piaget bahwa seluruh siswa
tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu
berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Aktivitas harus lebih menitikberatkan
pada kegiatan individu yang dilakukan dalam kelompok dan bukan kegiatan
klasikal. Selain itu, pembelajaran harus mengutamakan peran siswa untuk saling
berinteraksi.
Hal ini juga disampaikan DePorter dan Mike (2013:
14) bahwa “sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar”. Oleh
karena itu, pembelajaran hendaknya memberikan sugesti positif dengan
mendudukkan murid secara nyaman serta meningkatkan partisipasi individu.
Menurut Sarbiran, Putu, dan Priyanto (TT: 1)
pembelajaran dirancang dengan memusatkan diri pada pembelajar untuk melakukan
olah raga, olah rasio, olah rasa, dan olah rohani. Pembelajaran hendaknya
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan
memotivasi pembelajar. Pembelajar diberi kesempatan untuk berpartisipasi aktif
sehingga cukup waktu untuk prakarsa, kreativitas, dan kemandirian. Tentu saja
semua itu disesuaikan dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologis pembelajar.
Implikasi teori Bandura menurut Denler, Christopher,
dan Maria (2013: 8-9) sebagai berikut. Pertama,
pembelajar harus dibimbing dan diberi informasi terkait dengan pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku atau kebiasaan baik yang harus dimiliki. Dalam hal
ini pengajar harus dapat menjadi contoh. Pengajar harus melibatkan semua pihak
dalam pembelajaran. Kedua, pengajar harus membantu pembelajar untuk mencapai hasil yang
diharapkan pada pembelajaran. Pengajar harus mampu meyakinkan pembelajar bahwa
apa yang dipelajari saat ini akan bermanfaat pada kemudian hari. Ketiga, keberhasilan pembelajaran akan
tercapai jika pembelajar memiliki kepercayaan diri. Dalam hal ini pengajar
berkewajiban untuk memastikan bahwa pembelajar telah memiliki pengetahuan yang
cukup. Keempat, pengajar membantu
pembelajar untuk mencapai tujuan. Penetapan tujuan hendaknya disesuaikan dengan
kemampuan pembelajar. Semua ini dilakukan untuk menghindari kekecewaan apabila
tujuan tidak tercapai. Adanya rasa kecewa akan menjadikan pembelajar malas
untuk belajar lagi. Kelima,
pembelajaran hendaknya dapat memandirikan pembelajar. Dalam hal ini, pembelajar
dapat mengukur kemampuan diri sendiri, sehingga juga dapat menentukan tujuan
dan ketercapaiannya. Semua itu dapat dilakukan dengan sering berlatih.
Implikasi teori Bandura menurut Cunia (2007) bahwa
pembelajaran harus melibatkan pembelajar dan pengajar secara aktif. Karena ini
lebih pada belajar mandiri, maka pengajar harus memastikan pengetahuan yang
dimiliki pembelajar. Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki itulah, pengajar
dapat membantu pembelajar menentukan harapan dan tujuan yang ingin dicapai.
Pengajar sebagai model harus dapat menjadi dan memberi contoh. Oleh karena itu,
pengajar hendaknya membantu pembelajar untuk memiliki rasa percaya diri dan
mancapai tujuan yang telah direncanakan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran dengan pendekatan kognitif meminta kepada pengajar dan pembelajar
untuk saling menguatkan, baik motivasi, atensi, retensi, maupun ketika
memproduksi. Oleh karena itu, faktor pengajar dan pembelajar sangat penting
untuk diperhatikan selama pembelajaran berlangsung.
C. Penutup
1.
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
SLB atau Pemodelan Bandura dapat menjadi alternatif sebagai model pembelajaran.
Dalam model pembelajaran ini, pengajar memiliki peran penting. Berhasil
tidaknya pembelajaran sangat bergantung pada kemampuan pengajar. Terutama
kemampuan untuk dijadikan sebagai model atau contoh. Selain itu, pengajar harus
mampu menjadi motivator sehingga pembelajar bersemangat.
2.
Saran
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian antara
lain sebagai berikut.
a. Bagi
Pengajar
Begitu
pentingnya peran pengajar, maka hendaknya pengajar benar-benar memiliki
kompetensi yang handal. Pengajar harus benar-benar memahami karakteristik
pembelajar. Pengajar dituntun untuk dapat menjadi contoh; panutan; model bagi
pembelajar.
b. Bagi
Pengambil Kebijakan
Para
pengambil kebijakan terutama yang terkait dengan pembelajaran hendaknya
memberikan perhatian pada kecerdasan majemuk. Alangkah lebih baik jika
pembelajar ditempatkan dalam kelas yang memiliki kecerdasan sama atau
setidaknya mendekati. Hal ini untuk memudahkan pengajar dalam membimbing.
Selain itu, dalam satu kelas setidaknya terdapat dua pengajar agar pembelajar
mendapat bimbingan secara maksimal.
c. Bagi
Orang Tua
Keberhasilan
pembelajaran tidak mutlak di tangan sekolah selaku penyelenggara. Orang tua pun
memiliki andil yang tidak kalah penting. Oleh karena itu, orang tua juga harus
memahami kecerdasan majemuk. Lebih khusus, orang tua hendaknya memahami
kecerdasan dominan yang dimiliki oleh putra-putrinya. Hal ini sebagai upaya
agar pembelajaran di sekolah dapat bersinergi dengan pembelajaran di rumah.
Daftar
Pustaka
Asmani, Jamal Ma’mur. 2013. 7 Tips Aplikasi PAKEM. Yogyakarta: Diva Press.
Bandura, Albert. 1971. Social Learning Theory. New York: General Learning Press.
Bellanca, James. 2011. 200+ Strategi dan Proyek Pembelajaran Aktif untuk Melibatkan Kecerdasan
Siswa (Edisi Kedua). Jakarta: Indeks.
Cunia. 2007. Implications of Social Learning Theory.
(online) www.southalabama.edu/oll/mobile/theory_workbook/social_learning_theory.htm
diunduh 4 November 2013, pukul 10.00 WIB.
Denler, Heidi,
Christopher Wolters, dan Maria Benzon. 2013. Social Cognitive Theory. (online) www.education.com/reference/article/social-cognitive-theory/ diunduh 2 November 2013, pukul 20.00 WIB.
DePorter, Bobbi dan
Mike Hernacki. 2013. Quantum Learning.
Bandung: Kaifa.
Feez, Susan dan
Helen Joice. 2002. Test-Based Syllabus
Design. Sydney: Macquarie University Press.
Hill, Wilfred F. 2010. Theories of Learning. Bandung: Nusamedia.
Henard, Fabrice dan Deborah Roseveare. 2012. Fostering Quality Teaching in Higher
Education: Policies and Practices. Perancis: IMHE.
Hughes, A. G dan E.H. Hughes. 2012. Learning and Teaching. Bandung: Nuansa.
Ismawati, Esti. 2009. Perencanaan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Cawanmas.
Jacobsen, David A, Paul Eggen, dan Donald Kauchak.
2009. Methods for Teaching
(Terjemahan. Ed. 8). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Joyce, Bruce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun. 2011. Model-model Pengajaran. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Makka, Muh. Abduh. TT. Aplikasi Teori Kognitif dan Model Pembelajaran Konstruktivisme dalam
Pembelajaran IPA SD. http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=203:kognitif&catid=42:widyaiswara&Itemid=203
(diunduh 7 Oktober 2013, pukul 10.00 WIB).
Mulyatiningsih, Endang. 2010. “Pembelajaran Aktif,
Kreatif, Inovatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAIKEM)” dalam Diklat Peningkatan Kompetensi Pengawas dalam
Rangka Penjaminan Mutu Pendidikan P4TK Bisnis dan Pariwisata Depok, tanggal
23-25 Agustus 2010.
Sarbiran, Putu Sudira, dan Priyanto. TT. Pembelajaran Inovatif di SMK. Eprints.uny.id/6075/1/037-Pembelajaran_inovatif_di_SMK.pdf.
Supriadie, Didi dan Deni Darmawan. 2012. Komunikasi Pembelajaran. Bandung: Rosda.
Suryaman. 2004. “Penerapan Model Pembelajaran Suatu
Inovasi di Perguruan Tinggi (Tantangan Umum Pendidikan Tinggi)” dalam Jurnal Pendidikan IKIP PGRI Madiun. Volume
10, Nomor 1, hlm. 1-14, Juni.
Wahyuni, Sri dan Abdul Syukur Ibrahim. 2012. Perencanaan Pembelajaran Bahasa Berkarakter.
Bandung: Refika Aditama.
Wardoyo, Sigit Mangun. 2013. Pembelajaran Berbasis Riset. Jakarta: Akademia Permata.
No comments:
Post a Comment