PERBANDINGAN “BENGAWAN SORE” DAN “LINGSIR WENGI”
(ANALISIS KONTEKSTUAL, INFERENSI, NILAI PENDIDIKAN)
Abstract: People like campursari. Campursari is new genre of
music. This is only in Indonesia. Campursari is combination of traditional and
modern music. Solo is the central of campursari. “Bengawan Sore” and “Lingsir
Wengi” are the popular song. We will analysis this song with contextual
analysis, inferential, and education value. The kinds of contextual analysis
are principle of personal meaning, principle of location meaning, principle of
temporal meaning, and principle of analogy. “Bengawan Sore” use first
pronominal, at Bengawan Solo river, in the twilight. The educational value is human
must believe in God. “Lingsir Wengi” use first possessive pronoun, in the room
of home, in the night. The educational value is human must be careful with
everything in their live.
Keywords: comparison, contextual analysis,
inferential, education value
Lagu merupakan salah satu bentuk
seni. Seni itu sendiri merupakan hasil kreasi manusia yang indah. Lagu memiliki
bermacam-macam fungsi, salah satu fungsinya adalah sebagai sarana hiburan.
Berdasarkan isinya, lagu bisa dikategorikan dalam lagu himne, lagu perjuangan,
lagu religi, dan lagu parody. Berdasarkan bentuknya, lagu dapat digolongkan
dalam lagu klasik, campursari, keroncong, dangdut, jaz, dan popular.
Campursari
sendiri merupakan lagu yang bersyair bahasa Jawa dengan menggunakan musik
popular pada umumnya. Jadi, bisa dikatakan bahwa campursari merupakan aliran
music perpaduan tradisional Jawa dengan musik modern. Perpaduan dua hal inilah
yang kemudian membuat campursari menjadi menarik untuk dinikmati.
Pada
kesempatan kali ini akan dianalisis dua lagu campursari, terkait dengan
analisis kontekstual, inferensi, dan nilai pendidikannya.
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui makna kontekstual dan makna tekstual yang
dimiliki atau terdapat dalam tiap lagu campursari tersebut.
Melalui penelitian ini diharapkan
diketahui hal-hal yang melingkupi lagu-lagu campursari tersebut, baik secara tak
langsung atau kontekstual maupun secara langsung atau tekstual.
Lagu
merupakan salah satu bentuk kreasi cipta, rasa, dan karya manusia. Lagu
memiliki nilai estetika yang tinggi. Lagu terbangun atas dua komponen, yakni
syair atau lirik dan music. Syair atau lirik dalam lagu merupakan hasil
perenungan penciptanya, demikian juga dengan music yang mengiringinya. Musik
yang mengiringi syair tidak semerta-merta digabungkan, tetapi harus ada
kesesuaian sehingga tersampaikan maksud penulis kepada penikmat.
Tulisan
ini mencoba mengupas syair yang terdapat pada lagu campursari, sedangkan music
tidak masuk dalam objek penelitian ini. Syair dalam lagu memiliki persamaan
dengan puisi, baik pada bentuk maupun pada isi. Hal ini bisa dilihat pada
musikalisasi lagu. Ada beberapa puisi yang membawakannya dengan diiringi music,
meskipun antara syair dan music itu sendiri bukan merupakan satu kesatuan.
Tetapi
tak jarang juga dijumpai lagu yang ternyata syairnya berasal dari sebuah puisi.
Misalnya lagu yang dibawakan oleh Bimbo yang berjudul ‘Sajadah Panjang Terbentang’. Syair lagu ini merupakan puisi karya
Taufik Ismail yang kemudian oleh Bimbo diberi iringan musik. Bahkan syair ini
kurang popular ketika berbentuk puisi, tetapi begitu dinyanyikan oleh Bimbo,
lagu ini menjadi sangat terkenal. Orang justru mengetahui puisi ini sebagai
lagu.
Sama
halnya dengan sebuah puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul ‘Mencintaimu dengan Sederhana’. Oleh
Memes, puisi ini dinyanyikan dengan diiringi aransemen musik yang sangat indah.
Adapun yang memberikan iringan musik itu adalah Adi MS yang tidak lain dan
tidak bukan suami Memes. Dan ternyata puisi ini ketika disampaikan dalam bentuk
lagu lebih mudah dipahami. Melalui lagu, penikmat lebih mudah memahami isi atau
maksud puisi tersebut.
Dari
kedua hal di atas dapatlah membuktikan bahwa pada prinsipnya terdapat persamaan
antara syair lagu dengan puisi. Oleh karena itu, teori yang akan digunakan
untuk mengupas syair, sama dengan yang digunakan dalam puisi.
Jan
van Luxemburg (1989, 175) menyatakan teks puisi adalah teks monolog yang isinya
tidak semata-mata sebuah alur. Cirri puisi yang paling menonjol ialah
penampilan tipografik. Seketika kita melihat sebuah teks yang larik-lariknya
tidak terus sampai ke tepi halaman.
Definisi
puisi menurut Altenbernd (Rachmat Djoko Pradopo, 1995; 5-6) adalah pendramaan
pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama
(bermetrum) (as the interpretive
dramatization of experience in metrical language).
Shahnon
Ahmad dalam Rachmat Djoko Pradopo (1995;7) menyebutkan garis besar sebuah puisi
terdiri dari emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera,
susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.
Menurut
Rachmat Djoko Pradopo (1995;7) puisi mengekspresikan pemikiran yang
membangkitkan perasaan. Juga merangsang imajinasi pancaindera dalam susunan
yang berirama.
Herman
J. Waluyo ( 2008;77) menyatakan untuk memahami puisi, ada dua hal yang harus
dimengerti dan dipahami pembaca, yakni struktur fisik dan struktur batin.
Struktur fisik berkenaan dengan faktor kebahasaan. Struktur fisik puisi
berkaitan dengan diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif atau majas,
versifikasi, dan tata wajah puisi atau tipografi. Struktur batin puisi terdiri
dari: tema, perasaan atau feeling,
nada dan suasana, serta amanat atau pesan.
Berikut
ini akan dibahas tiap struktur pembentuk puisi,baik struktur fisik maupun
struktur batin.
1. Struktur
fisik
a. Diksi
(pemilihan kata)
Hendaknya disadari bahwa kata-kata
dalam puisi bersifat konotatif, artinya memiliki kemungkinan makna lebih dari
satu. Kata-katanya juga dipilih yang puitis, yaitu memiliki efek keindahan dan
berbeda dari kata-kata yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
Begitu pentingnya kata-kata dalam
puisi, sehingga penyair berhati-hati dalam menggunakan. Berikut ini beberapa
hal yang dapat dilakukan untuk memahami puisi yang berkaitan dengan diksi.
· Perbendaharaan
kata
Perbendaharaan kata penyair sangat
penting sebagai kekuatan ekspresi sekaligus cirri khas penyair. Dalam memilih
kata-kata, penyair mempertimbangkan makna yang akan disampaikan dan tingkat
perasaan serta suasana batinnya. Selain itu, juga dilatarbelakangi oleh faktor
social budaya penyair. Perbedaan asal, suku, agama, pendidikan, jenis kelamin
akan menghasilkan diksi yang berbeda pula.
· Urutan
kata
Dalam puisi, urutan kata bersifat
tetap. Artinya, urutan kata itu tidak bisa dipindahtempatkan. Tiap penyair atau
penulis memiliki ciri khusus dalam meletakkan urutan kata-kata yang digunakan
dalam puisinya.
· Daya
sugesti kata-kata
Dalam memilih kata-kata, penyair
mempertimbangkan daya sugesti yang dimiliki kata-kata tersebut. Sugesti itu
ditimbulkan oleh makna kata yang dipandang sangat tepat untuk mewakili perasaan
penyair. Karena ketepatan pilihan dan penempatan kata-kata yang digunakan
penyair, mampu memberikan sugesti kepada pembaca untuk ikut sedih, terharu,
bersemangat, marah dan perasaan lainnya.
b. Pengimajian
Pengimajian dapat dibatasi dengan pengertian kata
atau susunan kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti
penglihatan, pendengaran, dan perasaan (Herman J Waluyo, 2008;91).
Pengimajian ditandai dengan penggunaan kata-kata
konkret dan khas. Adapun imaji yang biasanya dimunculkan yakni imaji visual,
imaji auditif, imaji taktil. Ketiganya digambarkan atas bayangan konkret apa
yang dapat kita hayati secara nyata.
Pengimajian juga berarti mengingatkan kembali
pengalaman yang pernah terjadi. Pengimajian disebut juga pencitraan. S Effendi
dalam Herman J Waluyo (2008;93) menyatakan pengimajian dalam sajak dapat
dijelaskan sebagai usaha penyair untuk menciptakan atau menggugah timbulnya
imaji dalam diri pembacanya. Diharapkan pembaca tergugah untuk menggunakan mata
untuk melihat benda-benda, warna. Dengan telinga dapat mendengar bunyi-bunyian
dan dengan perasaan dapat menyentuh kesejukan dan keindahan benda dan warna.
c. kata
konkret
Untuk membangkitkan imaji atau daya baying pembaca,
maka kata-kata yang digunakan harus konkret. Maksudnya, kata-kata itu dapat
merujuk pada makna kata secara menyeluruh. Kata yang konkret berkaitan erat
dengan penggunaan kiasan dan lambang. Semakin pandai penyair mengkonkretkan
kata, maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasakan apa yang
dilukiskan oleh penyair.
d. Bahasa
figuratif atau majas
Bahasa figuratif merupakan bahasa yang memiliki
makna kias atau bukan makna sebenarnya. Bahasa figuratif digunakan penyair
untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni tidak langsung
mengungkapkan maknanya.
Bahasa figuratif dipandang lebih efektif untuk
menyatakan maksud penyair karena: (1) bahasa figurative mampu menghasilkan
kesenangan imajinatif, (2) bahasa figurative adalah cara untuk menghasilkan
imajinasi tambahan dalam puisi, sehingga yang abstrak jadi konkret dan
menjadikan puisi lebih nikmat untuk dibaca, (3) bahasa figurative merupakan
cara menambah intensitas perasaan penyair untuk puisinya dan menyampaikan sikap
penyair, (4) bahasa figurative merupakan cara untuk mengkonsentrasikan makna
yang hendak disampaikan (Perrine dalam Herman J Waluyo, 2008;96-97).
e. Versifikasi
(rima dan ritma)
Rima merupakan pengulangan bunyi dalam puisi untuk
membentuk musikalitas. Dengan pengulangan bunyi ini, puisi menjadi merdu jika
dibaca. Untuk mengulang bunyi ini, pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan
dalam suasana puisi.
Ritma berhubungan erat dengan bunyi dan juga
pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Ritma juga dapat dibayangkan
seperti tembang mocopat dalam tembang Jawa. Ritma berasal dari bahasa Yunani
yang berarti gerakan-gerakan air yang teratur, terus-menerus, dan tidak
putus-putus.
f. Tata
wajah puisi atau tipografi
Tipografi lebih kepada bentuk puisi itu sendiri.
Bentuk puisi yang nampak secara fisik. Bagaimana penulis menyusun dan menata
kata demi kata yang digunakan, sehingga membantu pembaca dalam memahami makna
puisi. Tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan prosa dan
drama. Puisi konvensional tidak memiliki tipografi yang rumit. Umum saja
terdiri dari beberapa bait, tiap bait terdiri dari beberapa baris atau larik.
Sementara dalam puisi inkonvensional memang sering dijumpai bentuk puisi yang
sedikit berbeda, terutama pada puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri.
2. Struktur
batin
Struktur ini mengungkapkan apa yang hendak
dikemukakan oleh penyair dengan perasaan dan suasana jiwanya.
a. Tema
(sence)
Tema merupakan gagasan pokok atau subject-master
yang dikemukakan oleh penyair yang menjadi landasan utama penulisannya. Tema
puisi harus dihubungkan dengan penyairnya dengan konsep-konsep yang
terimajinasikan. Oleh karena itu, tema bersifat khusus (penyair), tetapi
objektif (bagi semua penafsir), dan lugas (tidak dibuat-buat).
Tema-tema dalam puisi biasanya ketuhanan,
kemanusiaan, patriotism atau kebangsaan, kedaulatan rakyat, dan keadilan
sosial.
b. perasaan
(feeling)
Dalam menciptakan puisi, suasana perasaan penyair
ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. Untuk mengungkapkan
tema yang sama, tiap penyair memiliki perbedaan dalam mengungkapkannya. Oleh
karena itu, meskipun temanya sama, tetapi puisi yang dihasilkan akan berbeda.
c. nada
dan suasana (intention)
Dalam menulis puisi, penyair mempunyai sikap
tertentu terhadap pembaca. Sikap itu bisa berupa menggurui, menasihati,
mengejek, menyindir, atau bersikap lugas. Jika nada merupakan sikap penyair
terhadap pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca
puisi itu atau akibat psikologis yang ditimbulkan terhadap pembaca.
d. amanat
atau pesan
Amanat berhubungan dengan makna karya sastra (meaning and significance). Amanat yang
hendak disampaikan oleh penyair secara sadar berada dalam pikiran penyair,
tetapi lebih banyak penyair tidak sadar akan amanat yang diberikan.
Tafsiran tentang amanat puisi mungkin dan dapat
berbeda-beda. Untuk memahami amanat puisi perlu dipahami dasar pandangan,
filosofi, dan aliran yang dimuat oleh pengarang.
Ketajaman apresiasi pembaca dalam menentukan amanat
penyair ditentukan oleh pengalamannya bergulat membaca dan terlibat secara
penuh dengan puisi.
Lagu
Campursari
Lagu merupakan salah
satu hasil cipta manusia yang paling indah. Dikatakan demikian karena terdapat
dua hal dalam lagu, yakni lirik atau syair dan musik. Syair atau lirik dan
music yang terdapat dalam lagu memiliki keterikatan yang sangat erat. Keduanya saling
mempengaruhi, sehingga terciptalah harmonisasi yang sangat indah. Keindahan
lagu bukan hanya dari musiknya, tetapi juga dari syairnya.
Pada dasarnya lagu
campursari sama dengan lagu-lagu pada umumnya. Campursari itu sendiri berasal
dari bahasa Jawa, campur dan sari. Campur berarti berkumpul dan sari
berarti inti atau yang baik. Jadi, campursari berarti berkumpulnya seni atau
lagu yang baik.
Campursari pertama kali
diperkenalkan oleh Manthos dari Gunungkidul. Syair-syair atau lirik dalam lagu
campursari menggunakan bahasa Jawa, sementara music yang mengiringi sama dengan
music pada umumnya. Oleh karena itu, dapat pula dikatakan bahwa sebenarnya yang
membedakan jenis campursari dan lagu yang lain adalah pada bahasa yang
digunakan. Atau kalau boleh dikatakan bahwa campursari merupakan lagu berbahasa
Jawa yang diiringi music modern. Sementara yang selama ini ada, musik modern
atau popular digunakan untuk mengiringi lagu-lagu modern atau popular juga yang
menggunakan bahasa Indonesia.
Sedangkan selama ini lagu
yang berbahasa Jawa akan diiringi oleh music tradisional atau gamelan. Ada juga
yang menyebutnya dengan karawitan. Namun tidak pada campursari. Oleh karena itu
bisa disimpulkan bahwa campursari merupakan perpaduan antara tradisional dan
modern.
Analisis
Konteks dan Inferensi
Yang
dimaksud dengan konteks wacana adalah aspek-aspek internal wacana dan segala
sesuatu yang secara eksternal melingkupi sebuah wacana. Konteks wacana dapat
dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu konteks bahasa dan konteks luar bahasa.
Konteks bahasa disebut ko-teks, sedangkan konteks luar bahasa disebut dengan
konteks situasi dan konteks budaya (Sumarlam, 2008;47). Konteks bahasa disebut
juga konteks internal, sedangkan segala sesuatu yang melingkupi wacana, baik
konteks situasi maupun budaya disebut dengan konteks eksternal.
Selain
pemahaman tentang konteks, inferensi juga merupakan proses yang sangat penting
dalam memahami wacana. Inferensi adalah proses yang harus dilakukan penikmat
untuk memahami maksud pembicara atau penulis. Pemahaman ini tidak bisa
dilakukan secara harfiah, melainkan harus didasari pula pemahaman makna
berdasarkan konteks social dan budaya. Pemahaman konteks, baik internal maupun
eksternal merupakan dasar inferensi atau pengambilan simpulan.
Pemahaman konteks
situasi dan budaya dalam wacana dapat dilakukan dengan berbagai prinsip
penafsiran dan prinsip analogi. Prinsip yang dimaksud ialah prinsip penafsiran
personal, prinsip penafsiran lokasional, prinsip penafsiran temporal, dan
prinsip analogi. Pemahaman wacana melalui berbagai prinsip penafsiran dan
analogi itu tentu saja akan dipengaruhi faktor social, situasional, cultural,
dan pengetahuan tentang dunia.
1. Prinsip
Penafsiran Personal
Prinsip ini berkaitan dengan siapa sesungguhnya yang
menjadi partisipan dala suatu wacana. Dalam hal ini, siapa penutur dan siapa
mitra tutur sangat menentukan makna sebuah tuturan. Segala hal yang berkaitan
orang yang berbicara, baik dari usia maupun jenis kelamin.
2. Prinsip
Penafsiran Lokasional
Prinsip ini berkenaan dengan penafsiran tempat atau
lokasi terjadinya suatu situasi, baik berupa keadaan, peristiwa, dan proses
dalam rangka memahami wacana.
3. Prinsip
Penafsiran Temporal
Prinsip penafsiran temporal berkaitan dengan
pemahaman mengenai waktu. Berdasarkan konteks wacana dapat diketahui atau
ditafsirkan kapan atau berapa lama waktu terjadinya suatu situasi. Situasi
dalam wacana bisa berupa peristiwa, keadaaan, maupun proses.
4. Prinsip
Analogi
Prinsip analogi digunakan sebagai dasar, baik
penutur maupun mitra tutur, untuk memahami makna dan mengidentifikasi maksud
sebuah wacana, baik makna sebagian maupun keseluruhan.
Penerapan berbagai prinsip penafsiran dan prinsip
analogi dalam analisis wacana tidaklah mudah. Penafsiran personal, lokasional,
temporal, dan prinsip analogi dalam pelaksanaannya dapat menyangkut
persoalan-persoalan yang lebih rumit. Hal ini terjadi karena berkaitan juga
dengan konteks situasi, social, dan budaya. Unsur-unsur siapa yang berbicara,
kepada siapa, bagaimana tuturan yang digunakan, di mana dan kapan situasi
terjadi, serta unsur-unsur realitas lain
yang terkait dengan sutau peristiwa menjadi sangat penting untuk menganalisis
sebuah wacana.
5. Inferensi
Inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh
komunikan, baik pembaca, pendengar, maupun mitra tutur. Proses ini dilakukan
untuk memahami makna wacana secara tersirat. Proses ini dilakukan untuk
mengambil simpulan atas keseluruhan isi wacana.
Untuk dapat mengambil inferensi dengan baik atau
tepat maka komunikan dalam hal ini mitra tutur harus memahami konteks dengan
baik. Hal ini dikarenakan konteks merupakan dasar bagi inferensi.
Bermacam-macam inferensi dapat diambil dari sebuah
tuturan, bergantung pada konteks yang menyertainya. Imam Syafi’i dalam Sumarlam
(2008;51) membedakan empat macam konteks pemakaian bahasa, yaitu konteks fisik,
epistemis, konteks linguistik, dan konteks sosial. Konteks fisik meliputi
tempat terjadinya pemakaian bahasa, objek yang disajikan dalam peristiwa
komunikasi, dan tindakan para partisipan dalam peristiwa komunikasi itu. Konteks
epistemis yaitu latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh
penutur dan mitra tutur. Konteks linguistik terdiri atas tuturan-tuturan yang
mendahului atau yang mengikuti sebuah tuturan tertentu dalam komunikasi.
Konteks sosial yaitu relasi sosial yang melengkapi hubungan antara penutur
dengan mitra tutur.
“Bengawan
Sore”
Ning pinggiring Bengawan (di tepi
Bengawan)
Tansah setyo (selalu setia)
Ngenteni sliramu (menunggumu)
Eling-eling jamane semono (teringat masa
lalu)
Wis ndungkap pitung ketigo (sudah lewat
7 kemarau)
Ning pinggiring Bengawan (di tepi
Bengawan)
Saben-saben (selalu saja)
Mung tangsah kelingan (hanya teringat)
Wus prasetyo ing janji (sudah setia pada
janji)
Kang suci (yang suci)
Ing lahir terusing ati (yang berasal
dari lubuk hati)
Senadyan koyo nopo (meski bagaimana pun)
Manungso mung biso (manusia hanya bisa)
Ngreko lan njongkang (merencanakan dan
menggagalkan)
Gusti kang paring idi (Tuhan yang
menetapkan)
Lan pesti (dan memutuskan)
Kita sak dermo nglampahi (kita hanya bisa
menjalani)
Ning pinggiring bengawan (di tepi
Bengawan)
Wayah sore (ketika sore hari)
Tan soyo kelingan (semakin teringat)
Gawang-gawang esemu (bayangan senyummu)
Cah ayu (gadis cantik)
Gawe sedihing atiku (membuat sedih
hatiku)
Berikut ini akan coba
dianalisis
1. Prinsip
Penafsiran Personal
Prinsip personal
merupakan makna yang merujuk pada orang atau pelaku. Pada syair lagu ini “ngenteni sliramu” menunjukkan bahwa ada
seseorang, yaitu kamu yang sedang ditunggu-tunggu. Kamu di sini adalah seorang
perempuan yang ditulis dengan “gawang-gawang
esemu” dan “Cah ayu”. Dua frasa
tersebut menyatakan bahwa yang ditunggu adalah seorang perempuan cantik dengan
senyum yang selalu terbayang di pelupuk mata.
Aku seorang laki-laki
ditunjukkan pada “gawe sedihing atiku”.
Laki-laki ini merasa sedih karena teringat pada kekasih yang tak bisa
dimilikinya.
2. Prinsip
Penafsiran Lokasional
Prinsip penafsiran
lokasi merupakan makna yang merujuk pada tempat. Syair tersebut mengisyaratkan
bahwa tempat kejadian ada di tepi sungai Bengawan. “Ning pinggiring Bengawan” ini menunjukkan bahwa di tempat ini
mereka pernah bertemu dan menyatakan komitmen. Komitmen untuk memadu kasih dan
hidup bersama, meski pada akhirnya tidak terwujud.
Begitu panjang tempat
yang mungkin laki-laki ini gunakan untuk bertemu dengan kekasihnya. Ada
kemungkinan tempat ini di Jurug atau tepatnya di kebun binatang ‘Jurug’ Solo
yang kebetulan juga berada di tepi sungai Bengawan Solo. Meski tidak ada
pernyataan yang menyatakan dengan tegas bahwa tempat kejadian ini adalah Taman
Jurug, pembaca atau penikmat dapat dengan mudah mengerti. Hal ini karena
biasanya di sinilah para remaja bertemu sekadar untuk ngobrol.
3. Prinsip
Penafsiran Temporal
Prinsip penafsiran
temporal merupakan makna yang merujuk pada waktu. “Wayah sore” menunjukkan bahwa kejadian ini terjadi di sore hari.
Tergambar dengan jelas bahwa laki-laki ini mengalami rindu yang sangat kepada
kekasihnya. Dulu, tepatnya “wis ndungkap pitung ketigo” tujuh tahun yang lalu, mereka masih bersama.
Mereka berjanji untuk hidup bersama. Namun semua itu tinggal kenangan “eling-eling jamane semono”. Apa yang
pernah mereka ikrarkan harus direlakan tidak terwujud. Meski kejadian ini sudah
relatif lama, tetapi si laki-laki masih tetap mengingat kejadian itu. Bahkan
masih tetap merindukan kekasihnya itu.
Selain itu, tempat
kejadian juga dapat diketahui dari judul lagu “Bengawan Sore”. Keadaan sore hari membuat laki-laki menjadi
semakin teringat pada kekasihnya “tan
soyo kelingan”.
4. Prinsip
Analogi
Prinsip analogi
merupakan memberi makna berdasarkan kemungkinan yang terjadi. “Tansah setyo” dan “ngenteni sliramu” dari dua larik ini dapat diketahui bahwa si
laki-laki masih begitu mencintai kekasihnya. Bahkan masih dengan setia menunggu
kehadiran kekasihnya. Si laki-laki masih mengharapkan kekasihnya kembali
kepadanya. Meski perpisahan mereka sudah berjalan tujuh tahun, tetapi si
laki-laki masih setia menanti.
Si laki-laki bisa
memahami dan menerima keadaan ini. “Senadyan
koyo nopo” begitu besar rasa cinta yang laki-laki miliki pada seorang
perempuan, tetapi semua itu tidak bisa mengalahkan kehendak Tuhan. Manusia hanya
mampu merencanakan “manungso mung biso”.
“Ngreko lan njongkang” si laki-laki
tidak kuasa untuk melakukan apa-apa, meski segala sesuatunya telah direncanakan
sedemikian rupa. Namun Tuhan lah yang memutuskan, apa yang harus terjadi dengan
mereka berdua. Tuhan lah yang menentukan kebersamaan mereka “Gusti kang paring idi” dan “lan pesti”.
“Kita
sak dermo nglampahi” laki-laki dengan besar hati berusaha
menerima kenyataan. Ia menyadari bahwa manusia memang hanya bisa menjalani.
Menjalani kehidupan ini dengan sepenuh hati. Menerima dengan ikhlas apa yang
telah digariskan oleh Yang Mahakuasa.
5. Inferensi
Lagu ini bercerita
tentang sepasang kekasih. Mereka pernah berjanji untuk bersama-sama menjalani
hidup. Janji ini mereka ucapkan ketika berada di pinggir sungai Bengawan Solo.
Kejadian ini terjadi pada sore hari.
Namun janji tinggal
janji. Tanpa alasan yang jelas, mereka berpisah. Si laki-laki berusaha menerima
semua ini dengan menggangapnya sebagai jalan hidup yang memang harus dilalui.
Meskipun begitu, si laki-laki tetap mengharapkan bahwa suatu hari nanti bisa
bertemu dan bersama-sama lagi.
Begitu cintanya
laki-laki itu pada kekasihnya, meski telah tujuh tahun berpisah masih tetap
setia menanti. Si laki-laki masih merasakan rindu yang begitu besar pada kekasihnya
dan itu akan semakin terasa bila sore hari. Rindu yang begitu menyakitkan hati.
Sampai-sampai selalu terbayang senyum manisnya.
6. Nilai
Pendidikan
Sebuah pelajaran yang
bisa diambil dari syair lagu ini adalah bahwa sebesar apa pun keinginan dan
rencana yang dibuat oleh manusia, Tuhan lah yang akan menentukan hasil
akhirnya. Sekuat apa pun rasa cinta yang dimiliki oleh seseorang untuk orang
yang disayangi, bila tidak berjodoh, maka tidak akan bisa bersama. Oleh karena
itu, jalani saja hidup ini dengan senyum. Hal itu sebagai wujud keistiqomahan
kepada Sang Pencipta Alam.
“Lingsir
Wengi”
Lingsir wengi
(datang malam)
Sepi durung biso
nendro (sepi belum bisa tidur)
Kagodo mring
wewayang (tergoda pada masa lalu)
Angerindu ati
(merindukan sesuatu)
Kawitane mung
sembrono (awalnya hanya becanda)
Njur kulino
(lalu terbiasa)
Ra ngiro yen
tresno (akhirnya menjadi cinta)
Nanging duh
tibane (tetapi ternyata)
Aku dewe kang
nemahi (aku sendiri yang menderita)
Nandang bronto
(merasakan rindu)
Kadung loro
(telanjur sakit)
Sambat-sambat
sopo (mau cerita pada siapa)
Rino wengi
(siang dan malam)
Sing tak puji
ojo lali (harapanku supaya tidak lupa)
Janjine mugo
bisa (semoga janjimu)
Tak ugemi (bisa
kupegang)
Tiap lagu mengandung
pesan dan cerita yang berbeda-beda. Bila sebelumnya telah dibahas lagu berjudul
“Bengawan Sore” maka kali ini akan
dianalisis syair lagu berjudul “Lingsir Wengi”.
1. Prinsip
Penafsiran Personal
“Aku dewe kang
nemahi” kata ganti orang pertama ‘aku’ bisa mengacu pada
laki-laki atau perempuan, bergantung pada pendengarnya. Makna ‘aku’ bergantung
pada siapa yang menyanyikan, bila yang menyanyikan laki-laki maka aku adalah
laki-laki. Tetapi bila yang menyanyikan perempuan, maka aku diartikan sebagai
perempuan. Hal ini berbeda dengan lagu sebelumnya, bila di syair “Bengawan Sore” terdapat “cah ayu” yang berarti perempuan, maka
di lagu ini tidak.
“Sing tak puji
ojo lali” dari baris ini tampak kata ganti orang pertama
dengan menggunakan kata ‘tak’. Dalam bahasa Indonesia sama dengan ‘ku’ kata
ganti milik orang pertama. Hal ini senada pada baris “tak ugemi”.
“Janjine mugo
bisa” pada baris ini ‘ne’ mengacu pada kata ganti milik orang kedua. Yang
dimaksud dalam baris ini adalah orang dirindui oleh orang yang menyanyikan lagu
tersebut.
2. Prinsip
Penafsiran Lokasional
Latar tempat pada syair lagu ini adalah di sebuah
kamar. Seseorang yang merasakan rindu pada pujaan hatinya. Ketika yang lain
sudah tertidur, ‘aku’ penyanyi tidak bisa tidur. Dia masih memendam rindu pada
kekasihnya.
3. Prinsip
Penafsiran Temporal
Latar tempat pada syair lagu ini terjadi sepanjang
hari, utamanya pada malam hari. Hal ini tanpak pada “lingsir wengi” itu berarti menjelang malam tiba. Peristiwa dalam
syair ini terjadi sepanjang hari “rino
wengi”. Aku dalam hal ini penyanyi merasa tersiksa. Pada malam hari yang
sepi “sepi durung biso nendro” belum
bisa tidur. Bahkan sampai tengah malam, juga belum bisa tidur. Hal ini terjadi
karena memendam rasarindu pada seserang.
4. Prinsip
Analogi
Pada lagu ini digambarkan bagaimana perasaan cinta
yang dimiliki ‘aku’ penyanyi berawal dari bercanda “kawitane mung sembrono” lalu lama-lama menjadi terbiasa “njur kulino”. Sungguh di luar dugaan,
sesuatu yang awalnya tidak disengaja, menjadi kebiasaan lalu menjadi cinta “ra ngiro yen tresno”.
“Nandang
bronto” penyanyi merasakan rindu yang teramat sangat,
meskipun perasaan ini tidak diniati sebelumnya. “Kadung loro” sekarang sudah telanjur benar-benar mencintai.
Penyanyi tak tahu harus mengeluh atau bercerita pada siapa tentang perasaannya
itu “sambat-sambat sopo”.
5. Inferensi
Lagu ini bercerita tentang seseorang yang begitu
merindui kekasihnya. Awal pertemuan
mereka sebenarnya tidak disengaja. Artinya, semula mereka hanya bertemu dan
bercanda. Namun lama-lama candaan ini menjadi kebiasaan. Kebiasaan ini telah
menumbuhkan rasa lain pada diri keduanya, yakni rasa cinta.
Cinta yang begitu besar menyebabkan sulit tidur.
Bahkan tengah malam ketika orang-orang tidur terlelap, aku penyanyi justru
tidak bisa tidur. Dia terus teringat pada kekasihnya. Namun dia tidak tahu akan
bercerita pada siapa, tentu saja hal ini karena semua sudah tertidur pulas.
Namun demikian, keduanya telah berkomitmen. Dan aku
penyanyi berusaha memegang komitmen itu. Dia berharap orang yang disayanginya
masih pula mengingat dan memegang erat komitmen tersebut.
6. Nilai
Pendidikan
Terdapat nilai pendidikan yang dapat diambil dari
lagu “Lingsir Wengi”. Berhati-hatilah dalam melakukan sesuatu. Jangan sepelekan
sesuatu yang kecil karena bisa jadi dari sesuatu yang kecil itu atau sepele
akan muncul sesuatu yang besar.
Simpulan
Simpulan
Pada
dasarnya kedua syair lagu campursari ini memiliki persamaan, yakni pada tema.
Tema yang diangkat adalah tentang cinta. Rasa rindu yang begitu besar pada
belahan hatinya.
Berdasarkan
analisis kontekstual dan inferensi yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa pada lagu “Bengawan Sore” prinsip penafsiran personalnya jelas, yaitu aku
sebegai orang pertama yang berjenis kelamin laki-laki. Semantara pada lagu
kedua “Lingsir Wengi” prinsip penafsiran personalnya kurang jelas. Pada lagu
ini tidak menggunakan kata ganti orang, melainkan menggunakan kata ganti milik.
Selain itu, karena bukan kata ganti orang sehingga tidak jelas siapa dan apa
jenis kelamin penyanyinya.
Berdasarkan
prinsip penafsiran lokasional, lagu pertama menunjuk dengan jelas tempat
kejadian. Adapun tempat kejadiannya adalah di tepi sungai Bengawan. Sedangkan
pada lagu kedua, tidak disebutkan secara jelas tempat peristiwa. Sehingga
pendengar harus memperkirakan sendiri.
Berdasarkan
prinsip penafsiran temporal, pada dasarnya kedua lagu tersebut telah
menyebutkan waktu kejadian dengan jelas. Berbeda dengan dua prinsip sebelumnya,
lagu pertama menyebutkan dan lagu kedua tidak menyebutkan. Lagu pertama
menyebutkan kejadian itu pada sore hari. Sementara lagu kedua menyebutkan
kejadian itu pada malam hari. Dan ternyata waktu kejadian ini juga disebutkan
jelas pada judul lagu, yakni “Bengawan Sore” dan “Lingsir Wengi”.
Abdul Syukur
Ibrahim. 2009. Metode Analisis Teks dan
Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Budiono
Herusatoto. 2008. Simbolisme Jawa.
Yogyakarta: Ombak
Dick Hartoko.
1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta:
Gramedia
Herman J Waluyo.
2008. Pengkajian dan Apresiasi Puisi.
Salatiga: Widya Sari
Rachmat Djoko
Pradopo. 1995. Pengkajian Puisi.
Yogyakarta: UGM Press
Sumarlam.
2008. Analisis Wacana: Teori dan Praktik.
Surakarta: Pustaka Caraka
_________. (Ed).
2008. Analisis Wacana: Iklan, Lagu,
Puisi, Cerpen, Novel, Drama. Surakarta: BukuKatta
Umar Junus.
1986. Sosiologi Sastera Persoalan Teori
dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran
Malaysia
No comments:
Post a Comment