Raman
Selden menyatakan bahwa feminisme lahir pada abad 20. Hal ini seiring dengan
perkembangan gender yang dimunculkan oleh Barat. Dalam gender disampaikan
perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Maraknya gender terjadi karena
adanya perlakuan yang tidak seimbang atau tidak adil antara laki-laki dan
perempuan. Hal inilah yang kemudian menyebabkan beberapa orang beranggapan dan
merasa perlu untuk memperjuangkan hak-hak perempuan agar sama dengan laki-laki.
Gender
mengakomodasi persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Apabila laki-laki
dapat bekerja sebagai dokter, polisi, dan direktur, maka perempuan juga bisa. Perempuan
tidak hanya mengerjakan pekerjaan rumah, tetapi juga mengerjakan berbagai
kegiatan di luar rumah. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi lahirnya
feminisme.
Kritik
sastra adalah mencari kesalahan, memuji, menilai, membandingkan, dan menikmati
(Suroso: 53). Menurut Moeliono, feminisme secara leksikal adalah gerakan kaum
perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan
laki-laki (Sugihastuti: 61). Menurut Culler dalam Suroso (2009: 7) kritik
sastra feminis adalah membaca sebagai perempuan. Maksudnya adalah kesadaran
pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan
perebutan makna karya sastra.
Menurut
Yoder dalam Puji Santoso (2009: 5) kritik sastra feminis bukan berarti
pengritik perempuan atau kritik tentang perempuan, atau kritik tentang
pengarang perempuan. Kritik sastra feminis arti sederhananya adalah pengritik
memandang sastra dengan kesadaran khusus. Kesadaran bahwa ada jenis kelamin
yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Berdasarkan
uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa kritik feminisme berarti ketika kita
mengritik sastra, kita memposisikan sebagai perempuan. Tujuan
dari kritik sastra feminisme ini adalah untuk mengangkat derajat perempuan.
Dalam sebuah naskah drama yang ditulis oleh laki-laki, perempuan sebagai
tokohnya selalu dieksploitasi. Segala hal yang menarik dari perempuan akan
digunakan sebagai daya tarik karya tersebut.
Hal
ini menunjukkan bahwa perempuan adalah makhluk ke dua, setelah laki-laki. Bagi
para feminisme, hal tersebut sangat menyakitkan. Oleh karena itu, perlu
dilakukan pembelaan-pembelaan kaum perempuan dalam karya sastra melalui kritik
sastra.
Tokoh-tokoh
yang mengusung kritik feminisme antara lain Culler, Yoder, Raman Selden, Elaine
Showalter, Weedon, Humm, Simone de Beauvoir, Kathe Millet, Betty Friedan, dan
Germain Greer (Sugihastuti: 11).
Kritik
feminisme merupakan analisis struktural kualitatif. Mengarahkan fokus analisis
yang mencakup struktur teks, eksistensi dan peran tokoh perempuan sebagai
individu, anggota keluarga, dan anggota masyarakat, serta pandangan dan
perlakuan dunia di dekitar tokoh perempuan mengenai tokoh perempuan dalam teks
sastra (Suroso: 74). Menurut Raman Selden, kritik feminisme merupakan sebuah
reinterpretasi global semua pendekatan, dari sebuah pendirian yang berbeda
dengan teori-teori sastra pada umumnya (Suroso: 53).
Salah satu kegiatan awal para pengritik
sastra feminisme adalah menggali, mengkaji, serta menilai karya penulis-penulis
wanita dari masa-masa silam untuk diangkat ke panggung sejarah sastra mereka
(Suroso: 53).
Lima
fokus pembicaraan dalam kritik feminisme adalah
1. Biologi,
menempatkan wanita hanya sebagai “kandungan”, lebih inverior, lembut, lemah,
dan rendah;
2. Pengalaman,
seringkali wanita dipandang hanya memiliki pengalaman terbatas, masalah
menstruasi, melahirkan, menyusui, memelihara anak, dan ibu rumah tangga;
3. Wacana,
biasanya wanita lebih rendah penguasaan bahasa, sedangkan laki-laki memiliki
“tuntutan kuat”, akibatnya menimbulkan sterotif negatif pada wanita sebagai
teman belakang;
4. Ketaksadaran,
seksual wanita bersifat revolusioner, subversif, beragam, dan terbuka, yang
tidak disadari oleh kaum laki-laki; dan
5. Kondisi sosial dan
ekonomi, pengarang feminis sering menghadirkan tuntutan sosial ekonomi yang
berbeda dengan kaum laki-laki.
Sementara
itu, Michele Barrett menyarankan agar kritik feminis mampu menganalisis sastra melalui tiga aspek, yaitu1) kritikus hendaknya
mampu membedakan material sastra yang digarap penulis laki-laki dan wanita,
sebab hal itu mempengaruhi bentuk dan isi yang mereka tulis; 2) ideologi
gender sering mempengaruhi hasil karya tulisannya, tentu ada perbedaan prinsip
antara penulis laki-laki dengan penulis wanita dalam meyakini kehidupan; dan 3) kritikus
feminis harus memperhitungkan kodrat fiksional teks sastra dan tidak
memperturutkan “moralitas yang merajalela” dengan mengutuk semua penulis
laki-laki yang mengeksploitasi masalah seks dalam buku mereka.
No comments:
Post a Comment